Membaca Bung Karno Lewat Prinsip Dasa Sila Bandung

Bagikan artikel ini

Amerika Serikat (AS) mengklaim dirinya sebagai kampium demokrasi dan senantiasa gembar-gembor bicara demokrasi di seluruh dunia. Namun ketika proses demokrasi melalui pemilu itu dimenangkan kelompok yang tidak sejalan dengan kemauan dan kepentingannya, AS pun tidak mau menerimanya. Bahkan tidak segan-segan untuk menghancurkannya. AS hanya mau mengakui dan bahkan membantu negara-negara yang menerapkan demokrasi jika proses demokrasi dan hasil pemilunya sesuai dengan ‘visi’ nya. Sikap dan tindakan politik AS merupakan bentuk nyata dari standar ganda yang selama ini dipraktikkan AS.

Masih tidak bisa dilupakan, ketika AS mengklaim dirinya berusaha keras membebaskan rakyat dari rezim Gaddafi. Hari demi hari Libya benar-benar hujan bom. Dari berita-berita yang dilansir media memberitakan ada pengebom siluman (stealth) B-2 Spirit Amerika yang ambil bagian dalam pengeboman Libya. Lalu di Laut Tengah yang berbatasan dengan Libya di utara ada sejumlah kapal perusak AS berpeluru kendali yang bersama dengan kapal perang Inggris HMS Triumph melontarkan 124 rudal jelajah Tomahawk. Tidak kalah aksinya adalah jet penyerang darat Tornado GR4 Inggris dan Mirage 2000 Perancis yang juga ikut menghantam sasaran-sasaran di Libya. Libya, menjadi seperti negeri yang tidak mempunyai kedaulatan. Dan ujung-ujungnya warga sipilah yang menjadi korban.

Ketidakadilan dunia yang dimotori AS dan sekutunya tidak hanya pada kasus Libya, tapi juga pada kasus Iraq. Dunia diam ketika AS dengan arogan dan tanpa alasan menghancurkan rezim Iraq Saddam Husein. Iraq dihancurkan AS dan sekutunya karena dituduh memiliki senjata pemusnah massal, padahal dalam kenyataan tidak memiliki sama sekali. Begitu juga, ketika Israel menghancurkan Palestina, AS dan negara-negara Barat pun diam seribu bahasa. Dunia tidak mengecam sama sekali tindakan agresi militer Israel terhadap negara berdaulat Palestina. Bahkan AS dan negara-negara Barat memberi dukungan politik dan keamanan (persenjataan -red) kepada Israel dalam skenario penghancuran Palestina. Di sinilah nampak sekali ketidakadilan dunia yang dimotori AS dan negara-negara Barat atas negara-negara Islam, tak kecuali Palestina.

Kondisi saat ini, menjadikan banyak orang berbicara dan menulis tentang perasaan-perasaannya yang tak berdaya untuk mencegah perang, tentang kuatnya Amerika dan negara-negara maju dengan begitu semau-maunya untuk menyerang. Betapa lemahnya menghadapi kekuatan adidaya. Dengan imajinasi kita yang dibatasi oleh ingatan akan keangkuhan-keangkuhan negara adidaya dan kemenangan-kemenangannya yang ambisius.

Dan bisa di bayangkan, beberapa tahun yang akan datang akan menjadi pertanda buruk bagi perdamaian dunia. Sekaligus pada tahun-tahun itu kaya akan pelajaran tentang hubungan kekuatan internasional. Sebuah pelajaran yang bercerita tentang Hegemoni dan ketidakamanan dunia.

Pelajaran pertama yang sudah tergambar adalah membuat kita was-was karena status adikuasa yang tak tertandingi itu merangsang konflik, bukan perdamaian. Kemudian tersebar luas bahwa Amerika Serikat akan menggunakan sendiri status adikuasanya untuk menyiapkan tatanan multilateral yang akan melembagakan hegemoninya untuk menjamin ‘perdamaian’ di seluruh dunia. Memang Eropa, Jepang dan Cina tampaknya siap untuk meredakan kondisi persaingan di bidang ekonomi sampai tingkat yang dapat dikontrol, tetapi tetap menerima dominasi Amerika di wilayah yang aman dalam jangka panjang.

