Kepemimpinan Maritim Indonesia Dalam Menjaga Stabilitas Keamanan dan Kedaulatan

Bagikan artikel ini

Laode Muhamad Fathun, UPN Veteran Jakarta

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbesar di dunia yang ditandai dengan kepemilikan pulau sebanyak 17.508 buah pulau. Dengan dasari itulah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggaungkan visi Poros Maritim untuk mengembalikan karakter bangsa Maritim Indonesia. Dengan lima pilar Poros Maritim Dunia yakni Pembangunan budaya Maritim, infrastruktur, Sumberdaya Alam dan Sumber Daya Manusia, Keamanan dan Diplomasi Maritim. Namun hingga saat ini hasil dari Poros Maritim belum lagi terdengar pasca Periode kedua Jokowi. Artinya sejak 2019 hingga saat ini tahun 2024 Poros Maritim hanyalah kebijakan yang kian berlalu tanpa jelas orientasi dan tujuannya.

Menurut penulis argumentasi ini jelas saja menyulitkan Pemerintah Indonesia untuk mendesain kebijakan tersebut. Karena kebijakan ini menimbulkan sejumlah pertanyaan kunci 1) Indonesia menyebut diri sebagai Poros maritim, namun tidak jelas dilihat dari posisi mana? 2) siapa yang mengakui Indonesia sebagai Poros dan 3) Kebijakan ini menyisakan desain yang masih prematur. Karena tidak ada rincian apa yang dibutuhkan, siapa pelaksana yang jelas, berapa anggaran dibutuhkan dan apa yang menjadi target jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Padahal menurut penulis kebijakan ini sangat progresif untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia di bidang Maritim. Selain itu Infonesia berpotensi menjadi negara yang disegani dan kuat minimal nomor dua di Asia setelah China. Namun faktanya hari ini gaung kebijakan ini tidak jelas arah dan orientasinya.

Implikasi ketidak jelaskan ini membuat nilai strategis Indonesia jauh sekali dari China. Menurut data Lowy Institute 2023 bahwa posisi militer Indonesia ada di urutan 9 dengan nilai 19. Dan jauh dibawah China yang mencapai nilai 72. Mengapa Indonesia harus kuat dalam bidang Maritim  karena 1) Potensi Maritim Indonesia mencapai 7200 Triliun yang artinya setara dengan 15x lipat APBN Indonesia tahun 2011 (Hakim, 2011).Bahkan mantan Menteri KKP Susi Pudjiastuti pernah mengatakan keuntungan dari bidang Maritim saja bisa mencapai 3000 Triliun (Fathun,2018). Kemudian 2) posisi strategis geopolitik Indonesia yang berbatasan dengan 10 negara Asia Pasifik  (Khomeini, 2018). Memungkinkan wilayah Indonesia bisa menjadi lokasi yang rawan akan sengketa Maritim. Terhitung Indonesia telah kehilangan Pulau Silakan dan Ligitan dimasa Megawati serta terdapat 92 pulau terluar Indonesia yang belum final. Pengelolaannya (Hakim, 2011). Dan salah satu dari pulau tersebut adalah pulau Ambalat yang bersengketa dengan Malaysia serta Pulau Natuna yang bersengketa dengan China. Dan 3) wilayah Asia Pasifik yang saat ini dikenal dengan Indo Pasifik menjadi tempat berlabuh bagi negara-negara besar untuk membuat kualisi militer. Saat ini sudah terbentuk kualisi militer seperti AUKUS, The  Quad dan kualisi lainya yang bisa saja menjadi ancaman baru dalam. Keamanan Maritim Indonesia , 4) Saat ini negara-negara sedang menggeser kebijakan luar negerinya yang bersifat Maritim seperti China dengan Belt Road Inisiative, India dengan SAGAR, dan Amerika Serikat dengan Pivot to Asia menjadi Rregional Foreign Policy melalui kualisi dan aliansi. Disisi lain kebijakan Poros Maritim Indonesia belum menampakan tajinya sebagai kebijakan strategis masa depan, 5) munculnya ancaman keamanan non tradisional yang juga mengancam stabilitas seperti perompakan, peredaran senjata gelap, perdagangan manusia, peredaran narkoba dll. Ancaman ini tidak bisa dianggap sepele walau tidak merebut wilayah. Namun konsistensi dan privilege kemampuan negara adalah ketika mampu menjaga wilayahnya baik dari ancaman tradisional dan non tradisional tradisional (Isnarti, 2021) 6) wajah Indonesia adalah negara Maritim dan diplomasi Maritim karena dalam sejarah dunia bahwa peran Indonesia menjadikan terbentuknya Konvensi Hukum Laut 1982 yang diawali dengan Deklarasi Djuanda oleh ahli Maritim asal Indonesia. Artinya peran Indonesia sangat strategi jika memiliki kekuatan dan kekuasaan dalam bidang maritim.

