Menghidupkan Vitalitas Peradaban Bangsa Lewat Strategi Kebudayaan Berdasar Input Geopolitik

Bagikan artikel ini

Hendrajit, pengkaji geopolitik Global Future Institute dan Wartawan Senior

(Orasi Budaya Disampaikan Dalam Ramadhan Art Expo 2024, Rabu 27 Maret 2024, di Mula Galeria Jakarta-CITOS, Jakarta). 

“Peradaban merupakan proses membentuk manusia secara total dari alam dan didorong oleh kekuatan yang kita sebut hasrat. Hasrat atau passion dalam pengertiannya yang hakiki, bukanlah reaksi untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar buat bertahan hidup. Juga bukan sekadar reaksi terhadap keinginan atau yang kerap disebut hawa nafsu. Hasrat sejatinya merupakan energi yang menuntun sekumpulan manusia untuk mengembangkan bentuknya sendiri. Adapun faktor pembentuk utama peradaban adalah pekerjaan atau karya. Dalam berkarya itulah maka akan terlihat visi tujuan kerja dan berbagai bentuk dalam mengekspresikan hasrat.”

(Italo Calvino, Jurnalis dan Sastrawan Italia). 

Transisi Geopolitik Dunia Internasional Dari Unipolar (Kutub Tunggal) menuju Multipolar (Ragam Kutub).

Harus dibedakan antara munculnya sebuah peristiwa dan serangkaian perkembangan yang mana di dalamnya bermuatan rangkaian komponen yang kelak membentuk penyebab timbulnya sebuah peristiwa. Dan seringkali, adanya serangkaian perkembangan yang berlangsung membingungkan bagi kebanyakan orang yang sezaman. Inilah pentingnya Geopolitik sebagai salah satu aspek dari Kajian Strategis.

Ketika Juni 2001 Pemerintah Republik Rakyat Cina dan Rusia sepakat membentuk aliansi strategis dalam payung Shanghai Cooperation Organization (SCO) untuk mengawal kawasan Asia Tengah di bidang ekonomi, perdagangan dan kontra terorisme, hanya segelintir orang yang paham bahwa hal ini merupakan benih-benih pergeseran dari pelbagai kerja sama internasional dari yang bersifat Unipolar menjadi ragam kutub atau Multipolar.

Dengan begitu, sifat kerja sama internasional pada level multilateral tidak lagi bergantung pada skema kapitalisme global berbasis korporasi yang berpusat di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Melainkan mengembang ke dalam pelbagai kerja sama internasional berbasis regionalisme, yang tidak lagi merupakan blok atau forum kerja sama dari negara-negara sekawasan. Adanya blok kerja sama ekonomi perdagangan yang diprakarsai oleh Brazi, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan (BRICS) maupun Forum Kerja Sama Ekonomi Eropa-Asia, merupakan kerja sama regional yang terlalu sederhana jika hanya dipandang sebagai blok yang ditujukan untuk menjadi gerakan kontra terhadap hegemoni dan dominasi global AS dan blok Barat.

Fenomena BRICS maupun Forum Kerja Sama Eropa-Asia, pada perkembangannya telah menjelma menjadi kerja sama multipolar yang membuka berbagai kemungkinan baru tak terduga. Sehingga polarisasi antara blok AS-Uni Eropa versus Cina-Rusia mencair. India dan Pakistan yang kerap memanas dalam hubungan bilateral terkait border dispute atau separatisme, bisa menjalin kerja sama setara dan saling menguntungkan di forum ekonomi.

Mencairnya ketegangan antara Arab Saudi dan Iran selama tiga dekade terakhir, lewat sarana diplomasi dan negosiasi melalui mediasi dari Cina. Pada perkembangannya bisa jadi momentum munculnya perkembangan baru yang tak terduga

Intinya, pergeseran geopolitik internasional yang mana pengkutuban tunggal yang selama ini AS dan blok Barat menjadi “polisi dunia” menuju ragam kutub, membuka berbagai kemungkinan baru yang tak terbayangkan sebelumnya. Termasuk mencairnya konflik dan permusuhan berpuluh tahun antara negara-negara yang selama ini dipandang pro AS dan blok Barat dan negara-negara yang selama ini dipandang termasuk pro Cina-Rusia.

Tren menarik yang kiranya penting dicermati, adalah ASEAN. Meski belakangan ini para pengamat internasional yang berpandangan konvensional menilai bahwa ASEAN telah terbelah antara yang merupakan sekutu tradisional AS dan Inggris seperti Filipina, Singapura, sekadar sebagai contoh, namun Strategi nasional Cina yang kita kenal sebaga Silk Road Maritime Initiativeyang melahirkan program One Belt One Road atau Belt Road Initiative yang didasari gagasan menyatukan kerja sama ekonomi dan konektivitas geografis Jalur Sutra, pada perkembangannya juga telah memper-erat hubungan baik antara Cina dengan negara-negara sekutu AS di ASEAN seperti Filipina, Filipina.

Respons Indonesia Dalam Memainkan Peran Strategisnya Dalam Pergeseran Geopolitik Internasional Berbasis Multipolar

Ketika Pergeseran Geopolitik Internasional Menuju Kerja Sama internasional berbasis Multopolar semakin menguat, seraya kemunculan secara alamiah China dan Rusia sebagai kutub alternatif, maka ada sebuah tren global yang perlu kita cermati bersama. Negara-negara berkembang yang termasuk dalam istilah Global South, termasuk Indonesia, akan semakin memainkan peran yang signifikan dibandingkan pada era sebelumnya. Dan semakin diperhitungkan di pelbagai forum internasional baik pada level global maupun regional.

