Komunisme dan Intoleransi, Ancaman Bersama

Bagikan artikel ini

Suhendro, pengamat masalah sosial budaya yang tergabung dalam Pusat Studi Lingkungan Strategis (Pus Lingstra), Jakarta

Belum lama ini di sebuah padepokan di daerah Sidoagung, Sleman, Yogyakarta,  ada pertemuan yang dibubarkan secara paksa oleh masyarakat setempat, demikian dikemukakan pemberitaan beberapa media nasional dan lokal pada 27 s.d 28 Oktober 2013. Masyarakat setempat menganggap pertemuan tersebut mengganggu ketentraman mereka dan aparat kepolisian setempat menyatakan kegiatan tersebut tidak memiliki izin.

Berdasarkan informasi yang diperoleh penulis dari berbagai kalangan,  pertemuan yang diselenggarakan pada 27 Oktober 2013 tersebut diduga merupakan pertemuan generasi muda PKI yang dihadiri sejumlah perwakilan keluarga eks PKI dari Cilacap, Banyumas,  Purwokerto dan Pati, yang dibubarkan oleh jajaran Polres Sleman dan Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) DI Yogyakarta. Pembubaran dilakukan karena pertemuan tersebut dianggap ilegal karena tidak  mempunyai izin penyelenggaraan dari kepolisian setempat sehingga dinilai mengganggu ketertiban umum. Dalam pembubaran paksa tersebut,  jajaran Polres Sleman berhasil mengamankan beberapa peserta dan dibawa ke Polres Sleman untuk diperiksa lebih lanjut.

Peranan Organisasi  Islam Moderat dan Ormas Nasionalis Diperlukan

Menurut penulis, secara politis dan ideologis tindakan Kepolisian adalah benar, karena larangan terhadap PKI dan penyebaran faham komunis, yakn iKetetapan MPR No XXV Tahun 1966, meskipun banyak menghadapi kritik dan penolakan, tetap isecara resmi masih berlaku, belum pernah dicabut. Pertemuan yang menggunakan latarbelakang menghormati PKI dan berkonotasi mendukung PKI dan dengan demikianjuga menghormati faham komunisme serta mengenyampingkan Pancasila, secara politis juga dianggap bertentangan dengan Pancasila, sehingga harus dilawan dan tidak perlu diberikan ruang untuk dapat mengembangkan diri, walaupun mereka selalu beralibi kegiatannya dilindungi dengan semangat demokratisasi, HAM dan keterbukaan sekarang ini. Walaupun demikian alasan politis dan ideologis untuk melarang dan menindak sesuatu pertemuan dewasa ini sangat tidak populer, memancing keributan dan dianggap tidak reformis,  artinya tidak menghormati kebebasan politik, untuk menyatakan pendapat dan berkumpul serta berserikat.

Oleh sebab itu, meskipun pembubabaran pertemuan tersebut oleh Polisi secara politis dan ideologis dari sudut pandang penegakan ideologi Pancasila dianggap benar,  namun alasan tindakan kepolisian sebaiknya lebih didasarkan kepada masalah tata tertib, yakni menyelenggarakan rapat atau pertemuan tanpa ijin tertulis dari Kepolisian setempat, dengan tujuan tidak terulang kembali.

Namun secara khusus masalah seperti ini perlu menjadi bahan catatan, bahwa kondisi Ketahanan Nasional dalam aspek idelogi masih lemah, keyakinan terhadap Pancasila sebagai dasar negaradan falsafah bangsa masih belum mantap.

Oleh sebab itu juga penting didalami apa motif  pertemuan yang mengunakan identitas keturunan PKI, sedangkan jelas PKI adalah organisasi terlarang karena menganut faham komunisme.

Oleh karena itu, peranan organisasi Islam moderat dan ormas yang nasionalis lainnya dalam mempertahankan ideologi negara, Pancasila di era digitalisasi ini sangat penuh dengan tantangan, karena diakui atau tidak saat ini pemahaman, pemaknaan dan pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,  berbangsa dan bernegara terus memudar, bahkan termasuk ada pihak-pihak yang berupaya untuk menggantikan Pancasila, dengan paham yang lebih modern dan radikal, dimana upaya kelompok ini untuk mensosialisasikan ideologi ekstremnya semakin intens dilakukan baik melalui konsolidasi dan pertemuan tertutup ataupun melalui seminar, bedah buku, diskusi, dialog dll. Kesimpulan besar yang dapat ditarik dari kegiatan yang dilakukan kelompok ini adalah menghambat dan tidak setuju Pancasila disosialisasikan kembali, dengan agenda setting yang dimainkan mereka adalah Pancasila dinilai sebagai warisan OrdeBaru sehingga harus diganti, terutama dengan ideologi kelompok tersebut.

