Membaca Agenda Tersembunyi AS-Australia di Port Darwin

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (TGR)

Amerika membangun pangkalan militer di Port Darwin, Australia. Dengan kekuatan militer sekitar 2500 orang. Pertanyaannya adalah, apa benar memang membangun pangkalan militer memang tujuan sesungguhnya Amerika dan Australia? Jangan jangan efek sosial yang timbul menyusul adanya pangkalan militer AS di Darwin itulah yang justru jadi agenda AS dan Australia yang sesungguhnya.

Bayangkan. Jika benar AS dan Australia bersepakat menhadirkan personil militer besar-besaran ataupun dalam jumlah terbatas, maka akan tercipta sebuah lingkungan sosial baru di daerah Port Darwin, yang saat ini praktis masih merupakan daerah yang relatif terpencil dan sedikit jumlah penduduknya. Sehingga dirasa perlu untuk menambah jumlah penduduk, untuk dapat membentuk sebuah unit masyarakat baru yang berjalan secara efisien dan terorganisasi.

Darimana manpower tersebut akan diambil?

Besar kemungkinan adalah dari Indonesia. Yang berbahaya bagi Indonesia dari segi keamanan nasional jika skenario ini benar benar ada di benak para perancang kebijakan pertahanan dan keamanan nasional AS dan Australia, maka daerah Port Darwin akan mempunyai daya hisap yang sangat besar terhadap penduduk Indonesia. Utamanya dari sektor tenaga kerjanya.

Menurut saya ini merupakan aksi subversif sosial-ekonomi yang dilakukan Washington dan Canberra, untuk menjadikan daerah Northern Territory Australiaitu sebagai tempat pemusatan dan pelaksanaan pembanguna besar-besaran. Sementara Indonesia akan kehilangan tenaga-tenaga kerja produktifnya dalam jangka pendek dan menengah.

Saat yang sama, fakta bahwa di daerah Northern Territory Australia, bermukim sekitar 30 persen warga asli Aborigin, bisa bisa akan memicu konflik horizontal dengan warga negara Indonesia yang jadi tenaga kerja pendatang. Sehingga masuk dalam skenario politik adu domba AS dan Australia. Sehingga sama-sama dilemahkan sebagai potensi kekuatan baru di masa depan. Termasuk potensi menuju persekutuan baru Indonesia dengan ras Melanesia.

Ini bisa memicu situasi yang tidak menguntungkan bagi Indonesia. Betapa tidak. Saat ini Suku Aborigin sedang aktif aktifnya melancarkan gerakan menuntut hak-hak sebagai penduduk asli Benua Australia. Sehingga Indonesia bisa jadi korban/tumbal dari penegakan Hak-Hak Asasi Manusia yang jadi agenda utama suku Aborigin. Padahal dalam kenyataannya, justru Australia lah yang jadi pelanggar HAM sesungguhnya sehingga suku Aborigin justru dipinggirkan selama berabad-abad.

Lepas dari pada itu, satu fakta menarik kiranya perlu jadi catatan kita bersama. Daerah Port Darwin di Northern Territory Australia ini, ternyata merupakan dareah yang sangat kaya akan logam, emas, platina, zink, uranium, dan juga Minyak-Gas Bumi.

Karena itu, saya sependapat dengan kecurigaan Mayjen (purn) Hario Kecik, bahwa ada kemungkinan besar, bahwa kaum kapitalis Besar dari kedua negara, punya renana yang masih dirahasiakan untuk sementara ini, di balik rencana pembangunan pangkalan dan kesatuan militer di Port Darwin.

Kalau kita kilas balik terhadap keberadaan Freeport McMoran yang kemudian menjelma menjadi Freeport Indonesia, bukan tidak mungkin pada perkembangannya nanti, unit-unit militer AS dan Australia yang ditempatkan di Port Darwin, akan ber-metamorporse menjadi unit Private Military Corporations seperti yang terjadi di Afghanistan, Pakistan, dan beberapa negara-negara berkembang lainnya, yang mempunyai cadangan minyak bumi dan bahan-bahan baku lainnya yang berharga sepeti logam mulia. Seperti yang ada di benua Afrika.

Dan usut punya usut, Private Military Corporations tersebut berada dalam kendali sebuah korporasi besar AS Bechtel Corporations, yang sejak awal kejatuhan Presiden Sukarno dan naiknya rejim Suharto, telah mengatur kembali diadakannya negosiasi ulang antara Indonesia dan AS terkait Freeport yang di era Bung Karno telah diputuskan untuk dinasionalisasikan. Salah satu pemain utama dari pihak Bechtel Corporations yang ditugasi menjalin kontak dengan rejim Suharto pada waktu itu, adalah Augustus C Long, orang dekat dari dinasti Rockefeller.

Maka itu, semua elemen bangsa dari berbagai sektor, sudah seharusnya meningkatkan kewaspadaan keamanan nasionalnya.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com