Paramitha Prameswari, pemerhati masalah terkini Indonesia. Tinggal di Kota Serang Timur, Banten
Pilkada serentak 2017 akan dilaksanakan di 101 daerah, terdiri dari 7 provinsi, 18 kota dan 76 kabupaten di Indonesia. Seperti pada pelaksanaan Pilkada-Pilkada sebelumnya, pelaksanaan Pilkada Serentak 2017 masih diwarnai kerawanan-kerawanan yang dapat menghambat atau bahkan menggagalkan proses demokrasi di daerah-daerah penyelenggara.
Kerawanan tersebut antara lain, kondisi geografis, partisipasi masyarakat pemilih, ketidaknetralan penyelenggara Pilkada, tidak berjalannya pengawasan yang berdampak pada tidak adanya sanksi terhadap pelaku pelanggaran Pilkada, money politics, carut marut daftar pemilih, dukungan ganda, pengerahan massa, fanatisme berlebihan dari massa pendukung, hingga provokasi dan intimidasi terhadap pemilih untuk memilih calon tertentu.
Ada permasalahan menonjol dalam proses pelaksanaan tahapan Pilkada 2017, yang masuk dalam indeks kerawanan Pilkada dan membutuhkan perhatian khusus seperti yang terjadi di Aceh, Banten, Jakarta, Yogyakarta, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua dan Papua Barat.
Rawan Konflik
Di Aceh, terdapat 20 kabupaten/kota yang melaksanakan Pilkada Serentak 2017, termasuk Pilkada Gubernur. Aspek kontestasi dinilai dapat menimbulkan kerawanan, hal ini tidak terlepas dari banyaknya mantan pendukung Aceh Merdeka yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Seperti diketahui, para mantan pendukung Aceh Merdeka memiliki basis massa yang kuat dan tersebar hampir di seluruh wilayah Aceh.
Dengan banyaknya mantan pendukung Aceh Merdeka yang mencalonkan diri, akan terjadi perpecahan pada tingkat basis massa pendukung pasangan calon kepala daerah, yang menimbulkan kerawanan adanya provokasi terhadap masyarakat dari mantan kombatan Aceh Merdeka untuk memilih pasangan calon yang diusungnya.
Sementara itu, dari aspek penyelenggaraan, sangat rentan terhadap intimidasi dan provokasi bahkan kekerasan terhadap penyelenggara Pilkada di Aceh. Selain itu, ketidaknetralan penyelenggara ditengarai akan mewarnai Pilkada Serentak 2017 di Aceh, karena pengaruh mantan kelompok pendukung Aceh Merdeka.
Potensi konflik antar calon yang merasa dirugikan sangat dimungkinkan teraktualisasi dalam bentuk bentrok antar massa pendukung, intimidasi, aksi kekerasan dan lain-lain.
Di Banten, diselenggarakan Pilkada Gubernur, aspek kontestasi masih menjadi dimensi kerawanan paling tinggi yang disebabkan hubungan kekerabatan antar calon kepala daerah. Selain itu, dalam Pilkada di Banten kental dengan nuansa fenomena politik dinasti, yang dapat mengganggu jalannya Pilkada serentak yang Jurdil dan bersih. Pandangan itu dilatarbelakangi banyaknya jejaring kerabat calon di lingkungan birokrasi pemerintahan yang berperan untuk mensukseskan pencalonan kandidat tersebut, dengan memobilisasi jalur birokrasi.
DKI Jakarta, ada resistensi pencalonan petahana semakin meningkat dari kalangan elemen masyarakat. Mereka menilai bahwa petahana tidak mencerminkan perilaku pemimpin yang baik dan cerdas serta melindungi masyarakat. Lebih jauh, kelompok resisten Petahana tersebut mengkaitkan karakter kepemimpinan petahana dengan etnis tertentu (Tionghoa) sehingga rentan dieksploitasi oleh kelompok kepentingan lainnya untuk menyudutkan etnis tersebut, sehingga dapat menimbulkan konflik SARA.
Selain Aceh, Pilkada Gubernur Jakarta diperkirakan akan sengit dan berlangsung dua putaran, walaupun pasangan Ahok-Jarot diprediksi akan menang. Banyak kalangan di Jakarta menilai, Pilkada ibarat “pertarungan segitiga” antar “pendekar politik” yaitu Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto dan Susilo Bambang Yudhoyono untuk berebut pengaruh di Jakarta menyongsong Pilpres 2019.
Di Yogyakarta, terdapat 2 daerah yang menyelenggarakan Pilkada serentak 2017, yaitu Kota Yogyakarta dan Kab. Kulonprogo. Dalam Pilkada Kab. Kulonprogo, potensi kerawanan di daerah pesisir tersebut disebabkan oleh konflik yang menyulut rasa tidak percaya masyarakat pada negara dan sistemnya. Hal tersebut akan berimbas pada rendahnya tingkat partisipasi masyarakat.
