KTT G-20 2013: Momentum Kerjasama Strategis Indonesia-Rusia dalam Skema BRICS

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Pengantar Redaksi: Dalam rangka menyambut penyelenggaraan KTT G20 di St Petersburg, Rusia tanggal 5 – 6 September 2013, kami menghadirkan kembali tulisan The Global Review Quarterly Edisi # 3, Mei 2013. Berikut paparannya.

Dasar Pemikiran

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 yang berlangsung pada 5 – 6 September 2013 di kota St Petersburg, Rusia, merupakan momentum yang harus dimanfaatkan oleh pemegang otoritas keuangan Indonesia, maupun seluruh stakeholders (Pemangku Kepentingan) kebijakan luar negeri Indonesia. Bahkan bisa digunakan sebagai momentum kebangkitan politik luar negeri Indonesia melalui ranah diplomasi. Terkait hal tersebut, menarik untuk mengindentifikasi beberapa agenda strategis yang bisa dimainkan Indonesia, sekaligus membangun kerjasama strategis dengan Rusia yang kebetulan akan menjadi tuan rumah sekaligus Ketua G-20 pada 5 – 6 September 2013 tersebut.

Kalau kita merujuk pada pernyataan Kepala Staf Kantor Kepresidenan Kremlin, Sergei Ivanov sebagaimana diberitakan tim redaksi The Global Review 27 November 2012 , ada beberapa agenda strategis yang dicanangkan oleh Rusia yang kiranya Indonesia bisa menyelaraskan agendanya sesuai dengan kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif bagi kepentingan nasional.

  1. Rusia akan fokus pada pemulihan ekonomi dan keuangan global yang saat ini sedang sakit.
  2. Merangsang pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
  3. Menawarkan pertemuan bersama para menteri keuangan dan tenaga kerja guna  menilai masalah ekonomi global dari sudut tenga kerja.
  4. Menyiapkan rencana penyelenggaraan Konferensi terpisah dari para Pemimpin BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan), untuk membahas penguatan peran Blok dalam pembuatan kebijakan International Monetary Fund (IMF).
  5. Mempertimbangkan kemanfaatan pertemuan dengan negara-negara non G-20, mengadakan konferensi dengan pemuda, masyarakat sipil, komunitas bisnis, serta serikat buruh dari komunitas anggota G-20.

Terhadap poin 4 dan 5, Global Future Institute memandang hal tersebut sebagai prioritas utama sekaligus agenda strategis yang harus dimanfaatkan dalam kerangka Kebangkitan Politik Luar Negeri RI untuk memperkuat posisi tawar Indonesia di dunia internasional. Maka itu, rencana penyelenggaraan Konferensi terpisah dari para Pemimpin BRICS atas prakarsa Rusia, merupakan momentum yang harus dimanfaatkan Indonesia untuk membangun kerjasama strategis baru dalam Skema persekutuan strategis ala BRICS. Untuk mengimbangi persekutuan strategis Amerika Serikat dan Eropa Barat yang tergabung dalam G-8, yang kami pandang sangat merugikan kepentingan nasional Indonesia pada khususnya, dan negara-negara berkembang pada umumnya.

Sebagaimana diketahui bersama, negara-negara yang tergabung dalam G-8 adalah Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Jerman, Perancis, Inggris, Italia dan Rusia.

Terhadap fakta tersebut di atas, kami sependapat dengan ulasan dari pakar ekonomi Universitas Gajah Mada-Yogyakarta Dr Revrisond Bawazir. Menurut Dr Revrisond, G20 dulu sebenarnya didirikan karena Amerika dilanda krisis ekonomi. Inisiatif mendirikan G20 itu berasal dari Amerika sendiri. Amerika ingin membagi beban kesulitan ekonomi dengan negara-negara lain. Dengan demikian, gagasan didirikannya G-20 sejatinya adalah sebagai alat yang digunakan untuk menyelamatkan perekonomian G-8. Khususnya dalam hal ini, Amerika Serikat.