Persepsi Publik terhadap Klaim Tiongkok di Laut Natuna Utara

Persepsi adalah suatu respon berdasarkan situasi yang didapatkan melalui proses empirik. Persepsi bisa mengandung kebenran bisa juga melahirkan asumsi. Namun persepsi secara metodologi masih berupa dugaan bahkan berpotensi tidak akurat karena presisi faktualnya perlu dibenarkan melalui data yang aktual dan faktual. Persepsi pada dasarnya adalah suatu proses memahami atau memberi makna terhadap suatu informasi terhadap suatu stimulus. Stimulus tersebut diperoleh dari proses penginderaan terhadap objek, peristiwa, atau hubungan antar gejala yang kemudian diolah oleh otak. Padahal, persepsi adalah penilaian seseorang atau kolektif terhadap berbagai peristiwa yang dihadapi dan muncul dalam ingatannya dalam kaitannya dengan peristiwa-peristiwa ini. Persepsi manusia sangatlah kompleks, namun dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu persepsi terhadap objek (lingkungan fisik) dan persepsi terhadap manusia atau masyarakat. Rhenal Kasali (2007), persepsi ditentukan oleh faktor-faktor berikut :a.Latar belakang budaya.Pengalaman masa lalu.Nilai-nilai yang dianut berita yang berkembang (Fathun et.al, 2023). Dengan demikian pula terkait persepsi publik dalam kliam terhadap klaim Tiongkok terhadap Laut Natuna Utara yang bervariasi. Sejumlah faktor di atas akan menjadi pertimbangan kunci dalam menilai klaim tersebut.

Kronologi klaim Tiongkok terhadap wilayah kedaulatan Indonesia yaitu Laut Natuna Utara merupakan klaim sepihak yang tidak memiliki dasar argument yang benar. Salah satu argument dasar dari Tiongkok mengklaim wilayah Natuna adalah menjadi bagian dari peningkatan nine dashline yang digencarkan selama ini. Klaim tersebut tentunya sangat melanggar konvensi Montervideo tentang kedaulatan Negara, Konvensi PBB khususnya Pasal 2 dan 5 BAB 7 Piagam PBB dan yang paling utama adalah Konvensi Hukum Laut UNCLOS 1982 yang telah disepakati oleh banyak negara. Dan paling penting juga adalah ketidak taatan Tiongkok pada Code of Conduct yang sudah digagas oleh sejumlah negara ASEAN Bersama Tiongkok. Artinya sejumlah aturan tersebut harus menjadi dasar semua pihak untuk bisa saling menarik diri untuk mengutamakan ego sectoral yang memiliki implikasi krusial terhadap stabilitas Kawasan ASEAN dan Asia Timur.

