Membaca Agenda Tersembunyi di Balik Tax Amnesty

Bagikan artikel ini

Sebagaimana tulisan terdahulu {silahkan baca: (1) Mengenal Perang Asimetris: Sifat, Bentuk, Pola dan Sumbernya; (2) Membaca Isu Rokok Mahal dan Tax Amnesty dari Perspektif Perang Asimetris; dan (3) Isu Rokok Dan Tax Amnesty: Tarian Gendang Yang Ditabuh Oleh Asing, M Arief Pranoto, di Website theglobal-review, Global Future Institute/GFI, Jakarta}, bahwa bentuk serangan asimetris asing (asymmetric warfare) yang sukar dikenali dan sulit dibaca oleh pubik manakala ia telah melalui “Kebijakan Negara dan/atau Pemerintah.” Kenapa? Selain kata “kebijakan” itu sendiri bersumber dari logika dan rasa —dalam arti logika yang benar dan (rasa) yang adil— dimana ujung kebijakan adalah ketentraman dan kenyamanan warga, juga — mana mungkin sebuah kebijakan negara/pemerintah kok malah menjerumuskan warga negaranya? Namun inilah yang terjadi. Ketika sebuah kebijakan justru menimbulkan keresahan di kalangan warga, maka mutlak harus dicermati bersama, karena niscaya ada sesuatu yang keliru atas proses maupun tujuan kebijakan tersebut.

Tulisan sederhana ini, tidak akan menguak adanya “power dahsyat” yang mendorong terbitnya Undang-Undang (UU) Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) kecuali sekilas untuk menyambungkan bahasan saja, karena faktanya bahwa antara tahap wacana (isu), pembahasan (tema) dan penerbitan (skema) UU ini terbilang sangat cepat lagi singkat. Coba bandingkan dengan UU lain yang temponya bertahun-tahun, belum juga masuk prolegnas. Namun tidak akan sejauh itu kajian ini.

Tulisan ini hanya mencoba menguak hidden agenda (agenda tersembunyi) di balik pemberlakuan Tax Amnesty dari perspektif geopolitik, khususnya (pisau) varian asymmetric warfare sebagai pola paling favorit di abad ke 21 yang kerap digunakan para adidaya dalam rangka menebar serta melebarkan hegemoninya di negara-negara yang menjadi target (kolonialisme)-nya.

Secara tersirat, target pokok atau Plan A dari UU ini adalah para koruptor dan pengemplang pajak yang menyimpan uangnya di negara suaka pajak (tax heaven) semacam Singapore, Swiss, dan lain-lain. Inilah mimpi di siang bolong, kata Sri Mulayani Indrawati, jika mengharap repratiasi dana dari luar negeri.

Tatkala Plan A dinilai gagal karena hanya mampu menjaring sekitar satu triliun rupiah dari target sebelumnya yang mencapai ribuan triliun rupiah. Target pun diturunkan menjadi Rp 165 triliun. Dan tampaknya masih sulit dicapai, lalu (target) diturunkan lagi menjadi Rp 30 trilun.

Persoalan pokok memang: “Pemerintah tidak punya uang.” Ora duwe duit. Apakah berarti, pemerintah salah menghitung biaya pembangunan berbagai infrastruktur dengan kekuatan anggaran? Entahlah. Penulis tak mau terjebak saling menyalahkan perancang APBN. Berdasarkan info berkembang, target APBN dari pajak sekitar Rp 1.363 triliun, namun baru tercapai Rp 500 triliun.

Singkat cerita, gagal pada Plan A, Plan B pun dijalankan yaitu selain (Plan B-I): “Tax Amnesty ditujukan kepada setiap warga negara,” juga (Plan B-II): “Pemotongan-pemotongan anggaran di berbagai Kementerian dan Lembaga Negara, termasuk pemangkasan anggaran pada pemerintah-pemerintah daerah.” Nah, Plan B inilah yang hendak dikaji agak dalam melalui perspektif geopolitik (cq asymmetric warfare).

Dari perspektif geopolitik global, sekali lagi, Indonesia merupakan tujuan kolonialisme disebabkan “takdir geopolitik” menggiurkan (berupa potensi ekonomi, geoposisi silang, sumberdaya alam, demografi, dan lain-lain). Karena faktor takdir geopolitik tersebut, maka republik ini ditempatkan pada posisi (1) sebagai PEMASOK BAHAN MENTAH bagi negara-negara industri maju; (2) sebagai PASAR bagi barang-barang jadi yang dihasilkan oleh negara-negara industri maju; dan (3) sebagai pasar guna MEMUTAR ULANG KELEBIHAN KAPITAL yang diakumulasi oleh negara-negara industri maju tersebut (Soekarno, 1955).

Pertanyaannya sederhana, jika seorang petani di gunung —katakan namanya Mukidi— punya tanah warisan relatif luas, ketika ia ikut Tax Amnesty dan harus membayar sekian ratus juta rupiah, darimana Mukidi mampu membayar pajak pengampunan? Mungkin jawabannya: “Dijual.” Dijual kepada siapa? Siapa segelintir orang yang memiliki dana tak terbatas —para pengembang— di tengah warga negara lain yang lagi bingung mencari dana untuk membayar pajak amnesty? Inilah prakiraan skenario bila Plan B-I dijalankan pemerintah. Berapa banyak jumlah “Mukidi” di Indonesia? Ia, mereka, kamu, atau kalian adalah —Mukidi— mayoritas rakyat di Bumi Pertiwi.