Intoleransi

Belum lama ini, di depan proyek pembangunan Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Obor Banten,  Kota Tangerang Selatan),  sekitar 100 orang yang tergabung dalam  Forum Umat Muslim Bersatu Pondok Jagung Timur (FUMB) melakukan aksi unjuk rasa menolak pembangunan Gereja Obor Banten. Dalam orasinya, mereka menyatakan, panitia pembangunan gereja telah menyalahi kesepakatan dengan warga  untuk menghentikan pembangunan karena adanya  peninjauan ulang perizinan pembangunan gereja oleh Pemkot Tangerang Selatan.  Selain itu, menurutpengunjuk rasa panitia pembangunan dinilai telah memanipulasi dukungan warga karena warga di sekitar  gereja yang beragama Nasrani hanya sebanyak 9 orang, sehingga tidak memenuhi syarat pendirian gereja.  Sampai saat ini warga sekitar juga tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan dan izin pendirian gereja tersebut.

Masih di hari yang sama, di depan Istana Negara, Jakarta, sekitar 75 orang dari  LBH Jakarta, Jemaat GKI Taman Yasmin Bogor, dan Jemaat HKBP Filadelfia Tambun Bekasi melakukan aksi unjuk rasa menuntut Presiden SBY memberikan perlindungan dan membantu   menyelesaikan persoalan yang dialami  para Jemaat GKI Taman Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia Tambun Bekasi. Mereka menuntut negara menjamin kemerdekaan beribadah dan menjamin kemerdekaan mendirikan rumah ibadah. Dalam aksinya, mereka juga membentangkan spanduk bertuliskan antara lain,  “Ibadah seberang Istana Presiden, GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia satu bukti nyata intoleransi negara pada minoritas di Indonesia”, “Negara mengabaikan hak HKBP Filadelfia untuk beribadah”,  “GKI Yasmin korban tindakan diskriminatif  Walikota Bogor” dan “Stop kriminalisasi terhadap pejuang kebebasan beragama dan korban kekerasan atas nama agama”.

Menurut penulis, persoalan sengketa pembangunan rumah Ibadah merupakan masalah sederhana tetapi pelik, berdasarkan pengamatan tidak ada satupun sengketa masalah pembangunan rumah ibadah dapat diselesaikan dengan kepuasan kedua belah fihak. Semua sengketa tentang pembangunan rumah Ibadah yang ada diseluruh Indonesia hampir seluruhnya tidak bisa dicarisolusinya, sehingga tidak ada satupun pola penyelesaian yang bisa dijadikan contoh pemecahan. Kasus Gereja Kristen GKI Yasmin Bogor adalah kasus yang sudah ada keputusan pengadilanpun hingga kini belum terselesaikan, sehingga secara demonstratif jemaatnya dalam memperingati hari-hari besar tertentu selalu menyelenggarakan acara didepan Istana. Namun, tidak menutup kemungkinan masalah intoleransi,  kekerasan beragama, penolakan pembangunan rumah ibadah dll juga dipicu adanya permasalahan-permasalahan administrati fsepele yang belum terselesaikan, karena diduga adanya permasalahan perdata dan pidana di dalamnya.

Kondisi ini juga tidak menutup kemungkinan dipolitisasi kelompok tertentu, karena masalah seperti ini juga sempat menjadi  “buah bibir” di pembicaraan tingkat diplomasi internasional atau pertemuan internasional  yang sudah pasti mencederai dan merusak kredibilitas Indonesia.

Banyak kalangan menyatakan, termasuk didalamnya salah satu tokoh terkenal menyakini adanya laporan tersebut karena sudah terjadi politisasi intoleransi. Berlanjutnya permasalahan ini serta tidak adanya ketegasan terkait masalah ini dari instansi yang berwenang, selain berpotensi mengendurkan kohesisosial di tengah masyarakat kita, juga rawan menimbulkan gangguan kamtibmas di tingkat lokal termasuk nasional.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com