Sehubungan dengan hal tersebut klaim Tiongkok diawali pada tahun 2019 hingga tahun 2021. Klaim ini dilakukan secara sepihak sekalipun telah diselesaikan dalam pertemuan SCS Tribunal tahun 2016. Indonesia menolak sikap Tiongkok dengan klaim relevant water yang dilakukan oleh Tiongkok yang bertentangan dengan UNCLOS 1982. Seusai dengan keputusan Lembaga tersebut Indonesia telah memasukan wilayah Natuna Utara dalam peta Indonesia tahun 2017 dan menjadi bagian dari wilayah Zona Ekonomi Ekslusif.  Protes Indonesia diakukan sejak tahun 2019 dan tahun 2020 terhadap klaim tersebut Ketika kapal penjaga pantai Tiongkok melakukan pengawasan dan pengawalan terhadap nelayan Tiongkok yang melakukan pencarian ikan di wilayah Natuna. Tentunya hal ini tidak sejalan dengan UNCLOS 1982 karena masih menjadi wilayah Indonesia.

Klaim Tiongkok di wilayah Laut China Selatan sebenarnya tidak langsung berhubungan dengan batas kedaulatan Indonesia. Namun asertfitas Tiongkok dianggap berlebihan karena klaim didasarkan pada jejak sejarah. Konflik Laut China Selatan hanya berhubungan dengan sejumlah negara seperti Filipina, Brunai, Taiwan dan Vitenam. Klaim berikutnya dilakukan oleh Tiongkok pada tahun 2020 yang dilakukan oleh kapal penjaga pantai Tingkok yang melanggar Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Pelanggaran tersebut tentunya tidak sesuai dengan komitmen UNCLOS 1982. Dalam rapat terbatas saat itu mantan Menkop[ulhukam Mafud M menatakan bahwa pertama pelnggaran kedaulatan telah dilakukan oleh kapal -kapal China kedua, Laut Natuna merupakan wilayah kedaulatan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia , ketiga, Tiongkok adalah salah satu anggota yang menandatangin UNCLOS 1982 seharusnya melakukan penghormatan pada wilayah kedaulatan dan keempat , Indonesia tidak akan menerima atau mengakui klaim sepihak yang dilakukan oleh Tiongkok (Hastuti, 2020). Dengan demikian dasar Tiongkok melakukan klaim tidak sesuai dengan konvensi kedaulatan dan juga Tiongkok terlalu asertif dan agresif walaupun Indonesia tidak menjadi bagian dari sengketa Laut China Selatan. Namun Tiongkok harus menghormati hukum laut dan kedaulatan Indonesia. Apalagi Tiongkok adalah mitra stretgis Indonesia.

Kemudian, terjadi klaim kembali pada tahun 2021 yang dilakukan oleh Tiongkok untuk melarang Indonesia melakukan pengeboran dan eksplorasi minyak di wilayah lepas Pantai Natuna. Dikutip melelui Routers tahun 2021 menuliskan bahwa   Anggota DPR RI Indonesia telah menerima surat protes dari pihak Tiongkok untuk mengelola  Laut Natuna karena merupakan bagian dari kedaulatan mereka. Namun Indonesia komitmen dan konsisten bahwa Natuna adalah milik Indonesia.  Pada tanggal 30 juni 2021 kapal Tiongkok melakukan pengeboran minyak di lepas pantai Natuna semi-submersible Noble Clyde Boudreaux tiba di Blok Tuna walaupun Tiongkok mengklaim bahwa kapal itu melakukan patrol damai.Bahkan kapal Tiongkok dan Indonesia terlihat mendekati ladang minyak dan gas Laut Natuna dengan jarak I mil laut.  Maritime Transparency Initiative (AMTI)  dan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) mengatakan bahwa ada pergerakan kapal Tiongkok selama tujuh minggu di lepas Blok Alpha yang mengandung cadangan minyak Rp 7,25 kuadriliun (Iswana, 2021). Dengan demikian harus ada tindak lanut untuk mengatasi perspsi potensi konflik tersebut agar bisa ada saling kesepahaman dan saling menghormati antar kedua negara.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Dimas Okto dari Litbang Kompas tahun 2024 menunjukan bahwa persepsi publik terkait konflik di Natuna sangat bervariasi. Berikut ini adalah hasil surveinya:

