Agar Bebas dari Pengaruh AS dan NATO, Kerjasama Pertahanan RI-Rusia Logis dan Rasional

Bagikan artikel ini

Kerjasama strategis pertahanan antara Indonesia dan Rusia, dapat menciptakan keseimbangan antara kemandirian Industri Pertahanan dalam negeri dan Pengadaan Peralatan Militer Secara Cepat dan mendesak.

Kalau berbicara mengenai postur militer Indonesia, maka kita harus menyorot mengenai salah satu kebijakan pertahanan nasional yaitu Minimum Essential Force (MEF). Yang mana dibagi dalam tiga rencana strategis (Renstra) I 2010-2014. Renstra II 2015-2019, dan Renstra III 2020-2024. Dalam upaya mewujudkan ketiga target tersebut, Indonesia menghadapi beberapa keterbatasan dan kendala.

Padahal dalam upaya menjaga keamanan nasioal dan kepentingan nasional NKRI, Tentara Nasional Indonesia (TNI) memerlukan kekuatan militer yang cukup besar dan efektif. Salah satunya adalah Alat Utama Sistem Persenjataan (Alusista). Dalam konteks inilah, maka pemerintah Indonesia menjadikan MEF sebagai strategi kebijakan pertahanan pertahanan Indonesia. Sekaligus sebagai strategi pembangunan dalam bidang pertahanan keamanan.

Apa gagasan dasar MEF sebagai strategi kebijakan pertahanan nasional Indonesia? Yaitu untuk merevitalisasi Alusista angkatan bersenjata Indonesia yang dipandang sudah tergolong tua dan ketinggalan zaman. Seraya untuk mengoreksi mekanisme penyelenggaraan, faktor perencanaan, dan anggaran pertahanan yang tidak menyimpang dari sistem manajemen pengambilan keputusan pertahanan negara. (Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Nomor 19 tahun 2012 Tentang Kebijakan Penyelarasan Minimum Essential Force Komponen Utama).

Mengingat yang menjadi sasaran strategis dari MEF ini adalah terciptanya postur militer yang kuat dan efektif serta dapat diandalkan untuk menangkal ancaman dari luar, maka unsur-unsur materiil dalam postur militer tersebut adalah: alat utama sistem persenjataan, sumberdaya manusia, industri pertahanan, sarana pangkalan dan daerah latihan, anggaran dan organisasi.

Adapun mengenai upaya TNI untuk menangkal ancaman dan agresi militer negara lain, maka TNI dituntut untuk meningkatkan kekuatan militernya. Maka itu, selain anggaran militernya harus ditingkatkan, yang tak kalah penting kita harus memutuskan dengan negara mana sebaiknya Indonesia menjalin kerjasama strategis pertahanan dalam rangka meningkatkan kekuatan militer Indonesia.

Pengalaman pahit Indonesia ketika diembargo oleh pemerintah Amerika Serikat pada 1995-2005 karena TNI kita dianggap kongres AS telah melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia di Timor-Timur, memberi pelajaran berharga pada kita betapa pentingnya kemandirian industri strategis bagi pertahanan Indonesia. Selain itu, kita menjadi sadar bahwa ketertgantungan pada suatu negara adikuasa, seperti Amerika Serikat, bisa berakibat fatal bagi kekuatan pertahanan TNI kita, ketika Amerika mencabut bantuan dan kerjasama militernya dengan Indonesia. Berarti, Indonesia tidak boleh bergantung hanya pada satu negara, dalam menjalin kerjasama pertahanan.

Bahkan yang lebih fatal lagi, selain dengan Amerika Serikat, pemerintah Indonesia sejak era Presiden Suharto persenjataan TNI kita juga sangat bergantung pada negara-negara anggota Pakta Pertahana Atlantik Utara (NATO) karena teknologinya dipandang cukup canggih.

Maka itu, dengan dibentuknya Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) yang bertugas untuk mewujudkan kemandirian industri pertahanan dengan menjembatani antara kebutuhan militer dan pengembangan industri strategis dalam negeri, kiranya merupakan langkah awal yang cukup tepat. Namun kiranya juga perlu ditekankan bahwa mengingat semakin kompleksnya ancaman dan agresi militer dari luar dalam beberapa tahun ke depan, maka kebutuhan militer untuk meningkatkan kekuatan pertahanannya, harus tetap jadi prioritas utama.

Komisi I DPR yang salah satunya membawahi bidang pertahanan, juga sepakat bahwa pengembangan industri pertahanan dan modernisasi Alutsista harus jadi fokus perhatian penting. Berarti, selain dalam jangka panjang MEF harus fokus pada pengembangan dan pemberdayaan industri pertahanan dalam negeri, tapi dalam jangka pendek dan menengah tetap harus fokus juga pada pengadaan alutsista.

