Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Bagaimana memaknai kunjungan Presiden Vladimir Putin ke Indonesia minggu pertama September mendatang? Tentunya sudah bisa ditebak, yaitu untuk menjalin suatu kerjasama strategis Indonesia-Rusia di segala bidang sebagaimana pernah dilakukan semasa pemerintahan Presiden Sukarno dan pimpinan tertinggi Uni Soviet (sekarang Rusia) Nikita Khrushchev di era 1950-an dan 1960-an.
Ketika itu, hubungan bilateral Indonesia dan Soviet tidak saja berlangsung di bidang kerjasama politik dan militer, tapi juga meluas di bidang kebudayaan dan IPTEK (Ilmu Pengetahuan-Teknologi). Dan yang luar biasa dari eratnya hubungan Indonesia-Rusia semasa pemerintahan Presiden pertama Indonesia tersebut, kedekatan dan persahabatan Indonesia-Rusia sama sekali tidak diikat oleh kesamaan ideologi antar kedua negara.
Seperti kita ketahui, waktu itu Amerika Serikat dari kubu kapitalisme liberal sedang terlibat perang dingin dengan Uni Soviet dari kubu Komunisme. Namun berkat paradigma Politik Luar Negeri bebas dan aktif yang dianut Indonesia sejak 1948, Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Sukarno berhasil menjalin persahabatan dan kerjasama strategis dengan negara-negara berpaham komunis seperti Soviet dan bahkan Republik Rakyat Cina.
Di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai momentum yang cukup bagus untuk menjalin kembali kerjasama strategis dengan Rusia yang dulunya lebih dikenal dengan nama Uni Soviet.
Mengapa penting bagi Indonesia? Saat ini politik luar negeri Indonesia sangatlah penting untuk memperluas mitra strategisnya di seluruh dunia. Dan salah satu yang menarik dari segi ini adalah Rusia. Karena negara beruang merah ini punya potensi besar. Di antaranya, tentu saja di bidang kerjasama militer dan keamanan. Dengan kata lain, kerjasama strategis Indonesia-Rusia di bidang militer dan keamanan bisa menjadi “pintu pembuka” untuk terjalinya suatu kemitraan strategis di bidang-bidang lain di luar bidang politik dan militer. Seperti Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Menurut sebuah sumber dari Departemen Luar Negeri, dalam kunjungan Presiden Putin ke Jakarta September mendatang, Rusia akan menawarkan penjualan pesawat tempurnya yang dianggap merupakan produk militer Rusia yang terbaru dan efektif. Dan dengan harga yang layak dan jauh lebih murah dibandingkan dengan produk-produk persenjataan yang berasal dari negara-negara Eropa Barat dan Amerika.
Bahkan menurut sumber-sumber yang bergerak dalam bisnis peralatan militer kepada penulis, meski harganya jauh lebih murah, peralatan militer produk Rusia mutu dan kualitasnya tidak kalah dibandingkan produk peralatan militer Eropa Barat dan Amerika. Bahkan dalam beberapa produk tertentu, negara-negara barat mutunya lebih rendah dan buruk.
Dan yang lebih menarik lagi, dalam menjual peralatan militernya ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia, Rusia sama sekali tidak mengaitkannya dengan kepentingan-kepentingan atau agenda politik yang tidak ada hubungannya dengan masalah bisnis dan perdagangan. Dan ini tentunya berbeda 180 derajat dibandingkan Amerika Serikat yang pada era pemerintahan Presiden Bill Clinton, misalnya, selalu mengaitkan penjualan peralatan militernya ke negara berkembang, termasuk Indonesia, dengan komitmen untuk menegakkan demokratisasi politik dan hak-hak asasi manusia.
Alhasil, seperti kita lihat dalam kasus Indonesia, Amerika sempat memberlakukan embargo penjualan senjata kepada Indonesia akibat tertembaknya beberapa aktivis pro kemerdekaan Timor Timor di Santa Cruz pada 1991 lalu. Bahkan akibat dari insiden Santa Cruz tersebut, Amerika juga memberhentikan pengirimian personil TNI dalam program pelatihan militer di Amerika Serikat melalui Program IMET.
