Toni Sudibyo, alumnus Fisip Universitas Jember dan alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia
Mendekati akhir Januari 2014 di Gedung KPU Jakarta, berlangsung diskusi bertema” Lembaga Survei Milik Siapa”. Dalam acara tersebut, Patrice Rio Capella yang juga Sekjen Partai Nasdem mengatakan, menjamurnya lembaga survei, akibat dari ketidakadaan sanksi terhadap lembaga survei yang telah salah mengumumkan hasil surveinya. Padahal hasil survei tersebut dapat mempengaruhi asumsi publik dalam proses pemilihan.
Sementara itu, M. Qodari yang juga Direktur Indo Barometer menilai aturan yang melarang pengumuman hasil hitung cepat (quick count) dilakukan paling cepat 2 jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat adalah tidak tepat. Menurutnya, KPU dalam membuat aturan tidak berlandaskan realita karena ada 3 hal yang menentukan kualitas survei yakni, metodologi, implementasinya dan integritas. Survei yang baik, akan mengambil sampling sebanyak 1.200 orang untuk mewakili seluruh penduduk Indonesia dan definisi random sampling harus ditentukan bahwa anggota populasi mendapat peluang yang sama. Sedangkan, Hasto Kristiyanto, Wakil Sekjen PDI-P menyatakan, peraturan KPU tersebut, merupakan langkah positif karena ada kecenderungan terjadinya bandwagon effect yakni, konstruksi persepsi publik yang dibangun oleh lembaga survei.
Maksud dan tujuan dilakukannya seminar ini tidak jelas, demikian pula pernyataan berbagai pembicara seminar juga tidak memberikan indikasi menjawab tema yang terkandung dalam seminar ini. Merenungkan sepintas judul seminar ini, rasanya seminar ini mengangkat masalah atau menangapi adanya anggapan, bahwa survey dalam rangka Pemilu adalah sebuah aktifitas politik yang menggunakan baju ilmu pengetahuan, namun hasilnya tergantung siapa yang memesannya.
Kritikan semacam ini juga logis, karena eksistensi sesuatu lembaga survey jelas tanpa sesuatu sertifikat kelayakan kredibilitas para pendiri dan pengasuhnya, setiap individu yang berlatar belakang pendidikan akademi atau perguruan tinggi tertentu dapat melakukannya. Bahkan kadang-kadang pimpinan lembaga survey yang bersangkutan adalah figur yang tidak jelas latar belakang akademisinya.
Informasi lain menyebutkan salah seorang Sekjen partai pernah membuat pernyataan yang menuntut agar LSI pimpinan Deny JA dibubarkan karena ternyata pernah salah membuat kesimpulan tentang survey yang dilakukan, yaitu meprediksi Foke dalam Pemilukada DKI akan keluar sebagai pemenang dalam satu putaran pemungutan suara. Demikian pula ada politisi salah satu parpol yang membuat pernyataan, bahwa berbagai survey yang dilakukan berbagai lembaga survey hanyalah pesanan partai yang banyak uang (sebagai bagian dari kampanye). Secara politis kedua peryataan tersebut nampaknya karena dalam berbagai survey baik parpol ditempat politisi tersebut bernaung disebutkan ranking popularitas atau elektabilitasnya rendah.
Pada sebuah kesempatan dalam rangka mengomentari sebuah hasil survey yang disiarkan dalam media massa, Prabowo Subianto, Capres Gerindra menyatakan, iapun bisa membuat survey yang hasilnya menyimpulkan bahwa dirinya, Prabowo, adalah tokoh yang paling populer dan paling tinggi elektabilitasnya. Intinya Prabowo ingin menggambarkan bahwa sesuatu survey tentang Pemilu, hasilnya bisa diatur.
Berbicara soal “Lembaga Survei Milik Siapa?, nampaknya pernyataan-pernyataan dalam seminar diatas telah memunculkan berbagai pernyataan dengan satu tema menerima eksistensi aktivitas survey dalam Pemilu sebagai aktivitas politik yang mengkombinasikan ilmu pengetahuan, kepentingan politik dan bisa saja sekedar entertainment politik, tetapi beragam nadanya, yaitu sikap-sikap baik yang membiarkan berkembangnya aktivitas survey yang bertujuan membuat perkiraan dan referensi bagi sesuatu stratetgi atau taktik pemenangan dalam sesuatu Pemilu, atau kritikan-kritikan yang diharapkan sebagai upaya penyempurnaan aktivitas survey, sehingga benar-benar bermanfaat atau desakan kepada publik perlunya ada hukuman bagi lembaga-lembaga survey yang ternyata membuat perkiraan-perkiraan yang salah.
Dalam masyarakat sendiri sikap menghadapi sesuatu survey dalam rangka Pemilu, nampak masih cukup menghargai, demikian pula media massa masih menganggapnya sebagai produk ilmiah yang disertai kejujuran dalam aplikasinya. Masalah kredibilitas ini mungkin dikaitkan dengan aktivitas sosial lainnya, meskipun mungkin berbeda polanya, yaitu dilakukannya quick count yang biasa dilakukan berbagai lembaga survey pada setiap akhir Pemilu, baik nasional maupun daerah. Keberhasilan quick count yang relatif benar sesuai dengan perhitungan berdasar fakta, telah menolong kredibilitas berbagai lembaga survey dalam aktivitasnya.
Sebagai kesimpulan, menjawab secara tidak langsung “Lembaga Survey Milik Siapa”, maka tentu yang dimaksudkan bukan mempertanyakan siapa tokoh yang secara hukum menjadi pemilik berbagai lembaga survey yang banyak muncul dewasa ini, tetapi mempertanyakan kepentingan siapa yang terkandung dalam aktivitas politik pengumpulan pendapat yang dilakukan oleh sesuatu lembaga survey. Kita mencoba menjawab, memang ada lembaga survey yang melakukan aktivitasnya dalam rangka mendukung pemenangan sesuau fihak tetapi banyak yang masih obyektif, mengabdi pada prisnip-pinsip ilmu pengetahuan, kondisi nyata situasi social politik dan untuk memberikan fakta yang obyektif kepada publik.
Diakui atau tidak, banyak lembaga survei yang memasang iklan di media massa, sehingga lembaga survei tersebut jelas sebuah lembaga bisnis, sehingga jelas setiap aktivitas surveynya membawa kepentingan yang membayarnya. Kenyataan ini memang bisa saja mengakibatkan sesuatu survey yang dilakukan meningalkan kenyataan, kejujuran dan obyektifitas demi kepentingan yang membayarnya.
Last but not least, sekarang ini banyak hasil survei yang menjagokan Jokowi akan memenangkan Pemilu Presiden 2014 bahkan hanya dalam satu putaran, serta banyak survei lainnya yang hasilnya menguntungkan Jokowi, namun jika pelaksanaan survei tersebut dilakukan dengan tingkat kevalidan dan kesahihan penelitiannya yang rata-rata menggunakan metode kuantitatif ternyata salah, maka hal tersebut akan menjadi “kiamat” bagi eksistensi lembaga survei. Sehingga ke depan, selain melakukan survei dengan metode kuantitatif seperti umumnya sekarang ini, sebaiknya juga melakukan survei dengan metode kualitatif, agar dapat meminimalisir kesalahan. Disamping itu, lembaga survei harus bebas nilai dan bebas kepentingan dan itu terlihat dari bunyi pertanyaan-pertanyaan surveinya.