Melalui Operasi Kebebasan Navigasi di LCS, AS Pertajam Konflik dengan Cina

Bagikan artikel ini

Kapal perang Angkatan Laut AS melakukan operasi navigasi di dekat fitur yang diklaim oleh Cina di Kepulauan Spratly yang disengketakan di Laut Cina Selatan (LCS). Tepatnya pada 25 Januari lalu, operasi ini menandai operasi navigasi Angkatan Laut AS (FONOP) pertama yang diketahui di LCS pada tahun 2020.

Operasi itu dilakukan oleh USS Montgomery, sebuah kapal tempur yang direka untuk operasi di persisiran pantai (littoral combat ship – LCS). “Pada 25 Januari, kapal perang AS menegaskan hak navigasi dan kebebasan di Kepulauan Spratly, yang sesuai dengan hukum internasional,” kata juru bicara Armada ke-7 AS dalam sebuah pernyataan.

FONOP AS di Laut Cina Selatan secara terang-terangan menentang pembatasan oleh Cina pada jalur hak lintas damai, yaitu hak kapal dari semua negara untuk dapat melintasi laut teritorial sebuah negara sebatas kapal tersebut tidak mengganggu atau melakukan kejahatan teritorial negara tersebut.

Operasi Montgomery menentang pembatasan di dekat Fiery Cross Reef, sebuah fitur di Kepulauan Spratly yang diubah oleh Cina menjadi pulau buatan yang luas dan memiliki landasan terbang. Belum lama ini, otoritas militer Cina menyatakan telah berhasil “mengusir kapal perang AS” dari perairan di Laut Cina Selatan, demikian surat kabar Global Times yang dikelola pemerintah melaporkan.

Menurut juru bicara Armada ke-7 AS, operasi itu juga berusaha untuk memberi tantangan atas klaim maritim di sekitar Fiery Cross Reef oleh Vietnam dan Taiwan – dua negara yang juga sama-sama mengklaim wilayah tersebut. Hanoi dan Taipei memerlukan pemberitahuan terlebih dahulu sebelum transit di jalur hak lintas damai tersebut.

“Dengan keterlibatan dalam hak lintas damai tanpa pemberitahuan atau meminta izin terlebih dahulu, AS menentang pembatasan yang melanggar hukum yang diberlakukan oleh China, Vietnam, dan Taiwan,” kata juru bicara itu. “Amerika Serikat menunjukkan bahwa hak lintas damai mungkin tidak perlu tunduk pada pembatasan seperti itu.”

Atas beoperasinya navigasi Angkatan Laut AS itu, Departemen Pertahanan AS merilis lima foto dari apa yang disebutnya “operasi rutin” oleh USS Montgomery di dekat Fiery Cross Reef kepada publik. Sebelumnya, Pentagon secara eksplisit belum mempublikasikan operasi ini; Angkatan Laut AS menerbitkan laporan tahunan tentang kebebasan operasi navigasi yang mencakup jenis operasi dan negara yang ditargetkan.

Montgomery melaksanakan tugas dalam Komando Indo-Pasifik AS (USINDOPACOM), dengan melakukan operasi, latihan militer, dan kunjungan pelabuhan ke seluruh wilayah dan bekerjasama dengan sekutu dan angkatan laut negara mitra untuk memberikan keamanan dan stabilitas maritim.

Kebebasan operasi navigasi menargetkan klaim maritim yang berlebihan oleh semua negara, termasuk diantaranya adalah negara mitra atau sekutu AS. Pemerintahan Trump telah meningkatkan tempo kebebasan operasi navigasi di Laut Cina Selatan dekat wilayah yang diduduki Cina. Secara khusus, beberapa operasi telah terjadi di dekat tujuh pangkalan pulau buatan Cina di Spratlys.

Bahkan Pada tanggal 7 Januari 2019, USS McCampbell juga melakukan operasi navigasi di dekat tiga fitur di rantai Kepulauan Paracel. Ini adalah operasi kesembilan yang dilakukan oleh pemerintahan Trump, yang telah melakukan kunjungan ke Laut Cina Selatan lebih teratur, meskipun menghadapi tantangan Cina yang berisiko.

Operasi ini menyusul pernyataan Wakil Presiden Mike Pence pada bulan November lalu, bahwa “Amerika Serikat (AS) mengambil tindakan tegas untuk melindungi kepentingan kami dan mempromosikan kesuksesan bersama Indo-Pasifik.”

Situasi di Laut Cina Selatan kadang-kadang digambarkan sebagai jalan buntu, tetapi kenyataannya adalah bahwa para tetangga Cina dan pihak luar—termasuk Amerika Serikat—mulai kehilangan taringnya. Kebebasan navigasi terbukti tidak cukup untuk mencegah Beijing dalam menggunakan tekanan zona abu-abu untuk memperluas pengaruhnya di atas laut tersebut dan wilayah udara di sembilan garis putus, dan memblokir negara-negara sekitarnya untuk mengakses sumber daya (termasuk minyak, gas, dan ikan) di perairan mereka sendiri.

Atas apa yang terjadi di LCS tersebut menyusul kembali beroperasinya kebebasan navigasi Angkatatan Laut AS di wilayah tersebut, Beijing bahkan menganggap AS tak lebih hanya sebuah negara penggertak. Hal ini dibuktikan, hingga saat ini, Cina masih kuat dalam menancapkan pengaruhnya di LCS.

Apalagi, Cina sekarang sudah memiliki tiga pangkalan udara dan angkatan laut yang besar di Spratly dan satu lagi di Paracel, belum lagi dengan banyak pos militer yang lebih kecil. Fasilitas-fasilitas ini mendukung kehadiran armada udara, laut, penjaga pantai, dan kehadiran paramiliter Cina sepanjang waktu di sepanjang Laut Cina Selatan. Maka tidaklah mengherankan kalau belum lama ini, pemerintah Cina juga membuat ketegangan dengan pemerintah RI menyusul beroperasinya kapal penjaga pantainya melindungi kapal nelayan Cina melaut di perairan Natuna. Langkah ini didasari klaim pemerintah Cina melalui klaim Sembilan Garis Putus yang sebagian besar didasarkan atas sejarah, meski kebenaran sejarah itu diragukan.

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com