Begitulah sisi menjanjikan dari kerjasama militer dan pertahanan Rusia-Indonesia. Dalam menjual peralatan militernya, Rusia tidak memberlakukan syarat-syarat politik yang tidak berkaitan dengan masalah-masalah bisnis dan perdagangan.
Sisi lain yang menarik dari kunjungan Putin ke Jakarta awal September mendatang, adalah di bidang kerjasama ruang angkasa. Dan untuk bidang yang satu ini, Rusia sejak masih Uni Soviet, memang termasuk negara unggulan. Buktinya, pada 1961 Rusia sudah dikenal sebagai salah satu negara yang cukup maju dalam bidang itu. Pernah dengar nama Yuriy Gagarin? Dialah manusia pertama yang menginjak bulan di ruang angkasa.
Maka menurut sumber di lingkar dalam pemerintahan Yudhoyono, dalam kunjungan Putin nanti, akan mengusulkan sebuah kerjasama strategis di bidang ruang angkasa kepada Indonesia. Untuk kongkritnya, Rusia akan memberi bantuan yang semaksimal mungkin agar para angkasawan Indonesia bisa menginjak bulan di ruang angkasa. Kalau informasi ini benar, dan rencana strategis ini bisa terlaksana dengan lancar sesuai skenario, maka tak pelak lagi reputasi Indonesi di dunia internasional akan semakin meningkat. Dan yang lebih penting dan strategis lagi, ini sangat strategis bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi Indonesia. Sehingga, Indonesia dan Rusia akan memasuki sebuah era baru dari kerjasama strategis yang mungkin akan jauh lebih kualitatif dibandingkan dengan kerjasama Indonesia-Soviet semasa pemerintahan Sukarno dan Nikita Krushchev di era 1950-60-an.
Kerjasama di Bidang Penanggulangan Bencana
Salah satu ancaman yang berbahaya untuk abad 21 adalah Bencana Alam seperti gempa bumi, Tsunami, kebakaran hutan, banjir dan sebagainya. Akibat dari itu, ratusan ribu jiwa tewas secara mengenaskan. Juta orang kehilangan tempat tinggal dan harta benda. Kerugian keuangan negara mencapai miliaran dollar Amerika.
Dalam konteks tersebut, pemerintah di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia, harus memiliki strategi dan peralatan yang cukup canggih, untuk melakukan pencegahan sedini mungkin dan mengantisipasi terjadinya bencana. Betapa tidak. Dalam bencana Tsunami yang melanda Aceh pada 2005 lalu, 300 ribu orang lebuh tewas. Kejadian dalam skala yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Pulau Nias.
Kebakaran hutan juga melanda Kalimantan dan Sumatera Utara, sehingga mengundang kecaman dari Malaysia dan Singapore.
Rentetan bencana alam dan ketidakmampuan pemerintah Indonesia dalam pencegahan dini dan penanggulangan pasca bencana, sudah selayaknua jika Indonesia bertekad untuk tidak membuat atau mengulang kesalahan serupa di masa depan.
Untuk itu, belajar dan menyerap ilmu-teknologi dari negara-negara lain, tentunya merupakan opsi yang cukup strategis untuk diterapkan Indonesia. Nah, dalam soal ini, lagi-lagi Rusia dikenal memiliki reputasi sebagai negara yang cukup efektif dalam membangun sistem penanggulangan bencana. Dalam membantu Indonesia dalam menanggulangi situasi pasca bencana, Rusia sudah membuktikannya secara nyata.
Berkat bantuan pesawat Amphibi Be-200 (Multipurpose Amphibious Jet) dalam kebakaran hutan di Kalimantan tahun lalu, ternyata Rusia tidak saja berhasil membantu penanggulangan pascabencana kebakaran hutan, bahkan ratusan ribu warga Indonesia berhasil diselamatkan hidupnya.