Kedua, juga sejalan dengan pandangan Dr Revrisond, berdirinya G-20 sama sekali tidak bisa dipandang sebagai upaya untuk mengobah tata perekonomian dunia, apalagi untuk menampung partisipasi secara lebih luas. Yang terjadi justru kebalikannya. Amerika justru membagi beban dengan negara-negara di luar G-8.

Kenyataan ini, menjadi satu perkembangan yang cukup menarik dan bahkan strategis ketika pihak pemerintah Rusia sebagai Ketua G-20 telah mencanangkan akan menyelenggarakan konferensi terpisah dari para pemimpin BRIC. Ini perkembangan menarik dan strategis karena dalam estimasi Global Future Institute, negara-negara yang tergabung dalam BRIC, bukan saja memiliki aspirasi tertentu, bahkan punya sebuah skema tersendiri untuk ikut mempengaruhi perkembangan ekonomi dunia, di luar skema dari persektuan strategis AS dan negara-negara yang tergabung dalam G-8.

Indonesia Harus Pertimbangkan Kerjasama Strategis ala BRICS

Satu fakta menarik yang harus kita ketahui bersama, adanya blok ekonomi BRICS yang dimotori oleh Rusia dan Cina, pada hakekatnya merupakan derivasi dari sebuah kerjasama strategis yang ditandatangani oleh Rusia dan Cina melalui Shanghai Cooperation Organization (SCO) pada 2001. Kesepakatan kedua negara inilah yang pada perkembangannya mengilhami negara-negara berkembang seperti Brazil, India, dan belakangan Afrika Selatan, untuk memanfaatkan momentum kerjasama dengan dua negara yang sejak era Perang Dingin hingga saat ini, merupakan dua negara adidaya yang dipandang sebagai saingan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat dan Jepang.

Lalu bagaimana Indonesia harus bersikap menghadapi adanya dua blok kepentingan di dalam tubuh G-20 tersebut? Kalau kita merujuk pada semangat Dasa Sila Bandung pada Konferensi Asia-Afrika April 1955 maupun Konferensi Gerakan Non Blok pada 1961, maka sudah seharusnya Indonesia mengambil posisis memihak pada kepentingan strategis negara-negara berkembang, seperti sudah dipertunjukkan oleh Brazil dan India dalam kerangka kerjasama BRICS bersama Rusia dan Cina.

Indonesia sudah saatnya mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh untuk menciptakan format persekutuan ekonomi negara-negara berkembang dengan merujuk pada model ala BRICS, atau setidak-tidaknya bergabung dan membangun kerjasama strategis bersama-sama negara-negara yang tergabung dalam BRICS, seperti yang sekarang sudah dilakukan oleh Korea Selatan. Dengan demikian, kerjasmaa strategis yang dibangun dengan Rusia maupun Cina, didasarkan pada gagasan untuk memperkuat peran dan posisi strategis negara-negara berkembang di forum-forum ekonomi multilateral seperti G-20.

Harus diakui inilah aspek krusial dari penyikapan Indonesia di G-20. Seperti yang dinyatakan oleh Dr Revrisond, ketika terjadi konflik antara AS versus Cina misalnya, atau ketika terjadi konflik kepentingan antara negara-negara yang tergabung dalam G-8 versus BRIC, Indonesia justru menjadi instrumen bagi kepentingan G-8 untuk melobi negara-negara BRICS.

Sekadar catatan, negara-negara maju yang didalamnya dimotori oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa, beberapa pakar ekonomi-politik sebenarnya lebih suka menyebutnya sebagai negara-negara yang tergabung dalam G-7. Karena dalam konteks aliansi strategis, Rusia berada di luar skema persekutuan strategis Amerika-Inggris maupun negara-negara Eropa Barat yang tergabung dalam Uni Eropa (Baca Santos Winarso Dwiyogo, Saatnya Menoleh ke Rusia Bagi Kepentingan Strategis Indonesia.

Menyadari kenyataan ini, para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri dari semua kementerian terkait, sudah saatnya mengeluarkan kebijakan luar negeri yang bertumpu pada kedaulatan dan kemandirian sebagaimana tercermin dalam azas politik luar negeri Indonesia yang  bebas dan aktif.