Bung Karno Dan Visinya

Belajar dari pengalaman dalam melihat politik luar negeri yang diterapkan Amerika, seperti juga pada peristiwa agresi militer di Afghanistan dan Irak, maka tidak menutup kemungkinan bahwa untuk melanggengkan hegemoninya Amerika akan terus menunjukkan kekuatan militernya demi mengamankan kepentingannya di pelbagai belahan dunia. Tak terkecuali dengan Indonesia.

Kondisi inilah yang sebenarnya sudah jauh-jauh hari diingatkan oleh Bapak Pendiri Bangsa, Bung Karno.

Dengan visinya yang jauh kedepan, Bung Karno sering kali berteriak lantang terhadap bentuk kolonialisme dan imperialisme. Bung Karno melihat bahwa imperialisme dan kolonialisme, yang sudah sejak lama menjajah berbagai rakyat di dunia, haruslah dilawan secara bersama-sama, secara nasional maupun secara internasional pula. Oleh karena itu, baginya, solidaritas internasional perlulah dibangun bersama-sama perjuangan rakyat berbagai negeri. Ini pulalah sebabnya mengapa nama Bung Karno, waktu itu, menjadi menonjol sekali di gelanggang internasional.

Dengan alasan inil pulalah Bung Karno Menggagas Konferensi Asia Afrika (KAA) yang juga sering disebut Konferensi Bandung. KAA ini adalah salah satu dari sekian banyak kancah perjuangan besar Soekarno bagi bangsa Indonesia dan juga bangsa-bangsa lainnya. Satu hal pasti, Konferensi Bandung adalah penggerak penting dalam perubahan-perubahan besar di Asia Afrika, sesudah selesainya Perang Dunia II. Juga menjadi pendobrak utama sehingga di Afrika terjadi dinamika politik dan perubahan besar untuk mencapai kemerdekaan.

Kelahiran KAA ini dilatarbelakangi ketika Perang Dunia ke-II selesai, negara-negara kolonialis Barat (terutama Inggris, Belanda, Belgia, Spanyol, Perancis, Itali – dan Jerman) begitu mengalami kesulitan besar dalam mempertahankan daerah-daerah jajahannya, dimana sebagian negara jajahan tersebut sudah mereka duduki selama puluhan atau bahkan ratusan tahun. Sebagai informasi, dengan berbagai cara perjuangan, sebagian negar jajahan itu memperoleh kemerdekaan nasionalnya. Antara lain Filipina dalam tahun 1945, India dan Pakistan tahun 1947, Birma dan Srilangka tahun 1948, Indonesia tahun 1945 (tetapi pengukuhan secara internasional baru dalam tahun 1949). Negeri-negeri Indo-Cina terpecah-belah dalam tahun 1954, dan Malaya (waktu itu) mendapatkan otonomi secara luas.

Sejak berakhirnya Perang Dunia ke-II, AS menaruh perhatian yang amat besar kepada benua Asia, dan berusaha “membendung” perkembangan komunisme. Untuk itu, AS terlibat secara besar-besaran dalam Perang Korea (sampai 1953) dan Armada ke-7 dikerahkan untuk melindungi Taiwan dan “menjaga” negeri-negeri lain. Pangkalan militer telah dibangun di berbagai tempat. Pakta militer ANZUS (terdiri dari Australia, Selandia Baru, dan AS) untuk menjaga “keamanan” Pasifik telah didirikan (1 September 1951). Lambang kolonialisme Perancis di Vietnam telah ambruk, dengan jatuhnya benteng Dien Bien Phu (1954). Tanggal 17 Agustus 1954, Presiden Eisenhower menyatakan tegas-tegas bahwa AS melindungi pemerintahan Chiang Kai-sek, dan 3 September 1954 meriam-meriam RRT mulai menembaki pulau Quemoy.