Sumber departemen luar negeri mengatakan kepada penulis, bahwa fakta ini menurut rencana akan menjadi pertimbangan penting untuk tawaran bantuan Rusia di bidang teknologi kepada Indonesia. Salah satu pertimbangannya adalah, bahwa dengan belajar dari pengalaman Rusia membantu Indonesia dalam kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera Utara tahun lalu, pihak Kementerian Negara Riset dan Teknologi berpandangan bahwa jika Indonesia memiliki Multipurpose Amphibious Jet ala Be-200, maka jumlah korban akibat kebakaran hutan maupun bencana alam lainnya yang memerlukan evakuasi korban secepatnya, bisa dikurangi seminimal mungkin. Sekaligus menghindari kecaman keras dari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapore.
Singkat cerita, dalam situasi saat ini yang mana Indonesia terkesan semakin mendekat ke dalam pengaruh orbit Amerika Serikat, berbagai peluang kerjasama militer dan teknologi seperti tersebut di atas, kiranya perlu disambut dengan gembira. Sehingga kunjungan Putin ke Jakarta, bisa dibaca secara strategis sebagai kekuatan penyeimbang yang cukup signifikan tidak saja bagi Indonesia, tapi juga bagi kawasan Asia Tenggara yang belakangan ini menjadi target militer Amerika untuk dijadikan sekutu militer melalui suatu pakta pertahanan(untuk soal ini, bisa dibaca artikel penulis mengenai ADF di situs ini juga).
Beberapa pejabat senior kedua negara, menurut sumber penulis di Departemen Luar Negeri, kabarnya akan membahas kerjasama di bidang penanggulangan bencana. Bahkan bisa jadi, akan segera diadakan penandatanganan perjanjian kerjasama di antara kedua negara.
Bahkan informasi lain yang tak kalah penting, juga akan dibahas mengenai forum bantuan Rusia dalam penanggulangan bencana alam, sehingga ketika Indonesia memerlukan bantuan Rusia, sudah akan tersedia suatu mekanisme yang memudahkan terjalinnya kerjasama dan bantuan dari Rusia. Begitu pula sebaliknya, jika negara-negara lain memerlukan bantuan Indonesia di bidang penanggulangan bencana. Sebab siapa tahu dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia sudah mampu menguasai ilmu Pengetahuan dan teknologi dalam penanggulangan bencana.
Kerjasama Bidang Energi
Aspek strategis lain yang kiranya akan menjadi pembahasan penting dalam kunjungan Putin ke Jakarta adalah di bidang energi. Kita tahu, Indonesia adalah negara eskportir gas, dan hingga kini masih tercatat sebagai salah satu eksportir gas terbesar di Asia Pasifik. Maka dari itu, penting sekali bagi Rusia untuk menjalin koordinasi dengan Indoensia di bidang ini.
Dalam pada itu, kerjasama Indonesia-Rusia di bidang energi ini, pada perkembangannnya bisa menjadi “pintu masuk” untuk kerjasama strategis Indonesia-Rusia membendung pengaruh Amerika dan Eropa Barat di Asia Pasifik, atau setidaknya di kawasan Asia Tenggara.
Sebab di kawasan Asia Tengah, Amerika dan Rusia sebenarnya sudah sejak akhir 1990-an bertarung dan berkompetisi dalam perebutan sumberdaya minyak di kawasan tersebut. Simak saja studi yang dilakukan oleh mantan penasehat Presiden Jimmy Carter Zbigniew Brzezinski atas sponsor dari Council of Foreign Relations (CFR) pada 1997.