Dari sampel prakiraan “Kasus Mukidi” di atas, jika ditelusuri melalui modus asymmetric warfare, telah bisa dibaca siapa sesungguhnya “power dahsyat” dari luar (asing) di balik terbitnya UU Pengampunan Pajak ini?

Sekarang menginjak Plan B-II yang berupa: “Pemangkasan anggaran baik di pusat maupun daerah.” Secara kronologis, sekarang sudah bulan September 2016. Sudah barang tentu, proyek-proyek pembangunan yang bersumber dari APBN dan APBD di kewilayahan tengah berjalan. Dan menjadi rahasia umum pula, bahwa fee telah disebar oleh pemenang tender ke pejabat pusat dan daerah. Pertanyaannya adalah, “Siapa yang akan membayar sisa (per tahap/termin) bila ada pemangkasan anggaran nantinya?” Proyek bisa terbengkalai, tak terbayar. Bolehkah pemerintah daerah utang ke luar negeri? Ini sekedar retorika.

Dari perspektif peperangan asimetris, operasional Plan B-II ini justru akan memicu daerah-daerah yang merasa kecewa ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sekali lagi, inilah yang diharapkan oleh asing. Pertanyaannya, “Bukankah skema Clinton Program-nya Paman Sam yang hendak memecah NKRI menjadi negara bagian masih terus berjalan senyap di negeri ini?” Retorika lagi, “Siapa power dahsyat di balik terbitnya UU ini?”

Itulah asumsi: “PERSENYAWAAN HEGEMONI.” Implikasinya bahwa kegaduhan serta hiruk-pikuk politik di Bumi Pertiwi kini bukanlah soal perebutan hegemoni antara Barat (Amerika Serikat dan sekutu) melawan Timur (Cina) dimana negeri ini hanya dijadikan proxy (medan tempur)-nya, tetapi dinamika politik justru mengarah kepada “persenyawaan hegemoni” antara keduanya. Barat ingin ini, Timur mau yang itu. Cincai-cincai berlangsung secara senyap di top level management. Mungkin itulah inti skema kolonialisme terbaru di republik tercinta ini.

Pertimbangannya, daripada sama-sama hancur di Laut Cina Selatan manakala digelar skenario “rebutan hegemoni” ala militer. Kalah menang bisa menjadi arang. Bukankah lebih nyaman kavling-kavling (geo) ekonomi di Indonesia?

Antara komunis (Cina) dan kapitalis (Amerika) itu serupa tapi tak sama. Berubah-ubah modus tetaplah sama. Serupa pada daya eksploitasi di wilayah koloni yakni mencari bahan baku semurah-murahnya lalu menciptakan pasar seluas-luasnya, sedang perbedaan hanya pada management puncak. Artinya, bila komunis dikuasai segelintir elit negara, sedangkan kapitalis dikendalikan oleh sekelompok elit partikelir atau swasta. Dari pisau analisa asymmetric warfare, bahwa Tax Amnestymerupakan test case pertama serta implementasi teori dan/atau asumsi “Persenyawaan Hegemoni.” Tak bisa tidak.

Seandainya Plan A dan B tidak terlaksana, kemungkinan dijalanlan Plan C dalam Tax Amnesty ini, yaitu: “Utang luar negeri.” Entah utang kepada Cina ataupun International Moneter Fund (IMF), Bank Dunia, dan lain-lain, kelak muaranya akan sama, karena menurut John Adams (1735-1825): “Ada dua cara menakhlukkan dan memperbudak sebuah bangsa. Pertama dengan pedang (militer), kedua melalui utang.” Plan C inikah yang kelak berjalan?

Membiayai pembangunan Tol Laut —Poros Maritim Dunia— dan berbagai infrastruktur (pada catatan GFI, Jakarta, meliputi 24 pelabuhan laut, 14 bandara dan 8000 km rel kereta, dan lain-lain) bukanlah bim salabim atau seperti membalik telapak tangan. Lagi-lagi, pemerintah harus berutang. Entah skema utang kelak adalah Public Private Partnership(PPP) —ini utang masa depan— atau Turnkey Project Management (TPM). Nanti akan terlihat.

Apabila pemerintah kembali utang ke IMF, maka sudah bisa ditebak bahwa jerat Structural Adjusment Programmes (SAPs)-nya IMF akan kembali melilit “leher” Indonesia berupa: (1) perluas kran impor dan adanya aliran uang yang bebas; (2) devaluasi; dan (3) kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk: pembebasan tarif kredit, peningkatan suku bunga kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan harga kebutuhan publik. Termasuk di dalamnya adalah privatisasi BUMN, oleh karena privatisasi merupakan watak ideologi neoliberalisme (neolib) yang menopang IMF. Entah BUMN mana lagi akan diprivatisasi nantinya?

Kalau pemerintah berutang ke Cina, maka boleh diduga bahwa XI Jinping cenderung memilih TPM. Kenapa? Karena melalui skema TPM ini, Xi Jinping, Presiden Cina bakal terus memasukkan “tentara merah”-nya berkedok kuli/pekerja kasar pada proyek-proyek infrastruktur di Indonesia. Pertanyaannya, “Pilih mana — Plan A, B atau C?”

Mukidi berkerut, lalu bangkit dari tidurnya. Ia berorasi: “Tidak semuanya! Tolong tunda berbagai proyek infrastruktur dan tunda pula Tax Amnesty”. Selesai berorasi, Mukidi kembali tidur. Ia mendesis, daripada stress memikirkan harga rokok yang katanya akan membumbung tinggi!

Penulis: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com