Banyak kalangan kalau mendengar tentang gembong mafia Jepang, yang ada di benak selalu Yakuza. Padahal ada yang lebih mengerikan dari itu, yaitu sebuah perkumpulan bernama Dark Ocean Society, dibentuk oleh Toyama Mitsuru pada akhir abad ke-19. Mereka berikrar memuja kaisar, mencintai dan menghormati bangsa serta mempertahankan hak-hak rakyat.
Organ ini pada perkembangannya mampu menanam pengaruh atas birokrasi dan angkatan darat Jepang, berkat reputasinya di bidang pemerasan, teror dan pembunuhan. Perkumpulan ini menyediakan pengawal untuk pejabat, bandit untuk pimpinan politik, pengikut setia untuk pasukan bersenjata dan mata-mata untuk subversi asing.
Para anggotanya mempelajari seni perang tradisional dan kebanyakan menjadi ninja yang mahir membunuh. Dark Ocean Society yang kemudian berubah nama jadi Black Dragon Society, kemudian mengembangkan dan memperluas lingkup pengaruhnya dengan menyediakan tenaga inti bagi dinas rahasia Jepang sebelum Perang Dunia II. Mereka dikirim ke luar negeri untuk menyiapkan jalan bagi penyerbuan ke Korea, Manchuria dan Cina bagian Utara.
Tentu saja hal ini semakin meningkatkan pengaruh Toyama dan para pengikutnya sebagai tenaga penggerak politik Jepang dan mempengaruhi cara hidup mereka. Bahkan, Toyama bisa dibilang merupakan sumber yang mengilhami terbentuknya aneka corak perhimpunan rahasia lain seperti: Loyalist Sincerity Group, Blood Pledge Corps dan Association for Heavenly Action, yang mendapat dukungan keuangan dari orang-orang kaya untuk beroperasi dalam perjudian, prostitusi, perlindungan terhadap perncuri, pemerasan, dan kontrol terhadap kaum buruh. Inilah yang membawa kegiatan perkumpulan-perkumpulan ini menjadi dekat dan bekerjasama dengan Yakuza.
Maka bersatunya Black Dragon Society dan Yakuza, kepentingan golongan politik dan dunia kejahatan terjalin jadi satu. Dua perkumpulan inilah yang memotori perampasan dan penjarahan Jepang di Asia Timur dan Tenggara karena kemampuan agen-agennya untuk melakukan penetrasi ke angkatan darat dan polisi militer Jepang (Kempeitei).
Para anggota Yakuza yang kaya raya yang lebih tertarik pada uang ketimbang politik, kemudian bersekutu dengan kekuatan militer Jepang yang berhaluan fasisme Dari 1931 sampai 1945, mereka mengumpulkan kekyaan melalui perdagangan di pasar gelap, dan menyimpannnya dalam bentuk intan, emas, dan platina. Bahkan lebih gilanya lagi, ketika Kempetei dan tentara Jepang menguasai perdagangan opium di Manchuria pada 1930-an, kartel obat bius didirikan bekerjsama dengan Shanghai Green Gang dan sindikat kejahatan Cina lainnya yang terikat dengan rejim Chiang Kai Shek yang kala itu masih menguasai Cina daratan di utara. Dengan bantuan kartel ini, Tentara fasisme Jepang yang sudah menguasai beberapa negara di kawasan Asia Timur dan Tenggara, berhasil meraup uang sebesar 300 juta dolar AS setahun dari perdagangan obat bius di Manchuria.
Ketika akhirrnya Jepang menyerah kepada tentara sekutu yang dimotori oleh Amerika Serikat pada Agustus 1945, keberadaan Black Dragon Society dan Yakuza, tidak dengan serta merta ikut tertumpas. Karena para aktor kuncinya, berhasil menyusup masuk ke dalam kekuatan-kekuatan politik baru Jepang pasca Perang Dunia II.
Pemain-Pemain Belakang Layar di Balik Persekutuan Baru AS-Jepang
Kalau mau memahami paradoks politik luar negeri AS, amati saja kebijakan politik yang diterapkannya di Jepang menyusul takluknya negeri Sakura ini kepada AS. Misi yang diinstruksikan oleh Washington kepada Jenderal Douglas MacArthur, segera didirikan pemerintahan sayap kanan di seluruh Asia Timur, sebagai garis pertahanan utama menentang komunisme. Di sinilah paradoks politik luar negeri AS dengan jelas terlihat. Ketika memutuskan untuk membentuk pemerintahan sayap kanan anti komunis di Jepang, berarti Washington harus bekerjasama dengan gerakan bawah tanah di Jepang.