Gambar 1

Gambar 2

Dari hasil survei di atas yang dilkaukan kepadA GEN X, Y dan Z menunjukan perbedaan. Gen Z lebih memilih bealiansi dengan ASEAN untuk menyikapi posisi Laut Natuna Utara sebesar 38 persen dan gan X dan Y lebih memilih aliansi Bersama Amerika, China dan Russia sebesar 10 persen lebih. Kemudian terkait Kerjasama apa yang penting dilakukan oleh Indonesia pada gambar 2 menjelaskan bahwa kerjasama aliansi menunjukan 35 persen dengan Kerjasama industry dan Kerjasama pertahanan sebesar 15 persen dan kerjasama teknologi 13 persen.  Selain itu hasil survei lain menunjukkan:

Gambar 3

Gambar 4

Berdasarkan hasil survei di atas menunjukan bahwa upaya Kerjasama pertahanan Indonesia untuk menjaga kedaulatan adalah dengan membangun Kerjasama dengan ASEAN. Dan negara yang paling berpotensi menjadi mitra strategis Indonesia adalah Malaysia sebesar 35 persen. Selain itu juga pada gambar 4 menunjukan bahwa kehadiran Tiongkok di Kawasan Laut Natuna adalah 78 persen lebih merupakan ancaman dan 18 persen lebih adalah keuntungan.

Gambar 5

Gambar 6

Berdasarkan hasil survei gambar 5 menunjukan bahwa persepsi publik mengatakan bahwa konflik yang terjadi adalah terkait tentang wilayah sebesar 37 persen dan hasil lainya yang bervariasi. Kemudian pada gambar 6 menunjukan bahwa sengketa batas maritim adalah isu dominan dalam sengketa Laut China Selatan demikian juga dengan disebabkan oleh sengketa sumberdaya alam. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa kehadiran Tiongkok dalam konflik Laut China Selatan dan klaim terhadap Laut Natuna adalah ancaman besar buat Indonesia. Sehingga Indonesia membutuhkan kualisi dan aliansi untuk membangun pertahanan yang kuat.  Menurut penulis posisi strategis Indonesia ini harus Kembali pada identitas politik luar negeri Indonesia bebas aktif dalam pemikiran Muhammad Hatta yang dikombinasikan dengan logika berfikir Djuanda yang mengambil posisi untung daam menjaga daya tawar kepentingan nasional Indonesia baik kepada Tiongkok, ASEAN atau Amerika termasuk aliansi lainya. Dengan demikian dibutuhkan strategis inklusif untuk bisa bertahan karena target Indonesia adalah negara yang menjadi bangsa dengan kepemimpinan maritim.

Menurut (Taufiqueraochman, 2019)menurutnya bahwa kepemimpinan Indonesia dalam maritim itu adalah sebuah sejarah dan memoar. Ada beberapa kriteria untuk bisa mencapai posisi tersebut yakni kedaulatan adalah harga mati, kesadaran maritim, Pendidikan berkarakter maritim dan kepemimpinan yang amanah. Kepemimpinan amritim juga berorientasi pada keberanian, nekad, inovatif, loyalitas dan berfokus pada fakta bukan ceritanya. Lebih lanjut dalam teori diplomasi kapal perang dalam menjaga kedaulatan maritim harus menjadikan TNI Angkatan Laut sebagai pemimpin gerakan. Karena TNI akan bertindak sebagai polisi yang menegakan aturan, bertindak sebagai penjaga kedaulatan dan menjadi aktor diplomasi. Selain itu dibutuhkan koordinasi lintas sektoral baik horizontal dan vertikal untuk menjaga komando keamanan laut.

Arah Kebijakan Luar Negeri Indonesia di Bidang Maritim Pasca Pilpres

Arah kebijakan Luar znegeri Indonesia Pasca Pilpres akan mengarah pada kebijakan yang kontinyuitas. Hal ini sesuai dengan hasil perhitungan Real Count KPU RI yang menetapkan Pasangan Prabowo Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2024-2029. Terpilihnya Prabowo dan Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden berpotensi akan melanjutkan semua kebijakan luar negeri yang sudah dibangun sebelumnya termasuk memperbaiki kebijakan yang belum sempurna di era Jokowi. Mengapa ini bisa terjadi 1) Prabowo adalah Mantan Menteri Pertahanan di era Jokowi hal ini seperti sudah tertuang dalam visi dan misinya 2) Gibran adalah anak sulung Jokowi sehingga pastinya akan meneruskan semua kebijakan pendahulunya. Hal ini juga terlihat dalam argumen dan debat yang selalu berpatokan pada kebijakan Jokowi 3) Jokowi adalah mentor pasangan ini. Dengan pengalaman sebagai wali kota, gubernur dan hingga Presiden selama dua periode tentunya Jokowi akan membagikan semua tips politik suksesnya dalam bidang kepemimpinan.

