Membaca Pergeseran Paradigma Keamanan yang Berujung pada Bentuk Ancaman Global

Bagikan artikel ini

Sebuah Diskusi Geopolitik

Bahwa telah terjadi pergeseran paradigma keamanan di level global dan tentunya mengimbas pula ke tingkat regional maupun lokal/nasional.

Jika perspektif sebelumnya menganggap, objek terpenting keamanan ialah negara. Jadi, apapun pertimbangan dan alasan, keamanan negara di atas segala-galanya. Dari konsep ini, terbidani apa yang dikenal dengan istilah “Kepentingan Nasional”. Betapa pentingnya state actors (aktor-aktor negara) dalam konstelasi geopolitik. Sebagaimana inti teori ruang, bahwa manusia butuh negara, dan negara butuh ruang atau living space.

Ketika terjadi konflik global, misalnya, sifatnya pasti interstate —antarnegara— karena negara sebagai satu-satunya aktor (state actor). Dan jenis peperangan yang berlangsung cenderung perang konvensional secara militer terbuka.

Pada gilirannya, paradigma tersebut menjadi rujukan banyak negara dalam menjalankan 3G-nya (geopolitik-geostrategi-geoekonomi) di panggung global. Si vis pacem para bellum. Siapa ingin damai bersiaplah untuk perang. Itulah ujung dogma atas eskalasi konsep keamanan negara.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, paradigma tersebut pun bergeser/berubah. Entah mulai kapan berlangsung, kemungkinan sejak Cold War usai. Diskusi belum menemukan waktu yang pasti. Artinya, subjek dan objek geopolitik tidak serta merta tentang (keamanan) negara semata, tetapi juga “human security,” yaitu jaminan keselamatan atas jiwa dan keamanan orang/per-orang dianggap unsur yang tidak kalah penting daripada keamanan negara. Kenapa begitu? Tampaknya cara pandang terhadap keamanan selain meluas, kompleks, bijak, ia juga mengakomodir gerak lingkungan strategis yang berfluktuatif sesuai tuntutan zaman terutama mengglobalnya isu HAM, kebebasan, atau demokrasi serta merebaknya dogma salus populi suprema lex esto (Cicero, 106 SM – 45 SM). Keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi.

Retorika pun muncul, “Bukankah rakyat ialah sekumpulan jiwa dan HAM warga yang mutlak harus dilindungi?” Di sini, konsepsi negara hadir semakin menguat.

Nah, persenyawaan antara paradigma keamanan negara dengan human security membidani dogma baru keamanan, misalnya, “Menyerang salah satu negara anggota identik menyerang keselurahan anggota”. Agaknya doktrin ini berlaku di entitas pakta pertahanan (dan keamanan) seperti NATO, contohnya, atau FPDA, ANZUS dan seterusnya termasuk dogma ini juga diadopsi ke dalam doktrin pertahanan kita dalam konteks keamanan negara: “Pendudukan terhadap satu pulau dianggap sebagai pendudukan seluruh negara”.

Tetapi apa boleh buat. Di era revolusi industri 4.0, semua dogma di atas hampir out of date. Telah menjadi kepingan sejarah yang tergelincir di masa lalu.

Dan cermatan atas dogma tersebut, memunculkan pula apa yang disebut non-state actors (aktor non-negara) yang memiliki power sejajar bahkan di atas negara (above the state). Kenapa? Meski tidak dipilih oleh rakyat, aktor ini mampu mengkontrol parlemen, mengubah kebijakan, bahkan bisa membuat UU demi keinginan dan kepentingannya. Ia bergerak di antara pemerintahan dan bisnis.

Aktor non-negara ini bisa berujud LSM, contohnya, atau organisasi internasional, kartel, korporasi, ataupun individu semacam Bill Gates, Soros dan lain-lain termasuk aktor non-negara di level lokal/nasional.

Ya. Apabila wilayah keamanan negara — spektrum ancaman bersumber dari ekstrim kanan (EKA) dan ekstrim kiri (EKI); apabila spektrum ancaman human security bersumber dari aktivitas ekstrim lainnya (ELA). Nah, persekutuan antara elit global dan elit lokal membidani apa yang disebut dengan istilah ekstrim tengah (ETE). Ini “diksi” baru selain EKA, EKI dan ELA.

Apakah ETE?

Inti narasinya ETE begini, “Bertemunya kepentingan elit global dan lokal yang fokus mengakomodir semua kepentingan korporatokrasi atau oligarki melalui UU dan aturan dengan cara merombak sistem serta menggerogoti ideologi negara lewat infrastruktur dan suprastruktur politik. Tujuannya selain menguras kekayaan bangsa, juga menghilangkan kemandirian negara”.

Dari ancaman bersumber ETE ini lahirlah peperangan jenis baru yang bersifat nirmiliter alias asymmetric warfare dengan berbagai varian seperti proxy war, misalnya, atau currency war, trade war, oil war, cyber war dan lain-lain. Ciri khusus asymmetric warfare ialah, tidak ada letusan peluru atau tanpa asap mesiu, tetapi berdaya rusak tinggi terhadap aspek ekonomi, sosial, moral dan lain-lain pada sebuah bangsa.

Ketika kini terlihat banyak negara seperti gagap dan kedodoran —termasuk superpower Amerika— menghadapi gangguan keamanan di masing-masing negara, cermatan Forum Sanyata Coffee — hal itu lebih disebabkan bahwa ETE sebagai gangguan bentuk baru belum terumuskan secara jelas di setiap negara sebagai sumber acaman (baru).

Geopolitik telah memberi isyarat, bahwa usai Perang Dingin atau Cold War akan muncul bentuk baru ancaman keamanan. Ancaman itu bukanlah serangan militer dari/oleh suatu negara terhadap negara lain, tetapi bentuk baru ancaman keamanan tersebut berupa kejahatan yang dilakukan oleh non-state actors kepada state actor.

Dengan demikian, selama negara-negara hanya terjebak dan berkutat pada konsepsi ancaman EKA, EKI dan ELA, niscaya mereka akan terus kedodoran, gagap dan terbata-bata dalam antisipasi ketika kelompok ETE yang bermain.

Buktinya mana?

Tengok saja. Sekelas Amerika Serikat —sang superpower— yang konon serba modern lagi canggih, menangani dan mengantisipasi isu G Floyd di Minneapolis tiba-tiba kedodoran dan gagap. Sampai saat ini, hanya para wayang atau pion yang diamankan, sedang dalangnya tidak pernah terkuak dan belum tertangkap. Nah, apalagi sang pemilik hajatan?

***) Pointers diskusi di Sanyata Coffee pimpinan Romeo10: WE CREATE THE FUTURE LEADERS

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com