M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)
Dalam diskusi terbatas di Global Future Institute (GFI), Jakarta pimpinan Hendrajit, diperoleh pointers bahwa konflik internal di suatu negara sesungguhnya cuma TEMA dari sebuah SKEMA yang hendak ditancapkan oleh sang Pemilik Hajatan. Artinya apapun bentuk dan warna, baik itu konflik vertikal maupun horizontal, hanya susulan daripada isu-isu yang sebelumnya ditebar (tersebar) dipublik. Selanjutnya apakah sukses atau tidak, berhasil atau gagal dari sebuah tema berubah menjadi skema, sangat tergantung daripada segenap komponen bangsa menyikapi. Sedang pada diskusi terbatas di forum KENARI (Kepentingan Nasional RI) pimpinan Dirgo D Purbo, pakar perminyakan, tampaknya lebih “keras” menyikapi konflik-konflik yang sekarang marak terjadi. Conflict is protection oil flow and blockade somebody else oil flow. Ya, konflik diletuskan hanya sebagai alih perhatian guna memblokade kepentingan orang lain dan bahkan melindungi skema aliran minyak agar tidak digugat siapapun, sebab bangsa tersebut disibukkan oleh isu dan tema-tema yang dibuat. Benang merah pointers diskusi di atas terlihat sama, yaitu konflik cuma sekedar tema belaka!
Dokumen GFI terdahulu (baca: Mencermati Kesamaan Kharakter Kolonialisme antara Pola Simetris dan Asimetris, di www.theglobal-review.com) mengisyaratkan, bahwa model kolonialisme yang dikembangkan kini ialah asimetris (non militer). Lazimnya pola asimetris, diawali dengan tebaran isu ke tengah-tengah masyarakat, kemudian dimunculkan tema gerakan dan berujung pada skema. Ya, skema merupakan ruh atau inti tujuan kolonialisasi.
Contohnya ialah Arab Spring atau “Musim Semi Arab”. Dari perspektif politik global, ternyata ia hanya “tema gerakan” melalui kekuatan massa setelah opini publik terbentuk via isu-isu (korupsi, kemiskinan, pimpinan tirani dll) yang digencarkan oleh media, facebook, twitter dan lain-lain. Sedangkan “skema” yang diusung oleh kepentingan Barat di Jalur Sutra (Timur Tengah, Afrika Utara dll) adalah penggusuran rezim, atau istilahnya tata ulang kekuasaan. Inilah pola kolonialisme dari model asimetris asing yang mulai terendus.
Tatkala “Save KPK” di Indonesia kemarin marak, memang sempat dinilai sebagai TEMA gerakan sebab indikasinya sama dengan pola Arab Spring. Misalnya isu yang ditebar soal korupsi (bukankah korupsi di Indonesia diciptakan melalui sistem?), ada isu pemimpin atau institusi tirani, sangat berperannya media, jejaring sosial dan lainnya. Kemudian bila membandingkan aktor atau pemrakarsa gerakan massa antara Arab Spring di Jalur Sutra dengan Save KPK ternyata sama pula, yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menginduk kepada lembaga donatur internasional atau memiliki link up ke LSM asing. Secara tersirat, sejatinya TEMA model asimetris ala KPK hampir sukses di Bumi Pertiwi. Namun syukurlah tema tersebut gagal melaju ke tahap berikut. Entah kenapa. Karena ketiadaan dana, kurang dukungan, atau keburu ketahuan?
Contoh lain masalah rumor flu burung. GFI melihat rumor tersebut cuma sekedar isue semata, karena tema yang akan diangkat ialah daging mahal atau daging langka, maka skema yang menjadi tujuan pokok adalah impor daging mutlak harus dilestarikan baik kualitas maupun kuantitasnya di Indonesia. Jelas sudah, bahwa skema kolonialis yang tengah disiapkan via isu flu burung adalah “jerat impor” bagi bangsa ini. Demikian pula untuk bidang pangan lainnya seperti beras, ikan, singkong, kedelai, gula, garam, bawang-bawangan, dll sehingga republik ini “dibuat” seperti tidak memiliki kedaulatan sama sekali atas pangan, padahal secara fisik semuanya ada, nyata dan bahkan berlimpah.
Teringat statement Henry Kissinger (1970), “Control oil and you control the nations, control food and you control the people” (Kontrolah minyak kamu akan mengontrol negara, kontrol pangan maka anda mengendalikan rakyat). Sekali lagi, retorika menggelitik pun timbul: “Apakah bangsa ini tidak sedang dilumpuhkan kedaulatan pangannya melalui skema jerat impor oleh asing?”. Retorika ini tidak butuh jawaban agar artikel ini bisa diteruskan. Tetapi yang lebih mengerikan lagi ialah isyarat Vandana Shiva, bahwa bila kolonialisasi lama hanya merampas tanah, sedangkan kolonialisasi baru merampas seluruh kehidupan!
Merujuk judul dan uraian di atas, mencermati konflik antara TNI versus Polri di Ogan Komering Ulu (OKU) dari perspektif politik global, sesungguhnya kasus tersebut hanyalah tema belaka. Lalu apa kelanjutan skema? Hasil diskusi GFI merekomendasi bahwa konflik antar aparat di OKU diprakirakan merupakan skema pelemahan bangsa via pencerai-beraian elemen dan pecah belah dari sisi internal. Ini yang mutlak diwaspadai bersama oleh segenap tumpah darah Indonesia dimanapun berada dan berkiprah.
Tak dapat dipungkiri, TNI-Polri adalah organ-organ perekat bangsa. Bahkan di antara berbagai elemen-elemen bangsa lain, keduanya masih solid hingga kini, sebab keduanya merupakan anak kandung revolusi (kemerdekaan) dulu. Tak bisa tidak, TNI-Polri itu benteng terakhir dari sebuah sistem kedaulatan bangsa. Apabila retak kedua institusi niscaya bakal pecahlah bangsa dan negara. Ini harus disadari bersama oleh segenap komponen bangsa!
Jujur harus diakui, dinamika politik menjelang 2014 kendati terlihat glamour namun tidak bermakna apa-apa bagi kesejahteraan rakyat, apalagi untuk Kepentingan Nasional RI. Segenap elit dan partai politik dibuat sibuk, asyik dan porak-poranda oleh korupsi; organisasi massa dibentur-benturkan melalui pragmatisme; para pemuda dan mahasiswa diracuni narkoba serta disusupi dogma-dogma impor atas nama kebebasan dan demokrasi di tataran hilir, dll. Tampaknya media massa terutama media mainstream memiliki kontribusi luar biasa atas “keretakan” yang tengah terjadi pada bangsa ini, karena media massa cuma sekedar memberitakan secara gegap gempita tentang isu-isu, tema, kemudian ke isu lagi, lalu ke tema lagi, demikian seterusnya cuma mengejar gegap rating tanpa solusi jelas.
Mengakhiri handout singkat lagi sederhana ini, kiranya segera dihentikan dampak dan polemik yang merambah kemana-mana justru semakin menjauh dari Kepentingan Nasional RI. Padamkan solidaritas sempit dan jangan kembangkan ego sektoral yang kontra produktif, agar tema yang sudah tergelar di OKU tidak melaju ke tahap skema gerakan asing, yakni pelemahan NKRI dari sisi internal melalui konflik antar TNI versus Polri.
Ingatlah wahai bangsaku, damai itu indah! Aman itu sejahtera!