Sehubungan dengan hal tersebut, salah satu pilar kebijakan luar negeri dan diplomasi Indonesia di era Jokowi yang sangat populer adalah kebijakan luar negeri Poros maritim dunia. Artinya arah kebijakan luar negeri dan diplomasi Indonesia kedepan berpotensi akan kembali. Membangun kualitas dan kapasitasnya Indonesia sebagai negara maritim. Ada beberapa alasan untuk mendukung kebijakan tersebut: 1) Prabowo adalah seorang Menhan yang berlatar belakang Militer. Sehingga dengan kemampuan dan pengalaman dalam bidang Militer berpotensi Prabowo akan kembali membangun Indonesia sebagai negara yang kuat dalam bidang maritim, 2) partai politik yang saat ini dididirikan oleh Prabowo adalah Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang selalu dikenal dengan visi mengembalikan kekuatan Indonesia sebagai macan Asia, 3) bagi Prabowo nasionalisme, patriotisme dan melindungi segenap bangsa Indonesia termasuk kedaulatan Indonesia adalah harga mati. Artinya dengan latar belakang seorang Militer Prabowo akan sangat kuat dan menentang segala intervensi dan upaya penguasaan kedaulatan Indonesia.

Tantangan hari ini buat arah kebijakam luar negeri dan diplomasi Indonesia di era Prabowo adalah memastikan batas negara Indonesia aman dari adanya sengketa perbatasan. Indonesia sebagai negara maritim saat ini memiliki batas wilayah maritim dengan 10 negara kawasan Asia Pasifik termasuk masih ada sekitar 8 sengketa laut yang belum selesai. Belum lagi munculnya kualisi dan aliansi dalam kawasan Indo Pasifik yang semakin menarik isi maritim. Itu artinya kembali pada visi Prabowo di atas bahwa Indonesia harus menjadi negara yang kuat dan tangguh agar tidak bisa diintervensi oleh negara manapun dalam merumuskan kepentingan nasional. Apalagi kepentingan tersebut berhubungan dengan kedaulatan Indonesia yang tentunya sudah menjadi tanggung jawab utama seorang Presiden. Apalagi Prabowo adalah seorang mantan Jendral. Oleh sebab itulah penulis berkesimpulan bahwa orientasi dan arah kebijakan luar negeri Indonesia di era Prabowo adalah meniru gaya Mohammad Hatta yang mengatakan bahwa Indonesia tidak boleh menjadi subjek dan objek dari negara lain dan Indonesia harus independen dalam merumuskan segala bentuk kepentingan nasionalnya.

Demikian halnya dengan klaim Tiongkok terhadap Pulau Natuna Utara. Klaim. yang dilakukan secara sepihak itu tentunya bertentangan dengan kesepakatan Hukum Laut Internasonal yakni Konvensi UNCLOS 1982. Walaupun Indonesia tidak terdampak langsng dalam sengketa tersebut khusus yang klaim sepihak 9 garis putus-putus oleh Tiongkok yang tidak sesua dengan Konvensi. Apalagi hinga saat ini Tiongkok sampai menambahkan 10 garis putus-putusnya untuk memperluas ekpansi klaim di Laut China Selatan. Memang secara geopolitik wilayah Indonesia masih berpotensi aman dari klaim tersebut. Namun logika geopolitik itu berbeda. Geopolitik berbicara tentang physical feature dan political behaviour (Fathun 2023). Dari dua elemen tersebut bahwa fisik geopolitik Indonesia yang merupakan negara maritim tentunya akan tidak stabil. Jika Indonesia hanya diam dalam menyukai klaim tersebut. Hal ini disampaikan oleh Menkopolhukam Tjahjanto (2024) mengatakan bahwa peran Indonesia dalam menjaga stabilitas di kawasan Laut China Selatan sudah sangat progresif. Indonesia merupakan negara inisiator yang menyumbangkan gagasan terang Code of Conduct dalam penyelesaian Laut China Selatan. Apalagi Indonesia berhasil menekan dan membangun kualisi dengan negara-negara ASEAN melaui Political Security Community da disepakati percepatan dialog tentang Laut China Selatan pada 2025. Dan Tiongkok sudah siap untuk berdialog secara terbuka dengan negara ya terdampak dalam klaim tersebut.