Saat ini, MEF memasuki tahapan Rentra tahap II, yang mana Indonesia telah menerapkan konsep capability based defense dalam perencanaan pembanguna kekuatan pertahanan TNI. Capabilty based defense merupakan pegembangan kekuatan militer, termasuk pengadaan alutsista berdasarkan identifikasi ancaman berbasis kemampuan anggaran.

Kerjasama Pertahanan Indonesia Dengan Negara Lain

Ketika Indonesia saat ini dihadapkan pada opsi atau pilihan krusial apakah tetap bergantung pada AS dan negara-negara NATO yang seringkali mencampur-baurkan antara aspek bisnis dan politik, atau dengan negara-negara adikuasa lainnya seperti Cina dan Rusia. Maka pemerintah Indoneis sebenarnya puny peraturan dan payung hukum yang cukup jelas sebagai pedoman.

Merujuk pada Perpres No 54 tahun 2010 tentang pengadaan Barang/Jasa, maka pengadaan dari luar negeri harus diiringi dengan kerjasama dalam bentuk alih teknologi (offset). Defense offset merupakan kesepakatan antara pemerintah dan penyedia alat pertahanan asing untuk mengembalikan sebagian keuntungan nilai kepada negara pembeli sebagai prasyarat jual-beli.

Sayangnya dalam kenyataannya, dalam beberapa contoh di bawah ini, pemerintah Amerika Serikat selalu menghalangi Indonesia ketika menjalin kerjasama dengan negara asing atas dasar skema untuk menciptakan kemandirian pertahanan dalam negeri kita. Baik ketika Indonesia mencoba menjalin kerjasama pertananan dengan Korea Selatan yang notabene merupakan sekutu AS, apalagi dengan Rusia.

Misalnya dalam kerjasama dengan Korea Selatan, melalui skema proyek pembangunan pesawat tempur KFX/IFX, terpaksa terhenti karena permasalahan lisensi penggunaan teknologi dari Amerika Serikat. Dengan kata lain, pemerintah AS dengan sengaja menghalangi kemandirian Indonesia dalam peralatan militer maupun industri pertahanan dalam negeri.

Kedua, ketika Indonesia menjalin kerjasama strategis pertahanan dengan Rusia melalui pengadaan peralatan militer berupa pembelian 11 jet tempur Sukhoi-35 yang seharusnya sudah tiba pada November 2019, namun saat ini masih belum ada kejelasan. Karena pemerintah Indonesia nampaknya khawatir dengan diterapkannya Undang-Undang CAATSA ( Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act). Yang menerapkan sanksi terhadap negara-negara yang membeli senjata Rusia, Cina, Korea Utara atau Iran.

Padahal, pembelian 11 jet tempur Sukhoi-35 didasari semangat untuk tidak tergantung pada satu negara besar saja, apalagi seperti AS dan NATO yang jelas-jelas selalu menggunakan tekanan politik seperti HAM dan Demokrasi, dalam hubungan bisnis pengadaan peralatan militer Indonesia.

Baca juga:

Kontrak Pembelian Su-35 Rusia Harus Tetap Dipertahankan Demi Politik Luar Negeri RI Bebas-Aktif

Padahal, dengan merujuk pada pembentukan Komisi Kerjasama Teknik Militer (KKTM) pada 2003 lalu, Indonesia telah menegaskan bahwa dalam kerjasamanya dengan Rusia, Indonesia masih tetap merujuk pada kebijakan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Sehingga dalam menjalin kerjasama RI-Rusia yang ditandai melalui pembelian 11 jet tempur Sukhoi-35, harus dipandang sebagai bagian dari itikad pemerintah Indonesia menciptakan kemandirian dalam pengadaan peralatan militernya. Tanpa harus tergantung pada AS atau negara-negara Eropa Barat yang tergabung dalam blok NATO.

Mengingat kenyataan bahwa Alutsista TNI kita saat ini memerlukan peremajaan secara cepat dan mendesak, begitu pula modernisasi militer TNI kita juga perlu dipercepat, maka kerjasama strategis RI-Rusia merupakan pilihan logis dan rasional.

Selain Rusia tidak mencampur-adukkan antara bisnis dan politik, Rusia juga bersedia memberikan transfer teknologi sesuai dengan Perpres No 54 tahun 2010. Maka itu ditinjau dari berbagai sisi, pengiriman 11 jet tempur Sukhoi-35 sebagai langkah awal kerjasama strategis pertahanan yang sudah dirintis RI dan Rusia sejak 2003, sebaiknya jangan sampai dihentikan hanya gara-gara kekhawatiran bahwa pemerintah AS akan mengenakan sanksi kepada Indonesia dengan diterapkannya UU CAATSA oleh Presiden Trump pada 2019 lalu.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute.

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com