Indonesia Harus Mendukung Prakarsa Afrika Selatan Hidupkan Kembali Gerakan Nonblok

Bagikan artikel ini

Pemerintah Indonesia sebagai salah satu negara pelopor Gerakan Nonblok yang dicetuskan di Beograd, Yugoslavia pada 1961, sudah sepantasnya mendukung inisiatif Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa untuk menghidupkan kembali Gerakan Nonblok. Mengingat pentingnya negara-negara sedang berkembang (developing countries) untuk tidak terseret ke dalam pusaran Proxy War  dan persaingan global antara Amerika Serikat-NATO vs Rusia dan Cina. Sehingga negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dapat menghindarkan diri agar  tidak larut masuk dalam persekutuan militer bersama AS dan NATO maupun Cina dan Rusia.

Selain daripada itu, prakarsa Afrika Selatan untuk menghidupkan kembali Gerakan Nonblok didasarkan pertimbangan bahwa sebagai negara-negara yang kerap disebut negara-negara blok Selatan/Global South maupun sebagai negara-negara merdeka dan berdaulat, menolak untuk diatur-atur atau didikte oleh negara-negara adikuasa.

Gerakan Nonblok yang masuk kategori negara-negara yang sedang berkembang atau yang kerap disebut sebagai negara-negara Dunia Ketiga, berasal dari pelbagai  kawasan seperti Timur-Tengah, Afrika, Asia, dan Amerika Latin, memandang gagasan menghidupkan dan mengaktifkan kembali Gerakan Nonblok sebagai sesuatu yang tetap menarik dan relevan untuk merespon dinamika dan tantangan global yang terjadi saat ini.

Apalagi dengan timbulnya Krisis Ukraina, nampaknya tren ke arah berlangsungnya kembali Perang Dingin antara Blok AS-NATO vs Cina dan Rusia menguat kembali. Sehingga negara-negara berkembang yang sejatinya masih sangat bergantung pada kerjasama perdagangan, investasi dan pinjaman luar negeri baik dari negara-negara blok Barat maupun Cina dan Rusia, keputusan untuk memilih salah satu blok bisa menimbulkan krisis dan keterpurukan ekonomi yang cukup fatal dan serius.

Maka itu, negara-negara yang sedang berkembang yang tergabung dalam Global South atau blok kerjasama negara-negara selatan-selatan, termasuk Indonesia, kiranya jauh lebih strategis dan menguntungkan untuk mengambil garis kebijakan  Nonblok.  Sehingga tetap menerapkan kebijakan luar negeri dan hubungan diplomatik yang terbuka baik terhadap blok Barat maupun Rusia dan Cina. Apalagi Indonesia sejak 1948 hingga kini masih tetap menganut azas Politik Luar Negeri Yang Bebas dan Aktif. Bebas Aktif atau Nonblok bukan berarti menganut paham netralisme, melainkan sebuah kebijakan yang pro aktif dan konstruktif untuk menciptakan perdamaian dunia dan tata dunia yang adil dan setara antar bangsa.

Dengan skema Politik Luar Negeri Nonblok,  Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya,  dapat tetap mempertahankan otonomi politiknya dalam menentukan arah kebijakan politik dan keamanan maupun dalam menentukan kebijakan pengadaan peralatan-peralatan strategis militer yang menguntungkan kepentingan nasional masing-masing negara. Dengan demikian, negara-negara Nonblok tidak bergantung pada salah satu kutub dari negara-negara adikuasa dalam hal pengadaan peralatan militer.

Satu lagi daya tarik dan nilai strategis dari prakarsa menghidupkan kembali Gerakan Nonblok, saat ini Gerakan Nonblok jauh lebih kuat dan solid dibandingkan pada era Perang Dingin sejak 1950an. Saat ini sebagian besar negara-negara Nonblok sudah jauh lebih terintegrasi sebagai kekuatan global. Selain itu, sebagian besar negara-negara Nonblok saat ini memiliki hubungan ekonomi, politik dan militer yang jauh lebih kuat baik dengan blok Barat maupun blok Timur.

Adanya tren global yang saat ini semakin mengarah pada kerjasama-kerjasama internasional yang bersifat multipolar dan semakin memudarnya pengkutuban tunggal atau unipolar yang dihegemoni oleh AS dan blok Barat,  semakin memanasnnya persaingan global antara AS vs Cina di pelbagai kawasan dunia, krisis global yang semakin meningkat di sektor pangan dan energi serta keuangan global akibat dari sepak-terjang AS dan negara-negara Barat selama ini, maka negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia saat ini semakin menemukan momentumnya yang tepat untuk menetapkan kembali tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran baru dalam rangka menghidupkan kembali Gerakan Nonblok.