Selain itu juga Erik Putra (2024) dari. Lembaga ISDS yang juga mantan wartawan senior dalam bidang pertahanan mengatakan bahwa penting sekali meetahu dan mebahas klian sepihak Tiongkok di Laut China Selatan. Karena hal tersebut menyangkut tentang kedaulatan Indonesia. Dan selama ini banyak sekali yang belum memahami isu ini. Apalagi mereka dari kalangan generasi X, Y dan Z. Dengan demikian perlunya sharing pengetahuan melalui seminar dan sosialisasi agar masyarakat bisa peduli akan isu ini karena menyangkut harga diri dan kedaulatan Indonesia. Kemudian, Agus Widjojo mantan Gubernur Lemhanas dan saat ini menjadi Dubes Filipina mengatakan bahwa Indonesia harus bisa menjaga kedaulatan dan keamanan dengan bai. Karena kedaulatan adalah harga mati dan menyangkut harga diri bangsa. Ketaatan negara pada Hukum Laut dan dialog untuk menyelesaikan sengketa harus menjadi komitmen bagi negara-negara yang terdampak. Penulis sejalan dengan tiga argumen tokoh tersebut artinya masyarkat harus mengetahui isu ini dan harus menjadi bagian dari menjaga kedaulatan. Minimal membagikan informasi tentang hal tersebut agar masyarakat Indonesia bisa tahu akan isu terseut sebagai bagian dari upaya Indonesia menjaga stabilitas negara dan kawasan.

Walkin (Yani & Moeretama, 2015) mengatakan bahwa dalam membangun kekuatan dan keamanan negara dilakukan dengan empat metode yakni Aliansi, kualisi, strategic Community dan Political security Community. Dari empat metode tersebut maka Indonesia lebih relevan dan kontekstual dalam menjaga kedaulatan melalui tiga metode lain selain Aliansi. Mengapa Indonesia tidak melaikan Aliansi karena hal ini sesuai dengan amanat konstitusi khususnya UU No. 3 / 2002. Selain itu juga Indonesia menganut prinsip bebas aktif yang artinya tidak bisa membuat blok keamanan. Indonesia hanya bisa bekerja sama bidang strategik atau menaungi kualisi yang sifatnya jangka pendek. Berbeda dengan aliansi yang memiliki orientasi jangka panjang. Oleh sebab  itulah pilihan Indonesia hanyalah menjadi fasilitator dan mediator bukan balancer (Yani & Moeretama, 2015).

Penulis mendukung peran strategis Indonesia sebagai negara yang bisa berperan aktif. Mengapa karena hal tersebut sudah menjadi bagian dari konstitusi. Bebas dan independen dalam menterjemahkan kepentingan nasional Indonesia secara aktif menjaga ketertiban dan perdamaian dunia. Karena kawasan Laut China Selatan juga menjadi bagian dari kawasan Indo Pasifik maka menurut Fortuna Anwar (2020) mengatakan bahwa peran kebijakan luar negeri dan diplomasi Indonesia di kawasan Indo- Pasifik adalah dengan. menjadi katalisator, fasilitator dan meneger dalam menjaga perdamaian kawasan. Katalisator artinya Indonesia selalu menginisiasi adanya  perdamaian sesuai konvensi dan ketaatan pada Konvensi yang telah disepakati. Kemudian menjadi fasilitator dengan berperan mengawal dan memfasilitasi pihak-pihak yang bersengketa dalam Laut China Selatan dan menjadi meneger yang artinya Indonesia mengawal, mengawasi dan memimpin setiap agenda perdamaian khususya implementasi Code of Conduct di Laut China Selatan. Dan dari tiga peran tersebut sudah dilakukan di era Jokowi dan kemudian harus dilanjutkan di era Prabowo. Apalagi saa ini Indonesia menjadi ketua ASEAN sehingga profesionalitas peran Indonesia sangat di andalkan dalam ruang diplomatik.

