Catatan Kecil Pojok Warung Kopi Ndéso
Monopoli adalah kepemilikan eksklusif atau kontrol atas pasokan atau perdagangan komoditas atau layanan. Manusia memiliki hasrat serakah, pengen menguasai dan mengontrol segalanya. Demi mencapai tujuan monopoli ini, manusia menggunakan kapital (modal) dan manusia (rakyat/people). Yang memonopoli kapital disebut dengan Kapitalis. Dan pahamnya disebut Kapitalisme; adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan cara monopoli tentunya.
Sedang yang memonopoli manusia atau mengendalikan komunitas, disebut dengan Komunis.
Dahulu komunis awalnya diciptakan sebagai antitesa kapitalis. Karena dalam paham komunis mencita-citakan masyarakat tanpa kelas. Jadi tidak ada perbedaan kelas. Sama rata sama rasa. Pada perkembanganya, karena demi tujuan monopoli tersebut, dua paham ini menemukan titik persinggungannya. Menguasai kapital tanpa menguasai rakyatnya atau sebaliknya, menguasai rakyat tanpa kekuatan kapital (modal) akan pincang bagi si tamak dalam menguasai dunia.
Maka demi tujuan mengontrol atau memonopoli, dalam politik kiri (komunis) bergabung dengan musuh itu sudah menjadi hal biasa sepertinya. Stalin dahulu bergandengan tangan dengan Sekutu—dedengkot kapitalisme—untuk menghadang Hitler yang fasis pada Perang Dunia II.
Mao juga satu barisan dengan Chiang Kai-sek menghadang Jepang. Pun, Amir Syarifudin menerima uang dari Belanda untuk biaya gerakan bawah tanah melawan Jepang.
Sekarang pun sama, mengingat bahwa dalam sejarahnya dulu Lenin dan Trotsky membesarkan komunisme di Soviet melalui Revolusi Bolshevik dengan bekal modal dari kaum kapitalis di Wall Street. Dan sejarah adalah repetisi (pengulangan). Seperti mengulang kisah lama, komunis disini juga bergandengan tangan dengan para kapitalis. Penyatuan keduanya melahirkan oligarki alias gerombolan yang sangat kaya dengan pengaruh politik yang besar.
Disini, anehnya komunisme dianggap sebagai paham yang membela kepentingan wong cilik, karena modus operandinya yang berbasis komunal. Padahal dengan menguasai komunal-komunal dari yang terkecil maka infiltrasi program dan kapan menggerakkan komunal tersebut demi tujuan beekuasa sewaktu-waktu dengan mudah dapat dilakukan.
Maka balik pada pemahaman bahwa Komunisme adalah monopoli dan kontrol atas segalanya. Apakah sedang terjadi di negeri gondal-gandul?
Sekarang tinggal konfrontir saja dengan pertanyaan-pertanyaan ini:
– Siapa pemilik bisnis-bisnis yang menguasai hajat hidup orang banyak?
– Siapa yang sangat mudah mendapat kredit usaha dari bank tanpa prosedur njlimet?
– Siapa pemilik konsorsium media terbesar sebagai alat deception, pembentukan opini dan propaganda?
– Siapa yang waktu kampanye suka jualan kemiskinan, mengaku pro wong cilik, jualan kesejahteraan dalam kampanye politiknya namun tak pernah berusaha diwujudkan? (Buktinya, pendidikan dan kesehatan gratis saja tak pernah terwujud secara nyata, justru pengangguran jadi ladang bisnis kartu-kartu prakerja, BPJS naik, listrik naik, ada Tapera, sementara rakyat disibukkan dengan teror ketakutan akan pandemi, justru dimanfaatkan untuk sejumlah bisnis tes kesehatan macam Rapid test yang sifatnya “memaksa”)
– Kenapa keadilan hukum sulit ditegakkan cenderung tajam ke bawah dan tumpul ke atas? Dan seterusnya.
Apakah karena ini dipimpin oleh Rezim Komunis?
Malika Dwi Ana, Pengiat Komunitas Suka Meulis