‘Maid For Sale’ Dan Harga Diri

Bagikan artikel ini

Dina Y. Sulaeman, magister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Iklan ‘Maid For Sale’ sungguh menampar harga diri kita bangsa Indonesia. Kasus ini bak mengoyak luka lama yang memang belum pernah sembuh, yaitu kasus-kasus penindasan terhadap TKW, baik dilakukan oleh majikan mereka di luar negeri, maupun oleh oknum-oknum di dalam negeri. Ini sungguh menjadi cermin bagi bangsa kita, betapa penghargaan terhadap perempuan masih sangat rendah. Mengapa perempuan yang harus jauh-jauh mencari nafkah ke negeri asing? Kemana para lelaki yang seharusnya menjadi kepala keluarga dan wajib menafkahi anak-istrinya?

Pertanyaan ini sangat mungkin dijawab begini: lelaki di negeri ini sedemikian sulit mencari kerja karena lapangan kerja sangat terbatas. Pabrik-pabrik pribumi gulung tikar karena pasar dipenuhi barang murah dari negeri seberang. Pabrik-pabrik besar, kebanyakan sahamnya dimiliki juragan dari negeri-negeri asing. Mereka membuka pabrik di Indonesia supaya mendapat karyawan dengan gaji murah setara budak. Keuntungan besar yang diraih, kembali ke negeri asal mereka, bukan untuk pembangunan di Indonesia. Sebagian perusahaan pun kini lebih suka mencari tenaga kerja dengan sistem outsourcing. Tenaga cleaning service, atau satpam, misalnya, tidak lagi menjadi karyawan tetap perusahaan dengan hak dan kewajiban yang dilindungi UU. Perusahaan yang butuh tenaga cleaning service atau satpam tinggal menelpon perusahaan jasa penyedia tenaga. Perusahaan penyedia jasa itu tak ubahnya bagai makelar budak di zaman jahiliah, hanya saja dengan penampilan yang jauh lebih modern dan konon, beradab.

Dan jadilah negeri ini negeri budak, di dalam negeri rakyat diperlakukan bagaikan budak; di luar negeri budak asal Indonesia dipasarkan besar-besaran. Sedemikian besarnya uang yang berlimpah dari pemasaran budak modern Indonesia ke luar negeri, sampai-sampai devisa yang dihasilkan berada di peringkat kedua setelah penghasilan minyak dan gas. Setiap tahunnya, TKW yang bekerja di luar negeri menghasilkan devisa rata-rata Rp 100 trilyun. Betapa memalukannya, Indonesia bangsa yang sedemikian besar dan kaya sumber daya alam ini, ternyata meraup devisa justru dari penjualan budak bergaya modern.

Ironisnya,sebenarnya angka devisa 100 trilyun pertahun itu berasal dari 3,2 juta TKW. Jika dihitung rata-rata, pendapatan para TKW sebenarnya tidak terlalu besar. Tiap tahun rata-rata mereka memperoleh penghasilan sebesar Rp 31,25 juta. Jika uang sejumlah itu dikurangi dengan biaya sebelum berangkat rata-rata Rp 18,29 juta maka mereka mendapatkan uang sebesar Rp 12,96 juta per tahun atau Rp 1,08 juta per bulan. Angka ini hampir setara dengan UMR kota-kota tertentu, malah lebih rendah dibandingkan beberapa kota besar di Indonesia (Media Umat 7/2/2011).

Artinya, sebenarnya kaum perempuan di negeri ini tak perlu jauh-jauh menjadi babu di negeri orang seandainya pemerintah bisa membuka lapangan kerja buat suami-suami mereka dengan gaji senilai UMR saja. Kegagalan pemerintah menyediakan lapangan kerja, ditutup-tutupi dengan istilah Pahlawan Devisa. Seolah-olah, para TKW itu bergelimang uang, sehingga bekerja di luar negeri sebagai babu adalah alternatif yang baik buat perempuan Indonesia.

Sikap pemerintah terhadap kasus-kasus yang menimpa TKW pun cenderung reaktif. Bangsa ini sedemikian terbiasa bertindak ketika sudah terlambat. Misalnya saja, ketika pemerintah Arab Saudi sedemikian menghina kita dengan memancung Ruyati tanpa pemberitahuan kepada pemerintah Indonesia, barulah sebagian besar kita kebakaran jenggot. Namun, protes dari pemerintah pun masih setengah-setengah, sehingga akhirnya malah ditampar oleh keputusan Arab Saudi sendiri yang menghentikan penerimaan TKW dari Indonesia dengan alasan “adanya pemberitaan yang terlalu berlebihan atas kasus penyiksaan para TKW di Saudi yang dipancung di Arab Saudi” (detikcom 15/2/2011).

Dalam etika diplomasi antarnegara, sikap Arab Saudi ini benar-benar penghinaan besar. Jika ingin dihargai dan diperlakukan sejajar, seharusnya sejak awal pemerintah Indonesia yang ‘mengancam’ akan menghentikan pengiriman TKW jika pemerintah Arab Saudi tidak mau menjamin keselamatan dan keamanan TKW Indonesia. Kini yang terjadi justru sebaliknya.

Kita semua patut marah dan tersinggung atas kejadian ini. Namun, persoalan ini tidak akan selesai hanya dengan marah dan saling tuding. Sebagai bangsa, kita harus menyadari bahwa penghargaan terhadap diri ini harus dimulai dari diri sendiri. Bila suami-suami dan para ayah sudah tidak lagi memiliki izzah (harga diri) sehingga membiarkan saja istri-istri mereka dan anak-anak gadisnya menjadi babu di negeri orang, akankah kita berharap orang lain menghargai bangsa ini? Bila para pemimpin negeri ini tidak lagi memiliki izzah, dan merasa senang meraup devisi 100 trilyun dari hasil jualan babu (bukan dari hasil produksi industri, pariwisata, rekayasa teknologi, atau hal-hal bermartabat lainnya), bagaimana mungkin berharap pemerintah negara lain memberikan rasa hormatnya? Izzah, harga diri bangsa, sekali lagi, harus ditumbuhkan dari diri sendiri.

NB: yg dimaksud dalam artikel ini adalah TKW yg bekerja sbg PRT (maid); semoga tidak menyinggung mereka yg bekerja di sektor-sektor formal (saya juga pernah jadi tenaga kerja wanita di luar negeri kok, sbg translator di IRIB). — bersama Ristania Fitriastuti, Adi Jatmiko dan Pasky Wind.

(Ditulis oleh Dina Y. Sulaeman, pernah dimuat di sebuah majalah terbitan Jakarta, dengan menggunakan nama inisial; dipublish ulang dengan sedikit perubahan)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com