Megapa penting untuk Indonesia berperan 1) dimasa lalu ketika Indonesia di era Perdana Menteri Djuanda, Indonesia juga mampu mengambil keuntungan dari rivalitas blok Barat dan blok Timur saat itu. Apalagi melalui Deklarasi Djuanda merupakan wajah diplomasi maritim Indonesia sangat disegani dunia dengan melahirkan konsep negara kepulauan. Artinya dengan posisi ini kepentingan Indonesia adalah menjaga stabilitas kawasan. Karena jika terjadi konflik maka berdampak pada bidang ekonomi, sosial, politik dan militer pasti akan terganggu, 2) Indonesia terkenal dengan kualitas diplomasia yang hebat yaitu terbukti sesuai dengan data Lowy Institute  tahun 2023 yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan posisi pertama dengan kualitas diplomasi yang unggul, 3) implementasi kebijakan luar negeri Indonesia memang dilaksanakan melaui jalur diplomasi. Artinya jalur perundingan, dialog, komunikasi adalah kelebihan Indonesia untuk bisa bermitra dengan banyak negara.

Walaupun demikian ada beberapa hal yang perlu tetap diperhatikan untuk merespon klaim Tiongkok di Laut China Selatan yang juga sedikit menyinggung Laut Natuna Utara yakni: 1) harus ada koordinasi dan kolaborasi dalam hubungan kelembagaan khusus yang instansi yang mengurusi bidang maritim sebab ada kurang-lebih sekitar 13 institusi yang mengurusi bidang ini. Artinya one role multy agency  (Susanto & Munaf, 2015), 2) perlunya koordinasi yang intens antara Presiden dan Menteri Luar Negeri. Kekhawatiran yang adalah Prabowo yang memiliki visi negara kuat dan tangguh berbeda pendapat dengan Kementerian Luar Negeri yang cenderung menggunakan pendekatan dipkomasi. Dalam beberapa fakta ditemukan ketika Prabowo menjadi Menhan dalam pernyataan sikap terkait konflik Rusia -Ukraina, dan Konflik di Natuna terjadi mis koordinasi antara Kemhan dan dan Kemlu. Kemudian dipertegas hubungan kelembagaan ketika Kemhan dan Kemlu adalah dua instansi penting dan elit kompetitif. Sehingga berpotensi saling unjuk kebolehan dalam kepemimpinan. Koordinasi yang baik akan menyelesaikan persoalan ini. Dan 3) pentingnya buku putih pertahanan. Seperti yang disampaikan oleh Sukadis (2024) menyatakan bahwa pentingnya buku putih pertahanan agar bisa mengarahkan Militer Indonesia kearah yang lebih baik. Termasuk pengembangan Milenium Esensial Force dalam membangun industri pertahanan dalam negeri dan kekuatan global yang baik. Oleh sebab itulah peran strategis Indonesia sangat dibutuhkan khususnya peran menjadi fasilitator dan mediator dalam menjaga stabilitas Kawasan.

Referensi

Fathun, L. M. (2019). Indonesia dalam The Belt Road Inisiative. Jakarta: PPI Tiongkok.

Gideon, L. M. Fathun. (2023). Analisis Kebijakan Luar Negeri Indonesia: Kerangka Teori, Model dan Studi Kasus. Yogyakarta: Graha Ilmu.H

Hakim, C. (2011). Pertahanan Indonesia. Jakarta: Red and White Publhising.