Terlepas format yang paling pas nantinya apakah dengan membentuk blok ekonomi tersendiri bersama-sama beberapa negara berkembang tertentu ala BRICS atau untuk sementara menyatukan aspirasi bersama dengan negara-negara yang tergabung dalam BRICS, namun kedua opsi tersebut harus menyeleraskan diri dalam kerangka kerjasama strategis dengan Rusia dan Cina. Karena kedua negara tersebut dalam  berbagai kesempatan secara terbuka  membuka diri terhadap berbagai kerjasama strategis dengan negara-negara berkembang seperti yang pernah ditawarkan oleh Rusia untuk membantu negara-negara berkembang dalam bidang alih teknologi pada waktu diselenggarakan Konferensi APEC Business Advisory Council (ABAC) tahun lalu. Atau kerjasama Cina-Indonesia dalam pengembangan Industri Pertahanan Strategis.

Khususnya dengan Rusia, mengingat kenyataan bahwa saat ini Rusia merupakan Ketua G-20 dan sekaligus anggota G-8 yang memprakarsai kerjasama strategis dengan negara-negara berkembang di luar kerangka G-8, barang tentu Indonesia harus mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh dan seksama sebuah kerjasama strategis ala BRIC yang dimotori oleh Rusia.

Terkait hal tersebut, menarik menyimak sebuah artikel yang ditulis oleh Maria Monica Wihardja. Dalam artikelnya yang bertajuk Indonesia and Russia’s Presidency of G-20, mengidentifikasi beberapa isu yang kiranya bisa menjadi dasar kerjasama strategis Indonesia dan Rusia dalam kerangka G-20 (baca: www.eastasiaforum.org). Menurut Monica yang juga merupaka staf peneliti CSIS tersebut, Indonesia dan Rusia keduanya bergantung pada ekspor bahan mentah. Kedua negara juga pernah berhutang pada IMF dan sudah melunasi hutang-hutangnya. Bahkan kedua negara ini sudah menjadi negara peminjam (Pada dua hal ini, kami dari GFI memandang ini masih kontroversial). Namun kenyataan bahwa kedua negara merupakan eksportir bahan mentah, kami sependapat sepenuhnya. Dan harus jadi titik tolak dalam mempertimbangkan sebuah kerjasama strategis baik secara bilateral maupun dalam kerangka kerjasama ala BRIC. Monica juga beranggapan bahwa kedua negara menaruh prioritas utama pada Pembangunan Infrastruktur dan Konektivitas.

Kalau Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan program Master Plan Percepatan dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di beberapa koridor provinsi di Indonesia, Rusia juga sedang giat-giatnya melaksanakan program investasi yang didukung pemerintah dalam rangka mendukung Pembangunan Sosial-Ekonomi di kawasan Timur Jauh Rusia (The Siberian Rusian Far East). Sebuah daerah yang selama ini diabaikan, namun saat ini disadari betul oleh pemerintah Rusia sebagai “Pintu Masuk” menuju kawasan Asia Pasifik. Dan lebih daripada itu, memiliki cadangan minyak dan gas alam yang terbesar di dunia.

Seperti yang jadi pokok  bahasan GFI tentang kesiapan keketuaan Indonesia dalam APEC 2013 di  Bali Oktober mendatang, para pemegang otoritas perekonomian dan kebijakan luar negeri harus menyerap inspirasi dari Rusia, karena melalui program Siberian Russian Far East tersebut, telah berencana untuk menciptakan integrasi regional melalui terbangunnya sistem transportasi yang bisa menghubungkan antara kawasan Timur Jauh Rusia dengan kawasan Eropa.

Selain itu, Rusia telah mampu memberi insentif untuk membangun infrastruktur dalam rangka menggalakkan persaingan. Seperti juga Indonesia, Rusia juga mengalami hambatan institusional (kelembagaan) dan regulasi, sehingga menghambat upaya Pembangunan Infrastruktur.

