Kini Tiba Giliran Libya

Bagikan artikel ini

Dina Y. Sulaeman

Berbeda dengan Mesir dan Tunisia, alasan ekonomi sepertinya sulit digunakan untuk menganalisis faktor penyebab kebangkitan rakyat Libya. Pendapatan penduduk per kapita Libya adalah US$ 14581.9. Bandingkan dengan Mesir yang hanya US$ 2015.5 dan Tunisia US$ 3680.5. Sekedar perbandingan, Indonesia masih di atas Mesir, yaitu US$ 2149.7 (data dari PBB).

Alasan bahwa Libya anti AS pun sulit dipakai, karena, meskipun Qaddafi berkali-kali bersuara keras menentang AS dan Israel, namun semua itu hanya lip service belaka. Libya diembargo AS selama 37 tahun dengan alasan “Libya mendukung terorisme”. Sejak tahun 2001, Qaddafi memperlihatkan perubahan sikap dengan menyatakan kecamannya pada aksi teror 9/11, lalu pada tahun 2002 menyatakan dukungannya pada Perang Melawan Terorisme. Tahun 2003, Qaddafi bersedia menyerahkan simpanan senjata nuklirnya kepada AS. Sejak tahun 2004, AS menghentikan embargonya dan kembali membuka kantor perwakilan diplomatiknya di Tripoli. Saat itu bahkan Bush memuji Libya, sebagai negara yang harus ditiru negara-negara pemilik nuklir lain seperti Iran dan Korea Utara.

Minimnya informasi tentang kisruh di Libya (tidak seperti di Mesir dan Tunisia), membuat banyak kemungkinan analisis yang bisa dikemukakan. Fakta bahwa dalam kasus Libya, dunia saat ini bergantung pada pemberitaan dari media-media mainstream yang sudah terbukti berkali-kali berperan penting dalam upaya penggulingan rezim di negara-negara Dunia Ketiga, seharusnya menimbulkan kecurigaan. Kita pun belum tahu, siapa yang berperan dalam mobilisasi massa. Belum ada nama tokoh oposisi Libya yang muncul ke permukaan. Berbeda dengan Mesir yang jelas-jelas sejak lama ada Ikhwanul Muslimin, atau Tunisia, yang meledak setelah ada aksi pembakaran diri seorang sarjana yang sangat sakit hati akibat ulah polisi yang menyita barang dagangan kaki limanya.

Karena informasi yang masih terlalu minim, tulisan ini akan difokuskan pada satu hal menarik dari Libya, yaitu minyak. Menurut Wall Street Journal (28 Aug 2009), Libya ternyata adalah negara dengan sumber minyak terbanyak di Afrika. Konsesi minyak Libya diserahkan kepada perusahaan-perusahaan minyak yang di antaranya sudah umum didengar telinga, British Petroleum, Total, Shell, atau ExxonMobil. Perusahaan-perusahaan yang sama yang juga mengeruk minyak dan gas di Indonesia dan negara-negara Dunia Ketiga lainnya, yang saham terbesarnya dikuasai oleh orang-orang Zionis.

Namun yang menarik, Wall Street Journal mengeluhkan sikap Libya yang menyulitkan investor. Sejak tahun 2007, pemerintah Libya rupanya memaksa perusahaan-perusahaan minyak asing untuk menegosiasi ulang kontrak. Perusahaan yang ingin memperpanjang kontrak diharuskan membayar bonus yang sangat besar dan hanya mendapatkan hak eksplorasi yang lebih sedikit. Libya mengancam perusahaan-perusahaan itu dengan nasionalisasi bila mereka menolak syarat-syarat yang ditetapkan. Menurut Wall Street Journal, dalam kondisi seperti ini, tender hanya mungkin dimenangkan oleh perusahaan minyak yang dimiliki negara seperti Gazprom dari Rusia atau Sonatrach dari Aljazair. Artinya, perusahaan-perusahaan swasta milik pengusaha-pengusaha Zionis itu merasa tergencet.

Laporan Wall Street Journal ini sangat bersesuaian dengan doktrin lama kekuatan-kekuatan kapitalis Zionis: bila sebuah rezim mengancam kepentingan kapitalis, gulingkanlah! Lembaga-lembaga think-tank Zionis, mulai dari Freedom House, National Democrat Institute, International Republican Institute, USAID, hingga LSM-LSM swasta yang didanai milyarder Zionis macam Open Society-nya George Soros sudah terbukti menjadi dalang dari upaya-upaya penggulingan rezim (baik yang sudah berhasil maupun belum) di Serbia, Georgia, Ukraina, Kyrgyzistan, Nikaragua, Myanmar, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Palestina, Lebanon, dan Iran. Tentu saja, upaya ‘pemberian bantuan’ untuk penggulingan rezim di sebuah negara bukan mereka lakukan dengan niat tulus membebaskan rakyat dari kediktatoran sebuah rezim, tapi semata-mata demi memuluskan jalan bagi korporasi-korporasi transnasional milik Zionis.

Tentu, tulisan ini bukan untuk membela Qaddafi yang jelas-jelas diktator itu. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa ternyata ada banyak jenis kroni AS-Zionis. Ada yang budak dalam arti seutuhnya, tunduk patuh pada apapun kata Sang Tuan, macam Ben Ali atau Hosni Mobarak, sampai-sampai rakyat mereka hidup miskin. Ada pula yang berwujud diktator, macam Qaddafi, tetapi masih berani bermulut besar di depan Barat sehingga rakyatnya tetap punya uang sekitar 14.000 dolar pertahun. Ada pula yang menjaga citra sebagai pemimpin yang ramah dan demokratis, namun sesungguhnya lewat tangannyalah kekayaan alam negaranya diobral habis kepada korporasi AS-Zionis. Dan manusia merdeka, tak seharusnya tunduk pada kroni AS-Zionis, dalam wujud apapun.

Sumber :http://indonesian.irib.ir/

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com