Hastuti, R. K. (2020, Januari 04). CNBC Indonesia. Retrieved from CNBC Indonesia: https://www.cnbcindonesia.com/news/20200104193648-4-127681/ini-kronologis-ri-protes-keras-klaim-china-soal-natuna

Isnarti, L. M. Fathun(2021). Tinjauan Multi Perspektif Kawasan Indo-Pasifik : Peluang dan Tantangan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Iswana, A. J. (2021, 12 04). Kompas.com. Retrieved from Kompas. com: https://www.kompas.com/global/read/2021/12/04/070338470/kronologi-konflik-di-laut-natuna-china-tuntut-indonesia-setop-pengeboran?page=all

Khomeini, L. M. Fathun (2018). Keamanan Kontemporer di Kawasan Asia Tenggara. Yogyakarta: Sulu Media.

Laode Muhamad Fathun, D. T. (2023). The Relevance of The Meaning TSte Defense In Digital Public Perceptions. Media Bina Ilmiah.

Munaf, S. d. (2015). Komando dan Pengendalian Keamanan dan Keselamatan Laut. Jakarta: Gramedia.

Taufiqueraochman, A. (2019). Kepemimpinan Maritim Sebuah Memoar. Yogyakarta: Pandiva Buku.

https://power.lowyinstitute.org/countries/china/

Seminar Indonesia  Strategic & Dfense Studies,  2024. Menjaga Kedaulatan dan Mencari Kawan  di Laut China Selatan.

Bibliography

Laode Muhamad Fathun, S.IP.,M.H.I., CE., CT., C.NSP., C.AR lahir di Kambara pada tanggal 2 januari 1989. Fathun adalah dosen Hubungan Internasional FISIP UPN Veteran Jakarta dengan Mata kuliah Kajian Kebijakan Luar Negeri Indonesia dan Diplomasi. Juga aktif mengajar Mata Kuliah Keamanan Maritim. Fathun juga aktif mengajar di Universitas Satya Negera Indonesia dengan Mata Kuliah Ekonomi Politik Maritim.  Fathun aktif melakukan penelitian dan publikasi dalam bidang tersebut sebagai bagian dari kompetensi sebagai peneliti dan akademisi. Fathun telah mempublikasi beberapa buku diantaranya adalah Membangun Infrastruktur maritime 2016, Percikan Pemikiran Hubungan Internasional Pasca Perang Dingin 2016, Keamanan Kontemporer di Kawasan Asia Tenggara 2018, Indonesia dalam Pusaran Belt Road Inisiatif, Kwasan Indo-Pasifik Peluang dan Tantangan 2021, Analisisi Kebijakan Luar Negeri Indonesia Kerangka Teori dan Analisis 2023, Perkembangan Studi Hubungan Internasional Indonesia 2023.  Selain itu juga aktif melakukan publikasi dalam jurnal ilmiah seperti Keamanan Maritim di Kawasan Selat Malaka 2019,  Strategi Kebijakan Lur Negeri Indonesia di Kawasan Indo Pasifik 2021, Kebijakan Luar Negeri Indonesia dalam Frame Ideologis, Kebijakan Luar Negeri Poros Maritim di Era Jokowi 2016, Peningkatan Kapasitas Militer Tiongkok untuk menjaga STabuilitas, 2017, Kebijakan Geopolitik Luar Negeri Indonesia dalam Perspektif Konstruktivisme 2018, Kebijakan Luar Negeri Indonesia dalam Meningkatkan Produktifitas Produksi Ikan 2018, Diplomasi Maritim Indonesia dalam menjaga IUU Fishing 2021, Tinjauan Komparativ Kebijakan Luar Negeri Indonesia dan China dalam Perpektif Walter Carlnaes 2022. Fathun juga pernah menjadi pembicara tentang Maritim yang diundang oleh KKP RI, Indo Data, Perhimpunan Guru Besar UGM, LIPI. Fathun bisa dikontak melalui email Laodemuhammadfathun@upnvj.ac.id atau WA 085255125544.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com