Yang paling strategis dari sudut pandang Geopolitik/Geostrategi, Rusia punya minat dan ketertarikan yang semakin besar dengan kawasan Asia Pasifik. Dalam beberapa dekade terakhir, Rusia telah ikut serta dengan negara-negara tetangga di Asia Pasifik, membangun kerjasama multi-lateral dan integrasi ekonomi. Ini jelas merupakan bukti nyata adanya program kegiatan lintas perbatasan (cross border project) dengan mitra strategis dari negara-negara di kawasan Asia. Seperti proyek pembangunan rel kereta api yang menghubungkan Moskow dengan kawasan Timur Jauh Rusia dan Laut Jepang (Sea of Japan). Yang menembus juga Cina dan Korea Utara melalui rel kereta kereta api lintas perbatasan Korea (Inter-Korean Railway).

Bukan itu saja. Rusia baru-baru ini juga menyetujui rencana eksplorasi pipa gas melalui Korea Utara, yang bertujuan untuk memasok gas Rusia ke Korea Selatan.

Melalui serangkaian proyek lintas perbatasan ini, bisa dipastikan akan semakin meningkatkan nilai strategis Rusia secara geopolitik di kawasan Asia Pasifik. Karenanya sungguh sulit dimengerti  dan amat disayangkan jika Indonesia tidak memanfaatkan nilai strategis Rusia di kawasan Asia Pasifik untuk kepentingan nasional Indoensia, khususnya dalam bidang ekonomi dan perdagangan.

Beberapa Prakondisi Menuju Kerjasama ala BRICS

Jika kita kilas balik sejenak, sebenarnya beberapa landasan ideal menuju terbentuknya sebuah aliansi strategis ala BRICS untuk menggalang kekuatan di kalangan negara-negara berkembang sudah disusun sejak 2007 lalu. Tepatnya pada Desember 2007 lalu, enam Presiden negara-negara di kawasan Amerika Selatan telah meluncurkan Bank Selatan atau Bank of the South, sebagai alternatif sumber pembiayaan selain Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF).

Presiden Argentina Nestor Kirchner, Presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva, Presiden Paraguay Nicanor Duarte, Presiden Ekuador Rafael Correa, Presiden Bolivia Evo Morales, dan Presiden Venezuela Hugo Chavez menandatangani MoU peresmian bank tersebut (http://www.antaranews.com/berita/1197254133/bank-selatan-jadi-pesaing-bank-dunia-dan-imf).

Gagasan pembentukan bank regional ini berasal dari Presiden Venezuela Hugo Chavez pada 2006. Dengan tujuan untuk mendorong kawasan ini keluar dari jeratan pengaruh buruk dari IMF dan Bank Dunia. Bahkan dengan penuh keyakinan kala itu Chavez berkata,”Bank ini akan menjadi faktor penentu dalam proses kebebasan rakyat kita.” Karena Chavez berkeyakinan bahwa memiliki sumber pembiayaan sendiri merupakan hal penting bagi Amerika Selatan. Sehingga bisa menghentikan ketergantungan dari lembaga internasional.

Meski model kerjasama ala Bank Selatan ini masih dalam lingkup kawasan Amerika Selatan, kiranya bisa jadi inspirasi bagi Indonesia, untuk merangkul Rusia dan Cina, sebagai bahan pertimbangan menyusun rencana-rencana strategis bersama memperkuat kembali persekutuan negara-negara berkembang untuk mengimbangi dominasi Amerika dan Uni Eropa.

Bagi Indonesia, setidaknya Bank Selatan bisa jadi inspirasi untuk membangun sebuah model kerjasama dalam membangun integrasi dan konsolidasi regional di kawasan Asia Tenggara, dan ASEAN pada khususnya. Hanya saja kali ini, dengan mengikutsertakan Rusia dan Cina dalam aliansi strategis negara-negara yang perekonomiannya masih masuk kategori negara-negara berkembang.

Terkait dengan kepemimpinan Rusia pada KTT G-20 September 2013 mendatang di St Petersburg,  yang salah satu agendanya akan mengangkat masalah  pemulihan ekonomi dan keuangan global yang saat ini sedang sakit, maka Indonesia secara cerdas harus bisa memanfaatkan hal ini sebagai momentum menggalang kerjasama strategis negara-negara berkembang, dengan mengikutsertakan Rusia dan Cina dengan merujuk pada skema kerjasama lintas kawasan ala BRICS.