Sebab seperti lazimnya di Asia, kekuasaan gerakan politik konservatif berasal dari para pelaku kejahatan yang dibayar untuk membinasakan lawan dan menolak pembaharuan du segala bidang. Maka, AS kemudian membentuk aliansi strategis di Asia Timur bernama the Iron Triangle: AS yaitu: Cina Taiwan yang berada di bawah rejim Chang Kai Shek, yang punya jaringan Cina perantauan yang kaya raya dan punya agen-agen politik rahasia di seluruh Timur Jauh, gerakan bawah tanah Jepang, dan komunitas intelijen AS.
Sejak berlangsungnya Perang Dingin antara AS versus Uni Soviet dan Cina pada 1950-an, pemerintahan Presiden Harry S Truman nampaknya lebih memandang komunis jauh lebih berbahaya ketimbang pemerintahan sayap kanan di Asia Timur yang sangat anti komunis. Sehingga berkat desakan dari MacArthur yang waktu itu diserahi tugas untuk mengelola kekuasaan transisi dari tentara sekutu ke otoritas politik Jepang, kemudian membebaskan beberapa pemain kunci dalam era fasisme Jepang, sehingga kemudian mereka justru ikut mewarnai konstalasi politik Jepang pasca perang dunia II.
Sekelumit Kisah Tentang Kodama Yoshio dan Sasakawa Ryoichi
Sebagai ilustrasi, mungkin ada baiknya kita buka kembali tumpukan berita lama ihwal penjahat perang kelas-A, jutawan Kodama Yoshio dan Sasakawa Ryoichi. Keduanya sejak bertekuk lutunya Jepang pada Agustus 1945, meringkuk di penjara Sugamo menunggu pemeriksaan pengadilan. Kodama, tercatat sebagai anggota seumur hidup organisasi kejahatan Yakuza dan pelindung yang paling cerdas, mehghasilkan 200 juta dolar selama perang dengan hanya menjual barang curian kepada Angkatan Laut Jepang. Tentu saja ini hanya sebagian kecil dari kegiatannya selama Perang Pasifik berlangsung.
Sasakawa merupakan kawan Kodama yang paling lihai. Reputasi kedua orang ini sebagai tokoh berhaluan kanan dan ultranasionalisme, sudah terlihat sejak 1930-an. Ketika kedua orang tersebut dihukum penjara gara-gara Kodama berencana membunuh pejabat pemerintah yang tidak berhaluan kanan. Sedangkan Sasakawa dipenjara gara-gara tindak kekerasan merampas uang. Keduanya merupakan pendukung aktif rejim Jenderal Hideki Tojo yang berhaluan fasisme.
Bahkan dalam salah satu laporan dinas rahasia AS, Sasakawa dipandang sebagai sosok yang berbahaya bagi masa depan politik Jepang. Sedangkan Kodama selain dipandang berhaluan ultranasionalisme dan menghalalkan tindak kekerasan serta trampir dalam menarik hati kaum kuda, juga dipandang berbahaya bagi keamanan.
Namun di sinilah keduanya sangat diuntungkan oleh kebijakan politik luar negeri AS yang bersifat paradoks. Hanya gara-gara lebih memandang komunis lebih berbahaya daripada politik berhaluan sayap kanan di Jepang, Jenderal MacArthur secara diam-diam membebaskan Kodama dan Sasakawa berikut 52 sekutu politiknya dari penjara.
Bahkan atas sepersetujuan MacArthur, Kodama dan Sasakawa menjadi pengelola dan pendukung dana partai Liberal Demokrat(LDP) yang sejak era politik Jepang pasca Perang Dunia II, selalu mendominasi politik Jepang.
Membebaskan Kodama dan Sasakawa dan bahkan memunculkan keduanya dalam pentas politik Jepang pasca Perang Dunia II, menggambarkan betapa absudrnya kebijakan politik luar negeri AS. Betapa tidak. Sasakawa, yang lahir di dekat Osaka pada 1899, pada 1927 setelah mengikuti wajib militer, ia memulai aktif dalam perhimpunan sayap kanan, terlibat dalam politik dan memperoleh kekayaan dari hasil spekulasi perdagangan beras.
