Manuver Militer Amerika Serikat di Semenanjung Korea Harus Ditangkal Sedini Mungkin Oleh Kementerian Luar Negeri dan “Pemangku Kepentingan” Politik-Keamanan RI

Bagikan artikel ini

Salah satu cuplikan dari pidato Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)  dalam  Pertemuan  para ahli bertema: Diplomasi Poros Maritim, Keamanan Maritim dalam Perspektif Luar Negeri. Kementerian Luar Negeri, pada 10 November 2016, di Hotel Salak Heritage, Bogor.

Merapatnya Duterte ke Cina itu justru atas arahan skema Demokrat, dan dengan asumsi Hillary yang akan menang. Skema Demokrat adalah, bangun persenyawaan hegemoni AS-Cina, daripada keduanya tidak dapat apa-apa di Asia Tenggara.

Tapi tiba-tiba Donald Trum yang menang, sehingga berpotensi merusak skenario persekutuan AS-Cina atas dasar skema Partai Demokrat AS tersebut.

Rencana awalnya, Duterte akan dimainkan dengan seakan-akan memutuskan berpaling dari AS dan merapat ke Cina. Padahal dalam skenario Obama dan Hillary Clinton, Duterte merapat ke Cina sejatinya sebagai kurir Washington untuk seakan-akan merapat ke Cina. padahal dia kurir untuk pembukaan babak baru kerjasama AS-Cina, berdasarkan skema Partai Demokrat yang selama ini menerapkan pakem model Serangan Asimetris atau dalam jargonnya Hillary Clinton, Smart Power, dalam upayanya melakukan penaklukkan geopolitik terhadap negara-negara sasaran di negara-negara berkembang.

Namun gagasan persekutuan hegemoni AS-Cina atas dasar skema Demokrat itu akan berhasil dengan asumsi bahwa Hillary lah yang kali ini menang, untuk melanjutkan skema yang sudah disusun Presiden Obama yang juga sama-sama Demokrat. Bukannya Donald Trump, yang selain berasal dari Partai Republik, besar kemungkinan politik luar negerinya juga masih dipengaruhi cetak biru yang disusun tim-nya mantan Presiden George W Bush.

Sekarang kenyataannya, Donald Trump lah yang menang, sehingga besar kemungkinan skema Demokrat dengan menggunakan Duterte untuk merapat ke Cina, akan dibatalkan.

Trump, meski belum pasti, besar kemungkinan politik luar negerinya dilandaskan pada skema Project New American Centuries (PNAC) yang dirumuskan para konseptor NEO-Con di belakang kemenangan George W Bush (2000-2008).

Maka, kalaupun Trump tidak akan terang-terangan merujuk pada PNAC, sepertinya sudah bisa kita bayangkan betapa memanasnya situasi di Laut Cina Selatan.

Karena salah satu spirit di balik PNAC adalah menegaskan Cina dan Rusia sebagai musuh potensial Amerika.

Maka itu, saya ingatkan di forum Para Ahli Kementerian Luar Negeri itu, agar mewaspadai dan mencermati rencana AS untuk mengembangkan Rudal Balistik Antar-Benua di Korea Selatan, dengan dalih untuk mengimbangi ICBM Korea Utara yang diluncurkan beberapa waktu lalu.

Jika ini dilakukan AS, maka sudah pasti Cina akan terpancing untuk meningkatkan eskalasi dan agresifitas kemiliterannya, termasuk di matra laut, untuk menghadapi kehadiran militer AS di Semenanjung Korea.

Karena dengan adanya rencana pengembangan ICBM di Korea Selatan, harus dibaca sebagagai kedok untuk meningkatkan kehadiran militernya di Semenanjung Korea.

Itulah sebabnya melalui forum tersebut, saya merasa perlu mengingatkan kemungkinan terjadinya pergeseran prioritas dan agenda pemerintahan AS menyusulnya kemenangan Trump. Dan salah satunya, rencana pengembangan ICBM di Korea Selatan yang di era Obama sepertinya ditarik ulur dan ditundan-tunda mengingat pakem Demokrat yang lebih suka Serangan Asimetris, di era Trump bisa-bisa malah akan dijadikan sebagai salah satu proyek prioritas Pentagon.

Maka, Kemenbterian Luar Negeri maupun DPR_RI Komisi I harus mengambil langkah-langkah preventif agar niatan AS yang berpotensi memanaskan keadaan di Semenanjung Korea yang bisa menjalar ke Laut Cina Selatan, bisa ditangkal sedini mungkin. Sebab ketika manuver militer AS di Korea Selatan tersebut dilancarkan, pada perkembangannya akan memicu reaksi militer RRC. Sehingga berpotensi mengancam Konsep Poros Maritim Dunia Presiden Jokowi.

Sebagaimana kita ketahui, konsepsi Poros Maritim Dunia yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi East Asia Summit  atau KTT Asia Timur di Nay Pyi Taw, Myanmar, pada November 2014 lalu, atau yang didalam bahasa Inggris disebut Global Maritime Fulcrum, pada dasarnya konsep maritim itu adalah perubahan dari fokus orientasi pembangunan dari darat ke laut.

Namun, Konsepsi Poros Maritim Dunia Presiden Jokowi hanya bisa berjalan lancar sesuai skema dan strategi dasarnya itu sendiri, selain  didukung oleh terciptanya iklim yang kondusif serta stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik pada umumnya. Maka dari itu, rencana  AS untuk mengembangkan ICBM  di Korea Selatan, harus ditentang dan ditolak sedini mungkin.

Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com