Mengingat isu sentral yang diagendakan Rusia pada KTT G-20 September mendatang adalah pemulihan ekonomi dan keuangan global, maka tak pelak lagi, menggugat dominasi IMF dan Bank Dunia kiranya berpotensi menjadi isu pemersatu.

Dalam Sidang Majelis Umum PBB pada 2009 lalu, Presiden Equador Rafael Correa, secara gamblang mendesak dihapuskannya Bank Dunia dan IMF, karena dianggap sebagai perpanjangan tangan kapitalisme global dan penyebab krisis keuangan internasional. Bahkan, kecaman terhadap kiprah IMF dan Bank Dunia praktis telah mendominasi suasana Sidang Umum PBB yang pada waktu itu mengagendakan pembahasan tentang krisis ekonomi yang melanda dunia.

Berbicara soal IMF dan Bank Dunia, mau tidak mau harus menelisik kembali perjanjian Breton Wood merupakan sebuah tempat di negara bagian New Hampshire, Amerika Serikat. Kala itu, 730 delegasi dari 44 negara berkumpul pada Juli 1944 untuk membangun sistem perekonomian dunia yang menjadi cikal bakal lahirnya Bank Dunia dan IMF.

Dan negara-negara berkembang, seperti dikumandangkan oleh Presiden Equador Rafael Correa, pada dasarnya sudah sampai pada sebuah pandangan untuk menghapus Bank Dunia dan IMF. Jadi bukan sekadar reformasi IMF dan Bank Dunia. Jika pada perkembangannya sekarang kedua badan keuangan dunia tersebut belum bisa dihapus, setidaknya kedua lembaga tersebut kewenangannnya harus segera diubah, dan kewenangannya untuk mengatur negara-negara miskin harus dikurangi (Baca Kapitalisme, IMF, dan Bank Dunia Digugat di PBB, http://www.antaranews.com/view/?i=1245995833&c=EKB&s=MON).

Maka dengan demikian, PBB harus diberikan otoritas dan kekuasaan yang lebih besar untuk membuat berbagai keputusan strategis dan pengaturan soal-soal keuangan. Seperti juga halnya pada 2007, dalam Sidang Majelis Umum PBB 2009, sempat diagendakan untuk membahas proposal reformasi sistem keuangan dunia. Proposal ini didukung sepertiga dari 192 negara anggota Majelis Umum PBB. Dan substansi proposal disepakati tanpa syarat.

Namun proposal yang drafnya semula dipersiapkan oleh Miguel D’ Escoto, mantan Menteri Luar Negeri Nikaragua, yang waktu itu masih menjabat Presiden Majelis Umum PBB, kemudian ditolak oleh negara-negara barat karena dianggap radikal. Termasuk seruan agar diadakan reformasi terhadap IMF.

Namun ada satu isu menarik dari proposal D’ Escoto ini, yang kiranya cukup inspiratif, sebagai landasan membangun kerjasama strategis Indonesia dan Rusia pada KTT G-20 September mendatang. Yaitu terkait seruan agar untuk memberdayakan dan memperkuat proses pengambilan kebijakan negara-negara perekonomian negara-negara berkembang. Terutama dengan mengkaji ulang perimbangan suara IMF.

Dengan mencermati kembali Sidang Umum PBB baik 2007 maupun 2009, kiranya upaya penggalangan kerjasama strategis antar negara-negara berkembang dari berbagai kawasan, masih tetap relevan hingga kini. Dan untuk itu, kerjasama lintas kawasan ala BRICS yang dimotori oleh Rusia dan Cina sebagai kekuatan penginbang terhadap dominasi AS dan Uni Eropa, kiranya sangat diperlukan dalam rangka memberdayakan kekuatan perekonomian negara-negara berkembang.