Pada 1931, ketika tentara Jepang menduduki Manchuria, Jepang dilanda gelombang semangat nasionalis. Sehinga Sasakawa kemudian bergabung dengan teroris Yakuza bersama Kodama Yoshio untuk mendirikan organisasi politik berskala nasional dengan naama Kokosui Taishuto. (KT).
Adapun aktivitas utama KT mengkhususkan diri dalam pemerasan atau merampas uang pengusaha, politikus, dan birokrat dengan mengancam akan melaporkan mereka sebagai orang yang tidak berjiawa patriotisme. Tidak heran jika Sasakawa jadi sosok yang menakutkan di Jepang kala itu.
Pengaruhnya di kalangan angkatan bersenjata Jepang justru semakin menguat ketika dia dibebaskan dari penjara pada 1930-an, ia menyuruh para anggota KT membangun bandara udara besar di Osaka yang disumbangkan sepenuhnya kepada angkatan bersenjata.
Bukan itu saja. Ia bahkan membangun armada pribadinya tediri dari 20 kapal terbang untuk membentuk angkatan udara sukarela. Pada 1939 ia terbang ke Itali, atas prakarsa pribadi, untuk mengunjugi pemimpin fasisme Itali Benito Musolini, orang yang dia kagumi. Pada 1942, Sasakawa terpilih menjadi anggota Diet (parlemen Jepang), sebagai pendukung rejim Tojo untuk menaklukkan wilayah Asia Tenggara.
Dengan demikian, Sasakawa konsentrasi operasi politiknya sebagai penggalang dana partai seraya memperkuat angkatan darat dan udara.
Kodama, sedikit berbeda kisah hidupnya. Kodama, 12 tahun lebih muda dari Sasakawa. Lahir kota Nihonmatsu. Sejak masa kecilnya, melieu pergaulannya memang berada di kalangan gangster Yakuza dan di masa remajanya, jadi pengelola kelompok ultranasionalis dan berbakat untuk bermain politik. Sebagai teroris profesional, Kodama berguru pada Toyama Mitsuru dari Dark Ocean Society.
Seperti tadi di singgung sekilaas, sejak 1930-an bermitra dengan Sasakawa membentuk partai rakyat berhaluan ultranasionalisme bernama Kokosui Taishuto. Pada 1934, Kodama sempat merancang usaha pembunuhan terhadap Perdana Menteri Laksamana Saito dan beberapa anggota kabinet. Namun usaha itu gagal dan dia harus kembali masuk penjara.
Ketika bebas pada 1937, justru komitmennya pada haluan politik ultranasionalisme dan fasisme semakin mengental. Bahkan kali ini, gara-gara dipenjara, baginya malah seperti menanam investasi politik. Di mata kalangan sayap kanan yang berhaluan ultranasionalis reputasinya semakin tinggi. Bahkan Kodama pengaruhnya semakin mengakar di kalangan tentara. Dengan bergabung di angkatan bersenjata, ia menjadi staf di markas besar dan ditempatkan pada biro informasi Menteri Luar Negeri sebagai agen rahasia.
Dengan demikian, Kodama sekarang tidak lagi sebagai “gangster jalanan” atau teroris. Dia sudah naik pangkat jadi “tukang atur” atau arranger melayani kepentingan militer Jepang pada era Perang Pasifik. Antara lain perwira tinggi yang dekat dengan Kodama adalah, Letnan Kolonel Tsuji, “Bapak Gerakan Militer” yang menyusun rencana penyerangan Jenderal Yamashita ke Singapore. Laksamana onichi yang merencanakan serangan ke Pearl Harbour dan yang menciptakan korps Kamikaze. Jenderal Ishira yang mengembangkan rencana Jepang menaklukkan Manchuria dan Pangeran berdarah biru yang memimpin dinas rahasia.
Sedikit berbeda dengan Sasakawa, Kodama lingkup kegiatan operasinya berkonsentasi pada angkatan laut dan dinas rahasia serta mengumpulkan dana di luar negeri.
Jauh-jauh hari sebelum serangan Jepang ke Pearl Harbour, Kodama mendampingi ekspedisi pasukan Jepang ke Cina Utara dan Manchuria. Dialah yang dianggap bertanggungjawab merampaas hata penduduk Manchuria dan sebagian Cina Utara sewaktu daerah ini berada dalam kekuasaan militer Jepang. Ia menempatkan Yakuza bekerjasama dengan angkatan bersenjata Jepang dan Kempetei untuk mengeruk habis semua kekayaan dengan penculikan dan perampasan dalam skala yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dan melakukan monopoli dalam segala bidang di bawah perlindungan Jepang.
