“Bagi kue nya meskipun kecil,” ujar Bung Hatta sekali waktu (majalah Prisma, akhir 1970-an). Pesan bapak bangsa yang ekonom itu intinya tentang pentingnya keadilan dan pemerataan, dalam strategi pembangunan nasional masa itu. Pesan yang mudah dicerna namun sungguh filosofis. Bagi yang paham, jelas bahwa Bung Hatta lebih sejalan dengan pemikiran pakar ekonomi pembangunan Myrdal yang cenderung pada pertumbuhan ekonomi yang berimbang, bukan saran Hirschman yang mengutamakan beberapa sektor prioritas saja yang dibangun secara besar-besaran.
Dalam sejarah kita, ada masa-masa membanggakan sebagai bangsa, ketika lapisan elit, bapak bangsa dan pimpinan nasional punya intelektualitas tinggi dan paham filosofi pembangunan hingga penyelenggaraan pemerintahan. Bagaimana kini?
Maunya sich kebanggaan kita itu berulang, tidak lagi timbul-tenggelam. Melihat para ketua umum parpol mengangkat gelas, atau saling kunjung ke sana-sini, menunjukkan koalisi ke arah pilpres 2024 sudah dimulai. Tetapi, siapa saja capresnya, apakah betul putra-putra terbaik bangsa? Mungkinkah Indonesia mendapatkan putra terbaik sebagai calon-calon pemimpin nasional bila tidak dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol yang memenuhi threshold (proporsi suara yang cukup)? Aturan pilpres itu membuat negeri kita semakin jauh dari tata cara yang ideal dalam memilih pemimpin nasional. Sejak lama, banyak kalangan mengkritisi amandemen konstitusi yang membuat pilpres menjadi langsung oleh rakyat, bukan hasil musyawarah di MPR sebagaimana amanat ideologi Pancasila (Kaelan, 2014; Sudjito, 2014). Belum lagi tuntas soal itu, belakangan ini muncul pula polemik aturan presidential threshold dalam mengajukan pasangan capres/cawapres.
Baiklah, sementara ini coba kita terima saja dulu apa adanya segala aturan pilpres itu. Katakanlah kemudian muncul pasangan capres/cawapres semisal AB/AHY, PS/PM dan GP/ET. Bagaimana kita dapat memastikan bahwa para calon pemimpin bangsa itu akan mampu mengemban amanah? Para founding fathers kita telah mengamanatkan bahwa presiden dan para pembantunya adalah figur intelek dan berilmu, yang mampu membawa hikmah dari kebijaksanaannya melalui musyawarah dengan kalangan ahli, stakeholders atau perwakilan orang banyak dari lapisan terkait, dalam menghadapi berbagai permasalahan bangsa. Jadi, bukan orang yang bersikap paling tahu atau superior sehingga justru marah-marah ketika berbagai elemen masyarakat mempertanyakan.
Mungkin saja melalui uji-publik kepada capres/cawapres, rakyat dapat menilai kemampuan calon-calon itu bila kelak terpilih. Berdasarkan pengalaman yang lalu, adalah penting untuk mendesain format debat, peran dan susunan panelis dan taraf kedalaman konten pertanyaan agar efektif. Jangan lagi terulang seperti dalam pilpres-pilpres lalu. Misalnya yang terkait visi, misi dan program ekonomi, para calon hanya menyuguhkan retorika-retorika mengambang, tetapi kurang menjelaskan strategi atau cara mencapainya. Panelispun kurang menguji atau memperdalam jawaban yang diberikan para calon.
Untuk isu pengangguran dan kemiskinan, misalnya, perlu digali apa strategi investasi dan pertumbuhan ekonomi dari kandidat. Tidak lagi sebatas hanya hapalan jumlah angka pengangguran, kemiskinan atau lapangan kerja yang ingin diciptakan. Berkenaan dengan sumber pembiayaan pembangunan, perlu diketahui apa strategi dalam pendanai berbagai program pro rakyat, pembangunan infrastruktur, ketahanan energi atau pangan? Apakah dengan memperbesar pajak, utang luar negeri atau dengan intensif menggunakan dana jangka panjang yag dikelola pemerintah (dana haji dan lain sebagainya)? Strategi sekitar tema-tema besar semacam itu penting, karena pada gilirannya dapat mempercepat atau menghambat pencapaian target-target indikator ekonomi yang secara klise sudah sering dijanjikan para kandidat.
Tetapi, belum tentu juga uji-publik itu akan sungguh efektif, sekalipun format debat dan peran panelis sudah disempurnakan. Masalahnya, sejauh mana rakyat mampu memilah yang mana putra terbaik bangsa pasca uji-publik itu dalam sistem pemilihan langsung? Saat ini, rata-rata kecerdasan rakyat masih terbatas, mengingat mayoritas penduduk Indonesia masih berpendidikan rendah, maksimum tamat SMP atau kurang, yakni 199 juta atau 73% dari total penduduk; begitu pula dengan mayoritas tenaga kerja, 77 juta atau 57% dari total mereka yang bekerja (data BPS Feb/2022).