Apalagi dengan fakta bahwa AS dan Uni Eropa sampai saat ini selalu menolak berbagai upaya reformasi sistem keuangan dunia yang mengarah pada gugatan negara-negara berkembang untuk membubarkan IMF dan Bank Dunia, AS dan Uni Eropa.

Pada tataran ini, sudah saatnya Indonesia untuk berpaling pada Rusia baik dalam kerangka kerjasama bilatral, maupun dalam kerangka kerjasama Cina-Rusia ala BRICS, yang memungkinkan Indonesia untuk membangun persekutuan strategis di kalangan negara-negara berkembang, khususnya ASEAN, untuk mengimbangi dominasi dan pengaruh AS dan Uni Eropa yang tergabung dalam G-7.

Beberapa Agenda Strategis Kerjasama Indonesia-Rusia dalam Kerangka G-20:

  1. Agenda Keuangan. Baik Indonesia dan Rusia, sama sama negara  yang berusaha bangkit dari keterpurukan, yang keduanya harus memainkan peran aktif dalam perumusan regulasi baru keuangan global yang di luar kendali dan skema IMF dan Bank Dunia.
  2. Indonesia dan Rusia bersama-sama memperjuangkan agenda reformasi IMF yang memperkuat posisi negara-negara berkembang, termasuk berjuang memasukkan agenda bantuan keuangan bagi pembangunan  infrastruktur, dan  pembangunan lintas perbatasan atas dasar upaya membangun konektivitas antar wilayah dan kawasan.
  3. Dalam masa kepemimpinan Rusia di G-20, Indonesia punya peluang besar untuk mendorong dimasukkannnya agenda investasi pembangunan infrastruktur, meski akan menghadapi penolakan dari beberapa negara anggota G-30 dari kawasan Eropa.
  4. Indonesia harus memandang investasi pembangunan infrastruktur dengan menyerap insipirasi dari Rusia terkait proyek lintas perbatasan yang menghubungkan Timur dan Barat sebagai upaya membangun dampak positif bagi konektivitas berskala global. Sekaligus dalam kerangka terciptanya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, kuat dan seimbang.
  5. Indonesia juga harus menyelaraskan kerjasama strategisnya dengan Rusia di bidang Food  Energy dan Security (Ketahanan Energi dan Pangan). Seperti kita tahu, Rusia punya pengaruh besar dalam mempengaruhi ketahanan energy mengingat kemampuannya sebagai negara pengekspor gas, dan bahkan termasuk negara penghasil minyak. Alhasil, meski tidak termasuk anggota negara pengekspor minyak (OPEC), Rusia punya pengaruh dalam ikut menentukan harga minyak mentah dunia. Rusia juga punya kekuatan sebagai negara pemasok minyak dan gas, sehingga mampu ikut menentukan stabilitas harga energi. Belum lagi Rusia termasuk negara pengekspor daging terbesar ketiga di dunia. Sehingga Rusia juga patut diperhitungkan sebagai negara pemasok pangan global yang cukup signifikan. Selain itu Rusia punya kapasitas sebagai pengekspor produk-produk makanan. Semua itu menjadikan Rusia sebagai kekuatan yang unggul di bidang pangan dan energi.
  6. Dan di atas semua itu, Indonesia harus mampu memastikan Rusia untuk tetap berkomitmen mendukung pembangunan agar dijadikan agenda strategis di forum G-20. Karena meski Rusia tidak lagi termasuk negara berkembang, namun praktis masih menghadapi bebrapa hambatan yang sama dengan Indonesia maupun beberpaa negara berkembang, terkait beberapa isu pembangunan  ekonomi dan keuangan.
  7. Selain itu, Indonesia dan Rusia juga menghadapi lemahnya regulasi, infrastruktur yang tidak memadai, dan praktek korupsi yang cukup parah.
  8. Indonesia  juga harus memastikan agar Rusia ikut mendukung disuarakannya income disparity (kesenjangan pendapatan).
  9. Yang Indonesia harus sadari juga, Rusia saat ini merupakan pintu masuk yang menghubungkan Eropa dan Asia. Sehingga harus secepatnya mengupayakan kerjasama yang saling menguntungkan antara kedua negara.

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com