Studi Brzezinski secara eksplisit menyebut Rusia dan Cina sebagai ancaman kepentingan Amerika di kawasan perbatasan Asia Tengah. Sehingga studi CFR merekomendasikan para perancang kebijakan dan strategi di Washington untuk mengelola dan memanipulasi beberapa negara kecil yang berada di kawasan tersebut seperti Ukraina, Azerbaijan, Kazakhstan, dan Iran, sebagai kekuatan tandingan yang pro Amerika untuk membendung pengaruh dan gerakan Rusisa dan Cina dalam menguasai sumber-sumberdaya minyak, gas dan mineral di kawasan Asia Tengah.
Dengan fakta-fakta seperti ini, situasi serupa bisa saja terjadi di kawasan Asia Tenggara. Dalam arti bahwa Amerika pun memandang manuver Cina dan Rusia di kawasan Asia Tenggara sebagai ancaman dan penghalang dalam upaya Amerika mengontrol akses sumberdaya minya, gas dan mineral di Asia Tenggara, khususnya ASEAN.
Inilah sisi strategis kerjasama Indonesia-Rusia di bidang energi. Kerjasama dan koordinasi antara Rusia dan Indonesia yang tidak saja sebatas dalam bidang gas, tapi juga dalam bidang minyak dan mineral, pada perkembangannya akan menjadi bibit-bibit kemitraan dan persahabatan antara kedua negara di semua bidang.
Politik
Dari semua kemungkinan kerjasama tersebut di atas, kerjasama di bidang politik lah sumbu dan sumber dari segalanya. Betapa tidak. Disamping hubungan kedua negara sangat dekat, kepentingan Indonesia dan Rusia di forum internasional pun boleh dikatakan sejalan. Opini kedua negara mengenai masalah internasional yang utama yaitu dalam penanggulangan terorirsme, separatisme, dan ekstrimisme, juga sejalan dan sehaluan.
Normalisasi situasi di Korea Utara, Afghanistan, Irak, Israel-Palestina, sikap kedua negara juga sama. Berarti, melalui momentum kunjungan Putin ke Jakarta, Indoneia dan Rusia tidak bisa lain harus semakin meningkatkan kerjasama bilateralnya di bidang politik secara lebih baik dan produktif. Bahkan kerjasama politik Indonesia-Rusia secara multilateral pun juga harus semakin ditingkatkan. Seperti di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) yang mana kerjama antara Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan dan Rusia sebagai anggota tetap, harus semakin solid dan kompak, karena keduanya merupakan kekuatan penting. Sehingga dalam masalah reformasi PBB, misalnya, Amerika dan negara-negara Eropa Barat tidak bisa begitu saja menganggap enteng Indonesia dan Rusia, yang tentunya juga cenderung sejalan dengan Republik Rakyat Cina.
Jelasnya, kunjungan Putin sebagaimana juga halnya dengan kunjungan SBY ke Moskow Desember tahun lalu, akan memperlihatkan potensi kerjasma strategis kedua negara. Terbukti bahwa dalam kunjungan SBY ke Moskow tahun lalu, telah berhasil ditandatangani 10 perjanjian dalam berbagai macam bidang, mulai dari kerjasama keamanan sampai ke bidang ekonomi dan pariwisata.
Karena itu, beberapa kalangan di departemen luar negeri maupun departemen pertahanan, telah mengisyaratkan kepada penulis bahwa dalam kunjungan Putin ke Jakarta September mendatang, diharapkan hasilnya akan jauh lebih besar atau minimal sama besarnya dengan kunjunan SBY ke Moskow.
Kembali ke hubungan Rusia-Indonesia sebelum 1965, banyak kalangan pengamat yang menilai hubugan kedua negara bukan sebagai mitra, namun hanya sekadar sahabat. Pada zaman Orde Baru di era Suharto, hubungan kedua negara bukan sahabat tapi sekadar mitra. Banyak kalangan yang berharap, baik dari lingkar dalam pemerintahan SBY maupun kalangan swasta, hubungan Indonesia-Rusia kini dan mendatang akan menjadi mitra sekaligus sahabat. Sehingga sesuai peribahasa orang-orang tua kita dahulu, “Jauh di mata tapi dekat di hati.”