Tingkat kecerdasan rakyat, dalam kaitannya dengan sistem pemilihan presiden langsung oleh rakyat atau melalui musyawarah di MPR, telah menjadi perdebatan antara Professor Soepomo dan Dr. Soekirman dalam sidang BPUPKI (15 Juli 1945). Akhirnya bisa dipahami bersama bahwa bila kelak rata-rata tingkat kecerdasannya sudah cukup tinggi, rakyat akan lebih mampu memilih secara rasional, tidak emosional. Di samping itu, dalam pandangan Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta, tingkat kedewasaan demokrasi politik suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari taraf demokrasi ekonominya. Bagaimana sekarang? Setelah 76 tahun merdeka, selain mayoritas rakyat masih berpendidikan rendah, nyatanya bagian terbesar tenaga kerja (81 juta atau 60% dari total tenaga kerja, data BPS Februari 2022) masih bergulat hidup di lapangan kerja informal, terbanyak ada di sektor pertanian, perdagangan atau industri rumahan berskala mikro dengan pendapatan tidak pasti dan mudah jatuh miskin. Kalau begitu sudah tepatkah amandemen UUD 45 sehingga sistem pilpres bersifat langsung dipilih rakyat?
Terlepas dari itu, sistem pemilihan presiden tidak langsung melalui MPR dalam UUD 45 yang asli memiliki makna lebih dalam. Pada hakikatnya sistem tersebut digali dari tradisi pemilihan pemimpin yang berlaku dalam kehidupan masyarakat pada suku-suku bangsa Indonesia (antara lain, Sunda, Banten, Buton, Minang dan lain-lain). Dalam sidang-sidang BPUPKI di tahun 1945, hal itu dikemukakan para bapak bangsa, khususnya Soepomo dan Yamin. Sistem demokrasi khas Indonesia itu lebih mengedepankan prinsip musyawarah di bawah imbingan “hikmat kebijaksanaan” dibandingkan pemungutan suara (voting). Musyawarah yang membahas urusan strategis bangsa itu —termasuk memilih presiden— berlangsung di MPR, sebuah lembaga penjelmaan kedaulatan rakyat tertinggi, karena beranggotakan perwakilan politik di DPR juga terdapat perwakilan daerah dan golongan. Konsep permusyawaratan yang diabadikan dalam Sila ke-4 Pancasila itu memcerminkan bahwa demokrasi yang diidealisasikan oleh para pendiri bangsa tidaklah disandarkan pada legitimasi suara mayoritas, melainkan pada daya deliberatif (permusyawaratan) dengan mengandalkan kekuatan rasionalitas-keilmuan dan kebijaksanaan.
Pasca reformasi, dalam suasana trauma dan euphoria politik di dalam negeri serta tren runtuhnya rezim-rezim otoriter di dunia (Maarif, 2014; Azwar, 2017), Indonesia malah mengubah sistem pilpresnya yang khas itu. Dalam menelusuri orisinalitas gagasan para founding fathers, kita dapat merenungkan pandangan Hakim Agung Antonin Scalia bahwa penafsiran konstitusi hanya dapat dilakukan melalui pendekatan pemahaman dari penyusun konstitusi itu sendiri, pandangan umum yang hidup di tengah masyarakat, khususnya notulensi persidangan dalam pembentukan atau amandemen. Dalam menyusun UUD 1945 asli, founding fathers kita berpendapat bahwa meniru sistem pemerintahan dari negara lain — seperti Belanda, Inggris, Amerika Serikat atau Jepang— adalah suatu hal yang tidak bijaksana. Di lain pihak, dari risalah perdebatan perubahan UUD 1945, ada indikasi bahwa banyak anggota MPR yang terlibat di dalam mengubah UUD 1945 mengacu pada hukum dari sistem presidensil Amerika Serikat yang menonjol dengan konsepsi trias politika.
Menariknya, pemikiran founding fathers kita di tahun 1945 mengenai model Pancasila itu hampir identik dengan pemikiran demokrasi deliberatif yang dikemukakan oleh filsuf Jerman Jurgen Habermas (1982), hampir empat dasawarsa kemudian. Bagi Habermas, demokrasi deliberatif merupakan konsep demokrasi yang dilandasi oleh mekanisme musyawarah yang mendalam, tidak didasarkan pada demokrasi voting mayoritas, tetapi menekankan pada demokrasi yang mengarah pada ketaatan bersama. Konsep demokrasi ini memberikan konsensus untuk mengurangi gesekan kelompok minoritas yang tidak menerima keputusan demokratis. Terkesan familier bukan? Ironisnya, yang kita buang, justru bagus menurut Habermas!
Kita perlu berpikir ulang dan tidak malu menyadari kesalahan. Sejak amandemen UUD 1945, peran MPR sudah diamputasi, Penyelewengan sistem pilpres melalui MPR di masa lalu seharusnya tidak perlu diatasi dengan menghilangkan peran utama lembaga yang membawa ciri khas asli demokrasi Indonesia itu. Yang harus disempurnakan adalah keanggotaan MPR (seperti usulan Dr. Soekirman dalam sidang BPUPKI, 1945), dengan pemilihan langsung atau setidaknya memperbesar proporsi anggota MPR yang dipilih secara langsung.
Sistem pilpres langsung yang kita tempuh terbukti berbiaya tinggi, bahkan menimbulkan ratusan korban. Lebih jauh lagi, sistem itu diperburuk dengan ketentuan presidential threshold, putra-putra terbaik bangsa tidak dapat naik ke pentas. Hasil musyawarah di MPR, dengan reprentasi keanggotaan yang lebih obyektif, tepat dan dipilih rakyat langsung, serta mengedepankan pertimbangan bijaksana yang didasari ilmu dan pengalaman, tentu lebih mampu menghasilkan pemimpin nasional yang lebih berkualitas dibanding sistem pilpres langsung oleh rakyat.
Darwin Zahedy Saleh – Ekonom yang pernah menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia 2009-2011