M. Djoko Yuwono, Wartawan Senior dari Pos Kota Group
Buku pertama berjudul ‘Kisah Bahasa’ dari seorang poliglot ternama dan penulis Italia-Amerika, Mario Pei (1901–1978). Buku kedua berjudul ‘Mengenang Bung Hatta’, ditulis oleh I. Wangsa Widjaja. Ada alasan khusus kenapa kedua buku ini saya sandingkan. Alasan apa?
Dua buku ini memberi pelajaran penting bagi saya tentang bahasa politik, hingga pada simpulan: terjadi banyak “krisis semantik” dalam bahasa politik kita, satu di antaranya kata ‘demokrasi’. “Krisis semantik”, apa itu? Sebentar ….
Mari kita simak pernyataan Bung Hatta sebagaimana diterakan oleh Pak Wangsa Widjaja pada bukunya. Kata ‘demokrasi’, menurut Bung Hatta, bukanlah asli bahasa Indonesia. Iya, kata ‘demokrasi’ berasal dari Yunani kuno pada abad ke-5 SM, dari dua kata ‘demos’ yang berarti rakyat dan‘cratos/cratein’ yang berarti pemerintahan.
Sejak itu, konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci dalam sistem pemerintahan, sebagai indikator perkembangan politik suatu negara bahwa kekuasaan negara diperoleh dari rakyat yang harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Namun, makna istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, mengalami evolusi sejak abad ke-18 bersamaan dengan perkembangan sistem demokrasi di banyak negara. Bagaimana kata itu berlaku di Indonesia?
Menurut Bung Hatta, kita memakai saja kata itu. Partai-partai di Indonesia disuruh memakai semboyan ‘Demokrasi Indonesia’ tetapi tidak paham tentang rupa demokrasi Indonesia. “Timur boleh mengambil mana yang baik dari Barat, tetapi jangan meniru melainkan kita sesuaikan, jangan di-‘adopteren’ melainkan di-‘adapteren’,” tulis Bung Hatta.
Dalam bahasa Mario Pei, apa yang disebutkan oleh Bung Hatta itu merupakan proses pencabutan makna dari katanya. Proses seperti itu, menurut Mario Pei, sangat beragam sesuai dengan keadaan tetapi hampir senantiasa sama intinya: sebuah kata atau ungkapan dicabut dari konteksnya yang biasa, diisi dengan maksud baru atau sepasangan maksud, diedarkan dalam konteks yang sama-sama berbeda.
Kata-kata seperti ‘kebebasan’, ‘liberalisme’, ‘demokrasi’; ungkapan seperti ‘kebebasan pers’ dan ‘republik rakyat’ merupakan contoh mencolok tentang perbedaan isi semantik. Hal itu timbul secara wajar mengingat ada perbedaan pengalaman individu maupun kelompok, atau dengan sengaja disebut sebagai suatu alam pikiran khusus.
Seringkali, menurut Mario Pei, kedua faktor itu menjadi satu. Sebut, misalnya, bangsa Amerika dan Rusia yang berbeda latar belakang dan pengalaman masa lampaunya, tidak dapat diharapkan bisa memberikan definisi yang sama mengenai ‘kebebasan’ atau ‘demokrasi’. Apabila perbedaan semantik yang wajar ditambah variasi-variasi tentang ragam yang dipengaruhi oleh pemerintah, jangan heran kalau kata yang sama tidak mengandung maksud yang sama bagi kedua negara.
Dalam kajian Mario Pei, ‘demokrasi’ di Amerika memberi tekanan kepada konsep yang pelik tentang pemerintahan oleh rakyat, sedangkan ‘demokrasi’ di Soviet menekankan kepada pemerintahan untuk rakyat. Demikian halnya kata ‘kebebasan’, bagi orang Barat mengandung konotasi menyangkut kebebasan-kebebasan individu, dengan konotasi semantiknya berkisar pada kebebasan suatu kelompok nasional atau rasial untuk meluaskan diri atas kerugian orang atau kelompok lain.
Hal itu, sebagaimana dikemukakan oleh Mario Pei, membuat terjadinya halangan-halangan untuk bisa saling mengerti antara Amerika dan Soviet, karena telah terjadi “krisis semantik”. Orang Barat mengerti isi semantik dalam terminologi Marxis, sedangkan orang Rusia atau Soviet tidak mengerti konsep-konsep pikiran Barat meskipun kedua belah pihak sama-sama tegar menggunakan istilah ‘demokrasi’.
Kasus yang diangkat oleh Mario Pei itu diangkat pula oleh Bung Hatta. Melalui sebuah tulisannya di ‘Daulat Rakjat’ No. 12, 10 Januari 1932, Bung Hatta mencoba menyelidiki pengertian dan praktik demokrasi asli di Indonesia hingga pada simpulan bahwa demokrasi asli Indonesia adalah sistem pemerintahan negara yang diatur dengan sistem perwakilan. Sistem perwakilan itu diwujudkan dalam rapat-rapat dan dewan-dewan, berjonjong-jonjong (bersusun-susun) dari bawah ke atas, dari yang sekecil-kecilnya di desa sampai kepada yang sebesar-sebesarnya, yaitu Dewan Rakyat Indonesia, badan perwakilan rakyat Indonesia. “Demikianlah susun demokrasi Indonesia menurut dasar kedaulatan rakyat,” tulis Bung Hata.
Uraian Bung Hatta itu mengingatkan kita kepada rumusan sila ke-4 pada Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawatan/perwakilan,” sebagai adaptasi dari ‘demokrasi’ dalam konsep Barat. Tetapi, sejak perubahan UUD 1945 menjadi UUD 2002, bangsa Indonesia tidak mengadaptasi demokrasi dari Barat, melainkan justru mengadopsinya mentah-mentah, sehingga terjadi krisis semantik sebagaimana yang dikemukakan oleh Mario Pei.
Kenapa sampai terjadi krisis seperti itu? Jangan-jangan hal itu bermula dari krisis identitas yang terjadi pada masyarakat Indonesia, setidaknya pada kaum elitenya, elite politik yang tidak percaya dengan konsep demokrasi khas Indonesia. Jangan-jangan …. ( * )
#Catatan
– semantik = ilmu tentang makna kata dan kalimat; pengetahuan mengenai seluk-beluk dan pergeseran arti kata;
– poliglot = dapat mengetahui, menggunakan, dan menulis dalam banyak bahasa; orang yang pandai dalam berbagai bahasa.
Facebook Comments