 

See the source image

 

Kenyataan bahwa negara-negara sedang berkembang atau Dunia Ketiga yang tergabung dalam Gerakan Nonblok memiliki potensi besar baik dalam kepemilikan sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia di Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Timur-Tengah, saat ini mempunyai momentum sejarah untuk membentuk dirinya sebagai kutub kekuatan baru atau kekuatan alternatif berupa sebuah Asosiasi atau Perhimpunan Internasional.

Pada dekade 1960an, tepatnya pada Agustus 1966, Presiden pertama RI Sukarno, sempat menggagas terbentuknya The New Emerging Forces melalui Conference of New Emerging Forces (CONEFO) yang rencananya akan diadakan di Jakarta pada Agustus 1966. Yang akan diproyeksikan sebagai kutub kekuatan baru di luar dua kutub yang terlibat dalam Perang Dingin ketika itu, yaitu kutub AS dan blok Barat vs Cina dan Rusia dari blok Timur. Sayangnya, Presiden Sukarno sejak meletusnya Gerakan 30 September 1965, kekuatan politiknya telah dilumpuhkan. Sehingga rencana terbentuknya Gerakan Nonblok atau the New Emerging Forces lewat momentum Conefo Agustus 1966 batal terselenggara.

See the source image

Maka itu, terkait usulan Presiden Afrika Selatan untuk menghidupkan kembali Gerakan Nonblok, Indonesia sebagai salah satu pelopor Gerakan Nonblok pada 1961 di Beograd, Yugoslavia, sudah sepatutnya mendukung penuh inisiatif tersebut.

Apalagi ketika saat ini negara-negara berkembang termasuk Indonesia sedang dihadapkan pada tantangan untuk merespons timbulnya krisis ekonomi-keuangan, krisis pangan dan krisis energi, membangun kerjasama ekonomi dengan negara-negara adikuasa maupun negara-negara dunia maju (developed countries) atas dasar prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan, kiranya semakin penting dan relevan untuk membagun kembali sistem dan struktur global berbasis keseteraan antara negara-negara dunia maju dengan dunia berkembang.

Sehingga keberadaan Lembaga-lembaga internasional termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) maupun lembaga-lembaga keuangan internasional seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (Bank Dunia) yang mana  sejak awal terbentuknya sangat Pro Barat dan dirancang untuk memaksakan kepentingan-kepentingan para kapitalis berbasis korporasi global, sudah saatnya direformasi dan ditata ulang kembali. Maka seturut gagasan tersebut, Gerakan Nonblok merupakan solusi menjawab tantangan global baru tersebut.

Sehubungan dengan kerangka pandangan dan pemikiran tersebut, maka negara-negara yang tergabung dalam keanggotaan Gerakan Nonblok, harus menetapkan sebuah prioritas sebagai agenda utama, yaitu memperbarui struktur ketidakadilan global yang diterapkan saat ini.

Indonesia dan negara-negara anggota Gerakan Nonblok, secara tegas harus menolak desakan dan tekanan AS dan negara-negara Barat untuk menggabungkan diri dalam Gerakan memberlakukan sanksi sepihak kepada Rusia menyusul timbulnya Krisis Ukraina. Indonesia dan Nonblok harus menolak upaya AS dan blok Barat menggalang persekutuan memberlakukan embargo perdagangan dan sanksi ekonomi terhadap Rusia, karena sejatinya aksi sepihak AS dan Barat tersebut bertentangan dengan kepentingan negara-negara berkembang atau negara-negara Nonblok, karena kebijakan sanksi ekonomi dan embargo Barat tersebut senjatinya merupakan langkah-langkah politik dan ekonomi yang destruktif yang dilalukan oleh tekanan politik dan ekonomi asing yang ditujukan untuk menghancurkan kesejahteraan masyarakat negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia.

See the source image

Menyadari konstelasi global yang cukup mengkhawatirkan tersebut, Indonesia sudah saatnya memanfaatkan jaringan parlemen negara-negara berkembang yang diprakarsai oleh Azerbaijan saat menjadi Ketua Gerakan Nonblok pada 2021 lalu. Jaringan parlementer negara-negara Nonblok yang mana Puan Maharani, Ketua DPR-RI, juga ikut dalam jaringan parlementer tersebut, merupakan mekanisme yang cukup efektif untuk membahas cara-cara mengatasi masalah global yang dipandang genting saat ini.

Dengan demikian, Indonesia yang perwakilannya di jaringan parlementer Nonblok itu punya andil besar dalam terciptanya mekanisme baru tersebut dan mendukung proses itu, kiranya perlu semakin mengintesifkan dialog dengan badan legislatif Negara-Negara yang tergabung sebagai anggota Gerakan Nonblok. Seraya membangun hubungan yang stabil dengan struktur-struktur internasional lainnya, termasuk Inter-Parliamentary Union, dalam mempromosikan dan mensosialisasikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai organisasi Gerakan Nonblok.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com