Sterling Seagrave dalam bukunya, The Marcos Dynasty, menulis bahwa agen-agen Kodama merampas batu permata dan logam berharga yang bernilai ratusan juta dolar AS dari Manchuria dan Cina Utara. Dan menjarahnya untuk perlengkapan militer. Monopoli opium yang didirikannya di Manchuria menghasilkan keuntungan 300 juta dolar AS per tahun untuk dipersembahkan kepada kekaisaran Jepang. Setidaknya begitulah secara teoritis. Meskipun pada kenyataannya kekayaan itu sama sekali tidak pernah sampai ke tangan pemerintah Jepang secara resmi.
Bahkan saat terjadinya serangan Jepang ke Pearl Harbour, Kodama berada di Shanghai menyelundupkan heroin dari Manchuria yang disamarkan sebagai perlengkapan perang dan menjualnya bersama-sama dengan Green Gang.
Meski resminya Jepang dan Cina pada waktu itu sedang berperang, namun Kodama menjalin persekutuan dengan gerakan bawah tanah Cina. Ketika Kodama mendirikan Perwakilan di Shangghai dengan kontrak ekslusif dari Angkatan Udara kekaisaran untuk menyuplai perlengkapan perang, maka dimulailah persekongkolan Kodama dengan organisasi kejahatan terbesar di Cina, Green Gang, pimpinan Tu Yueh-sheng.
Di Shanghai inilah, terjalin persekutuan rahasia antara Kempetei dengan Green Gang. Dengan demikian, praktis Kodama telah menjalin ikatan persaudaraan dengan rejim militer Cina pimpinan Chang Kai Shek, yang kelak pada 1949 terpaksa mengungsi ke Taiwan, gara-gara tergusur oleh gerakan revolusi komunis yang berada di bawah pimpinan Mao Zhe Dong.
Dari sejak aktivitasnya di Shanghai inilah, aset politik Kodama sudah bisa terbaca kekuatannya kelak di kemudian hari. Melalui perwakilan di Shanghai, Kodama berhasil merajut para anggota Kokosui Taishuto, Gangster Yakuza dan Kempetei, angkatan darat, dan angkatan laut. Sehingga Kodama punya pengaruh kuat dan luar biasa dalam hirarki angkatan laut, darat dan udara.
Pola pikir dan pandangannya sudah meluas dan mengembang, tidak terbatas untuk menguasai perpolitikan Jepang belaka. Sementara Jepang mulai menaklukkan wilayah Asia Tenggara setahap demi setahap, Kodama mulai menyiapkan rencananya sendiri dengan menguasai Cina, terus ke selatan melalui Vietnam, Thailand, Birma, Malaysia, Singapure dan Indonesia.
Ketika Jepang kalah perang, Kodama menyiapkan jalan pulang melalui pantai Kalimantan, Brunei, Filipina, dengan membawa sejumlah besar rampasan perang dalam kapal angkatan laut di bawah pengawasan ketat perwira angkatan laut yang diperbantukan kepadanya.
Singkat cerita, harta kekayaan hasil rampasan perang tersebut tidak pernah dengan sungguh-sungguh dikembalikan oleh Kodama kepada kekaisaran Jepang. Kapal barang dan kapal perang yang diperintahkan untuk mengangkut emas harta rampasan Jepang, dilaporkan kapalnya tenggelam dalam perjalanan ke Jepang. Bagi Kodama, nampaknya perkara mudah membuat cerita fiksi hilangnya harta rampasan Jepang.
Perintis Berdirinya Partai Liberal Demokrat Jepang
Menjelang kemenangan tentara sekutu pada perang dunia perang dunia II, Kodama dan Sasakawa sepertinya sudah mengantisipasinya. Sehingga keduanya, dalam kedaan siaga di Tokyo, dan memulai karir barunya. Ketika Jepang berada dalam transisi dari kekuasaan sekutu ke pemerintahan konstitusional, Pangeran Higashikuni Toshihiko menjadi perdana menteri sementara. Anehnya, Kodama yang waktu itu bertitel Laksamana Muda berusia 34 tahun, merupakan salah satu penasehatnya.