Lantas bagaimana cara pandang berbagai komponen bangsa merespons pergeseran geopolitik global tersebut? Apa masalah strategis bangsa kita yang menghambat kemampuannya dalam merespons dinamika global tersebut? Salah satu masalah strategis bangsa kita saat adalah ketidakmampuannya untuk mengasetkan sumberdayanya. Bukan tentang apa yang negeri kita ini punya dalam hal sumberdaya alam.

Kita sama-sama tahu apa kekayaan alam yang kita punya dan terkandung di bumi nusantara ini, namun paradoksnya, kita tidak tahu apakah betul yang kita punya itu memang aset sesungguhnya bangsa kita. Maluku Utara memang punya sumberdaya alam pertambangan. Namun apakah pertambangan memang sumberdaya yang memang betul-betul asetnya Maluku Utara? Tidak. Mengingat karakteristik geografis khas Maluku Utara, rempah-rempah yang merupakan bagian integral dari sektor pertanian, harusnya merupakan sumberdaya yang lebih layak diasetkan.

Maka itu, geopolitik bukan saja sarana keilmuan membaca konstalasi dan tren global, melainkan juga pentingnya aspek lain dari geopolitik, yaitu mengenali karakteristik geografis negeri kita sendiri. Bukan saja apa yang kita punya dari sumberdaya alam kita. Lokasi geografis kita pun merupakan aset. Succes storyCina melalui Skema BRI dan OBOR dalam kerangka Strategi Nasional Silk Road Maritime Initiative, sejatinya adalah kemampuan para perancang strategis Cina untuk mendayagunakan aset lokasi geografisnya dalam bidang Pertanian, Industri, IPTEK dan Militer. Pencapaian Cina di bidang ekonomi sehingga menjadi negara adidaya baru pesaing AS dan Barat, sejatinya hanyalah buah, bukan benih dan bibit.

Tantangan Bagi Indonesia: Membangkitkan Vitalitas Peradaban Bangsa dengan Membangun Sumberdaya Manusia yang Kreatif, Inovatif, dan Kritis (KIK)

Succes StoryCina yang belakangan diikuti oleh India dan beberapa negara berkembang lainnya, seharusnya menyadarkan kita bahwa negara-negara berkembang yang semula terpuruk, pada akhirnya bisa bangkit, dan bahkan saat ini mampu menyamai negara-negara maju yang tergabung dalam forum G-7.

Rekonstruksi Revolusi yang dicanangkan oleh Deng Xioping pada akhir 1970-an seturut wafatnya Mao Zhe Dong, dengan mencanangkan Empat Program Modernisasi (Pertanian, Industri, IPTEK dan Militer) tanpa satu kosa kata pun terkait ekonomi, sejatinya Deng yang berlanjut terus hingga era Xi Jinping saat ini, adalah strategi kebudayaan men-cinakan kembali komunis.

Alhasil, konsekwensi yang seakan tak sengaja secara terencana dirancang, adalah hidupnya kembali vitalitas peradaban bangsa. Sehingga yang terbangun melalui Empat Program Modernisasi tersebut tadi, adalah mengondisikan sumberdaya manusia yang bukan saja produktif alih-alih konsumtif atau pengguna belaka. Lebih dari itu adalah lahirnya manusia-manusia yang kreatif, inovatif dan kritis di pelbagai sektor. Utamanya di keempat sektor yang merupakan komponen-komponen utama Empat Program Modernisasi.

 

Bagi berbagai komponen bangsa di negeri kita tercinta, tentu saja bukan meniru success storyCina dan India, melainkan menyerap inspirasi kebangkitan dari keterpurukan kedua bangsa tersebut. Manusia-manusia yang kreatif dan inovatif, akan melahirkan masyarakat yang berorientasi daya cipta dan berorientasi produksi.

Inilah sejatinya aspirasi bangsa-bangsa dari negara-negara berkembang yang tergabung dalam Global South. Bagaimana melalui peran aktif sumberdaya manusia bangsa-bangsa sedang berkembang, negara yang tadinya terpuruk bisa bangkit kemudian menjelma jadi negara-negara maju tanpa harus mengikuti skema negara-negara maju seperti AS dan Uni Eropa.

Nah sebagai titik tolak, kita harus menghidupkan kembali Geopolitik sebagai Ilmunya Ketahanan Nasional. Sekaligus sebagai Input untuk penyusunan berbagai kebijakan strategis di pelbagai bidang. Sehingga geopolitik menjelma menjadi geo-strategi. Dengan demikian bangsa Indonesia di era Indonesia Emas 2024, akan bangkit dan maju senafas dengan Kearifan Lokal dan selaras dengan Karakteristik Geografis Bangsa Kita sendiri.

Dengan mendayagunakan aset lokasi geografisnya, aset sumberdaya alamnya, aset kondisi fisik lingkungan masing-masing daerah(pedalaman pertanian, pegunungan, atau daerah lepas pantai), karakter kolektif masyarakatnya yang biasanya dibentuk oleh kondisi fisik lingkungannya. Dengan begitu, bangsa kita di era Indonesia Emas 2024 mampu: Kenal Diri, Tahu Diri, dan Tahu Harga Diri.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com