Geopolitical Flashpoints di Perkarangan NKRI

Bagikan artikel ini

Telaah Kecil atas Takdir Geopolitik Indonesia

Dapat dikatakan, geopolitical flashpoints alias titik nyala geopolitik merupakan potensi atas takdir geopolitik  pada sebuah negara. Penjelasan singkatnya, ia bisa merupakan situasi atau (geo) posisi alias tempat tertentu dimana peperangan/konflik dapat terjadi secara tiba-tiba karena adanya (geo) ekonomi khususnya sumber energi berikut jalurnya.

Geopolitical flashpoints dapat berupa kekayaan alam (SDA), isu-isu, dan/atau (geo) posisi suatu negara, wilayah tertentu, atau keempat hal tadi dimana merupakan target bagi negara yang mengandalkan untuk kepentingan ekonomi. Potensi meletus di titik nyala tersebut sangat besar serta dapat mengacaukan —menyalakan— lingkungan baik lokal, regional maupun global.

Dalam praktik empirik, ia dianggap berkah sekaligus (bisa berubah) musibah, tergantung bagaimana strategi negara bersangkutan mengelola SDA, ataupun posisi geografi. Misal, apakah ia menjadi ‘senjata geopolitik’ sebagaimana Putin, Presiden Rusia, memainkan ‘gas’-nya —gas weapon— dalam perang sanksi melawan Koalisi Barat di Ukraina; atau, seperti Iran memberdayakan Selat Hormuz; atau Singapura memanfaatkan (geopolitical leverage) Selat Malaka, dan chokepoints lainnya

Namun, kerap kali gegara takdir flashpoints dimaksud sebuah negara justru semata korban, menjadi medan tempur (proxy war) bagi para adidaya. Ini justru musibah seperti halnya yang dialami oleh Irak, Suriah, Libya, Sudan, Afghanistan, dan Yaman yang jadi ajang proxy war bagi para adidaya. Disamping itu juga adanya jalur pipa karena faktor di titik simpul Jalur Sutra (Silk Road) dimana Suriah merupakan perlintasan jalur di antara Dunia Barat dan Timur. Menguasai kawasan tersebut maka maka identik dengan menguasai ekonomi di Belahan Barat dan Dunia Timur.

Di level global, titik-titik nyala tersebut seperti Laut China Selatan dimana potensi sumber minyak dan gas, juga lintas pelayaran internasional yang mempunyai nilai sangat strategis akan menimbulkan konflik jika masalah perbatasan dengan beberapa negara di sekitarnya tidak dapat diselesaikan secara damai. Atau, Selat Hormuz bagi Iran yang merupakan jalur minyak terbesar di dunia dimana melintas 18 juta barel/per hari. Atau, isu seperti konflik Hamas versus Israel yang di balik konflik Gaza memiliki potensi cadangan migas begitu besar sehingga menggiring menjadi konflik ke tingkat global karena menyeret kepentingan negara-negara adidaya yang memiliki ketergantungan tinggi atas suplai energi.

Merujuk di atas, Indonesia pun demikian, karena memiliki selat-selat vital dan strategis. Ya. Indonesia punya empat selat strategis dari tujuh selat yang dimiliki dunia dimana berada di perkarangan rumah kita. Ini merupakan geopolitical flashpoints. Sebab, ia dapat dijadikan ‘senjata geopolitik Indonesia yang sangat tinggi’ bagi rezim siapapun. Selat Lombok contohnya, di zaman Orde Baru pernah test case (ditutup sementara) untuk kepentingan latihan gabungan (latgab) TNI-Polri.

Adakah outcome penutupan Selat Lombok di era silam?

Ada! Bahkan diluar ekspetasi. Pernah ada catatan khusus dimana Paul Keating, PM Australia pada masanya munduk-munduk ke Pak Harto meminta agar tidak melakukan latgab di Selat Lombok. Nah, dari test case itu saja, Indonesia bisa menaikkan posisi tawar dalam upaya melakukan diplomasi bilateral baik dalam lingkup ekonomi atau sekuriti. Kenapa Australia memohon permintaan untuk tidak digelar latgab? Hal tersebut disebabkan bahwasanya 80% jalur perdagangan Aussie melintas di Selat Lombok yang nota bene gratis.

Pertanyaan retorika, “Apa yang akan terjadi bila Selat Sunda, Lombok, dan Selat Malaka ditutup dengan pertimbangan Kepentingan Nasional RI terganggu?”

Niscaya posisi tawar Indonesia bakal melambung di mata global, atau justru ‘digempur’ beberapa negara yang berkepentingan dengan perairan Indonesia. Itu sisi minimal. Sisi maksimalnya, seandainya ada rezim (sistem dan aturan) yang membolehkan negeri pemilik selat mengutip fee atas kapal-kapal pelintas serta harus dibayar menggunakan uang lokal (rupiah, misalnya) maka selain terdapat pos baru bagi APBN, juga rupiah akan sulit melemah karena dicari stakeholders perairan kita.

Dari perspektif geopolitical flaspoints, ada beberapa hal yang belum diberdayakan secara optimal oleh Indonesia. Antara lain, misalnya:

Pertama, takdir posisi sebagai Sealanes of Communicatios (SLOC) dimana perairan Indonesia merupakan jalur pelayaran dunia yang tak kunjung sepi, bahkan nyaris 50% pelayaran global melintasi perairan kita. Sudahkah institusi yang berkompeten melakukan mapping atas jalur SLOC, siapa saja stakeholders; lantas, bagaimana kelanjutan atas data tersebut?

Kedua, Indonesia mempunyai empat selat dari tujuh selat strategis yang dimiliki oleh dunia karena faktor posisi silang di antara dua benua dan dua samudra. Adakah keempat selat dimaksud telah diberdayakan secara optimal baik internal maupun eksternal?

Pemberdayaan internal misalnya, daratan atau pulau di antara selat/perairan tempat lalu lintas kapal-kapal didirikan Pangkalan Marinir, misalnya, atau Detasemen Kavaleri dan lain-lain sebagai strategi dalam upaya pengamanan selat yang sangat efektif. Begitu juga selat yang berbatasan dengan negara lain, seperti Selat Malaka, dibangun Batalyon Arhandud (pertahanan udara). Dengan pertimbangan, karena suatu dan lain hal — bila situasi geopolitik memanas atau adanya ancaman yang menyangkut keamanan nasional terhadap kedaulatan Indonesia maka kekuatan strategi pertahanan yang dirancang sedemikian rupa untuk menjaga dan mengamankan kepentingan nasional, maka tinggal mengangkat atau menyinggung nilai nilai yang sangat vital dan strategis tersebut.

Maka dari itu bila kita mengacu pada pesan Panglima Besar Jenderal Sudirman yang disampaikan pada tahun 1946: “pertahankan rumah serta perkarangan kita sekalian” makna dari pesan tersebut tidak jauh bahwa di dalam wilayah kedaulatan NKRI terdapat beberapa geopolitcal flasfpoints yang harus diamankan dan dijaga demi kepentingan nasional Republik Indonesia.

M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Penulis Buku Perang Asimetris dan Skema Penjajahan Gaya Baru

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com