Selain itu, aspek netralitas ASN/PNS juga perlu menjadi perhatian karena petahana memutuskan maju kembali. Sementara, persoalan pemutakhiran data menjadi menjadi potensi kerawanan karena kendala administratif.
Di Sulawesi Tenggara, berbagai kalangan civil society disana sudah memetakan daerah rawan terjadinya pelanggaran Pilkada di Prov. Sultra. Wilayah tersebut, antara lain Kota Kendari dan Kabupaten Muna Barat, karena praktek pemilih ganda. Oleh karena itu, pemuktahiran data pemilih dan langkah hati-hati Pemda dalam mengeluarkan surat keterangan kependudukan agar tidak disalahgunakan dalam Pilkada 2017 menjadi poin krusial.
Di wilayah Maluku, Pilkada Serentak 2017 akan dilaksanakan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Kota Ambon, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku Tenggara Barat, Buru dan Maluku Tengah.
Diestimasikan bahwa potensi kerawanan antara lain terkait ketidaknetralan penyelenggara, penyalahgunaan wewenang penyelenggara, kualitas DPT, perusakan terhadap fasilitas penyelenggara, intimidasi terhadap penyelenggara, dukungan ganda untuk calon perseorangan, sengketa pencalonan, substansi materi kampanye, politik uang, penggunaan fasilitas negara dalam kampanye, konflik antar peserta Pilkada (baik calon kepala daerah, tim sukses serta basis massa pendukung), tantangan geografis, pengaruh pemuka agama dan adat serta kekerasan terhadap pemilih.
Sedangkan di Papua dan Papua Barat, terdapat 11 kabupaten/kota akan melaksanakan Pilkada yakni Nduga, Lani Jaya, Sarmi, Mappi, Tolikara, Kepulauan Yapen, Jayapura, Intan Jaya, Puncak Jaya, Dogiyai, dan Kota Jayapura. Sementara di Papua Barat, terdapat 4 kabupaten/kota yang akan melaksanakan Pilkada yaitu Kota Sorong, Tambrauw, Maybrat, dan Kabupaten Sorong.
Dari aspek partisipasi masyarakat, minimnya akses informasi akan menjadi hambatan suksesnya penyelenggaraan Pilkada Serentak 2017. Selain itu, kondisi geografis yang cukup sulit ditengarai juga akan menjadi faktor kerawanan penyelenggaran Pilkada.
Di sisi lain, adanya kelompok separatis seperti OPM dan aliansi politiknya seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Parlemen Rakyat Daerah (PRD) maupun United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) terus melakukan provokasi terhadap masyarakat untuk tidak berpartisipasi memilih atau memaksa masyarakat memilih pasangan calon yang terindikasi didukung kelompok separatis.
Sementara itu, dari aspek penyelenggaraan, terdapat kebijakan atau keputusan penyelenggara Pilkada yang tidak dikomunikasikan terlebih dahulu dengan KPU Pusat sehingga terkesan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Bawaslu telah mengeluarkan Indeks Kerawanan Pilkada (IKP) 2017, yang menetapkan beberapa daerah dinilai memiliki kerawanan tinggi yaitu Aceh, Banten dan Papua Barat, sehingga kewaspadaan perlu ditingkatkan di ketiga propinsi ini menjelang, selama dan sesudah Pilkada 2017.
Dalam pelaksanaan Pilkada serentak 2017 untuk menciptakan kondusifitas keamanan, hendaknya tetap memperhatikan situasi yang berkembang, khususnya pada daerah-daerah yang dinilai memiliki kerawanan yang cukup tinggi, dengan proporsional dan tidak menimbulkan resistensi dari masyarakat. Di sisi lain, guna meningkatkan kualitas dan pemahaman masyarakat pemilih, dilakukan upaya-upaya membentuk kesadaran bahwa keberhasilan pelaksanaan Pilkada berawal dari stabilitas keamanan wilayah yang baik.
Bagaimanapun juga, menjadi tantangan bersama bagi kita sebagai anak bangsa untuk dapat melaksanakan Pilkada 2017 secara lebih aman dan lebih berhasil dibandingkan Pilkada 2015 yang sudah berjalan aman dan dipuji banyak kalangan, karena Pilkada 2017 akan menjadi ukuran kedewasaan berpolitik, berdemokrasi, berliterasi politik dan kematangan multikulturalisme di Indonesia. Rangkaian Pilkada serentak yang akan diselenggarakan sampai tahun 2022 akan menjadi pintu gerbang Indonesia sebagai kiblat negara terdemokratis di dunia. Ayo sukseskan.