Ketika pada 1946, Sasakawa dan Kodama ditangkap oleh pasukan pendudukan dan ditahan di Penjara Sugamo selama 3 tahun. Inilah konteks kisah yang saya sampaikan di awal tadi, ketika akhirnya keduanya dibebaskan dari penjara atas perintah dari Jenderal MacArthur. Bahkan Sasakawa selama di penjara di Sugamo ini, justru mendapatkan modalitas politik untuk memperkuat posisinya ke depan.
Di penjara, Sasakawa berada satu sel dengan sekutu politiknya yang berkuasa, Kishi Nobusuke, yang kelak menjadi perdana menteri Jepang. Selain tentunya berada satu sel dengan Kodama Yoshio dan Kaya Okinori. Justru di penjara inilah, mereka berdua mendapatkan pendidikan politik yang amat berharga. Seraya jadi momentum untuk merancang Kebangkitan Jepang.
Bedanya, kalau sebelumnya komitmen ultranasionalismenya dipusatkan untuk politik dan militer, di era pasca perang dunia II, mereka fokus pada bidang ekonomi. Tidak lagi dengan jargon demi imperialisme militer seperti di era Perang Asia Timur Raya. Namun bergeser fokus, ke imperialisme ekonomi.
Agaknya, kekayaan yang dikumpulkan hasil jarahan semasa perang yang berhasil ditimbun Sasakawa dan Kodama di seluruh kawasan Asia, telah dijadikan dana awal untuk organisasi politik yang kemudian menjadi Partai Liberal Demokrat (Liberal Democratic Party, LDP).
Ketika akhirnya keduanya dibebaskan, sebagai hasil “kesepakatan diam-diam” antara MacArthur dan Chiang Kai Shek, Kodama mengembalikan setengah dari jumlah yang seharusnya menjadi pendapatan pribadinya sebesar 200 juta dolar AS(jumlah itu hanya sebagian kecil dari keseluruhan) kepada American Counter Intelligene Corps untuk dibagi dua dengan Chiang Kai Shek.
Namun berapa persisnya kekayaan Kodama dan Sasakawa yang disumbangkan dalam perjanjian tersebut, tak pernah terungkap. Yang jelas, dari kesepakatan diam-diam ini, telah terjalin sebuah persekutuan segitiga antara AS, Jepang dan Cina Taiwan di bawah kepemimpinan Chiang Kai Shek.
Di dalam perpolitikan dalam negeri Jepang, kesepakatan terselubung MacArthur dan Chiang Kai Shek, telah memperkuat pengaruh politik Kodama dan Sasakawa dalam mengatur dan mendikte arah politik Jepang. Orang Jepang menyebut mereka berdua sebagai “Kuromaku” alias orang di belakang tirai hitam. Tukang atur-atur dalam politik dan bisnis di Jepang setelah perang dunia II.
Fakta menarik yang tak boleh dilupakan, ketika Kishi Nobusuke, kawan satu sel Sasakawa, terpilih sebagai perdana menteri Jepang, bersamaan waktunya dengan diadakannya perundingan antara Indonesia dan Jepang terkait soal Pampasan Perang. Dan entah kebetulan atau tidak, juga bersamaan pergeseran minat Sasakawa ke arah pembangunan kembali perekonomian Jepang dengan menembus akses ke Asia Tenggara dan Timur Tengah.
Apalagi ketika kemudian Sasakawa terpilih sebagai Ketua Perhimpunan Jepang-Filipinan dan Perhimpunan Jepang-Indonesia, diikuti dengan Perhimpunan persahabatan lain negara di kawasan Asia Tenggara.
Nampaknya Sasakawa danKishi Nobusuke yang kala itu jadi perdana menteri, sudah punya semacam strategi besar (Grand Strategy) membangun kembali ikatan yang rusak dengan Jakarta disertai ikatan bisnis yang kuat.
Apakah berkat peran terselubung Sasakawa dan Kodama ini pula, ketika Indonesia dan Jepang berhasil mencapai kesepakatan soal pamparan perang, nyatanya sama sekali tidak memasukkan tiga kejahatan perang Jepang selama di Indonesia dalam klausul pertimbangan dari kesepakatan tersebut yaitu Romusha, Ianfu dan Heiho?
Jika memang begitulah kenyataannya, berarti keberhasilan Jepang sebagai negara adidaya ekonomi saat ini, bertumpu pada pengorbanan dan penderitaan rakyat Indonesia akibat kekejaman dan kebiadaban tentara fasisme Jepang di Indonesia.
Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)