Kemudian dalam perkembangan selanjutnya Konferensi Bandung memberikan sumbangan besar kepada berbagai rakyat Afrika, karena mereka kemudian mendapat dorongan untuk mempercepat dan mengembangkan perjuangan mereka untuk merebut kemerdekaan nasional. Dan dampak positif yang mengharumkan Bangsa Indonesia, dimana sampai sekarang, nama Bandung dan Soekarno tetap sangat terkenal di Afrika. Konferensi Bandung dimasukkan sebagai bagian penting dalam buku-buku pelajaran sejarah. Bahkan, para diplomat Indonesia yang bertugas di berbagai negara di Afrika, pastilah bisa menceritakan betapa nama Soekarno dan Bandung masih terus berkumandang.

Saatnya Indonesia Kembali Kepada Dasa Sila Bandung

Konferensi Bandung yang digagas oleh lima negara baru merdeka yakni Indonesia, Sri Lanka (Ceylon), Pakistan, Burma (Myanmar), dan India telah menampilkan orang-orang besar pada zamannya. Dengan kaca-mata inilah kita bisa mengerti bahwa Konferensi Bandung atau politiknya yang bebas-aktif, dan yang “non-blok”, bukanlah berarti “netral” terhadap imperialisme dan kolonialisme. Dalam buku “Di bawah Bendera Revolusi” kita bisa melihat bahwa hal inilah yang selalu dikatakannya berkali-kali sebagai kepala negara. Bahkan, sejak jauh ke belakang, ketika ia masih muda belia.

Gagasan KAA yang pada akhirnya menghasilkan kesepakatan bersama yaitu Dasa Sila Bandung, dimana tersirat sebuah semangat kebersamaan bangsa-bangsa Asia dan Afrika untuk lepas dari cengkeraman kolonialisme dan imperialisme klasik. Hasrat kuat untuk berada di luar lingkaran Blok Barat dan Blok Timur ketika itu.

Kini, pada saat negara-negara maju yang dipelopori oleh Amerika, Inggris, dan Perancis dengan menggunakan ‘jubah baru’ neo-kolonialisme dan neo-imperialisme dalam melakukan agresi militernya di beberapa negara dunia ketiga, sudah saatnya pemerintah Indonesia merujuk kembali kepada kesepakatan Dasa Sila Bandung tersebut. Indonesia yang pada saat itu menjadi pelopor dalam menentang penjajahan dalam bentuk apapun, harus mampu menyuarakannya kembali. Indonesia harus memimpin berada di barisan paling depan.

Terpasungnya situasi dunia dalam hegemoni AS membuat prinsip Dasasila Bandung relevan untuk ditegakkan kembali. Tentu saja nilai-nilai itu harus disesuaikan dengan problematika kekinian termasuk perlu adanya peremajaan.

Runtuhnya rezim sosialis Uni Soviet pada tahun 1990 telah mengubah konstelasi politik dunia. Walden Bello, seorang guru besar sosiologi dan administrasi negara pada Universitas Filipina, dalam “Bangkitnya Kembali Politik Perimbangan Kekuatan” mencatat bahwa apa yang diwariskan oleh Perang Dingin adalah periode yang lebih labil dan berbahaya dari Perang Dingin itu sendiri.

Pada perkembangan politik yang terjadi di wilayah Timur Tengah dan Afrika ini, dengan berpedoman pada Kesapakatan Dasa Sila Bandung bisa menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk berperan aktif dalam pergulatan politik dunia. Sudah saatnya Indonesia tidak lagi dilihat sebagai negara ‘tak berpengaruh’.

Dalam menyikapi pergulatan politik dunia saat ini, sepertinya perlu kita renungi apa yang disampaikan oleh Bung Karno :
“Syukur Alhamdullillah ! Demikan itulah memang Bangsa Indonesia ! Bewust! Bewust! Sadar! Ia tidak boleh masa-bodoh. Ia tidak seperti rumput. Ia selalu “gito-gito lir gabah den interi”. Kalbunya senantiasa bergelora. Fikirannya selalu bergerak. Jiwanya senantiasa “kranjingan”.

Kranjingan seperti ditiup Malaikat! Kranjingan dengan cita-cita. Kranjingan dengan idee. Kranjingan dengan tujuan perjoangan. Kranjingan dengan kemerdekaan. Kranjingan dengan idee masyarakat adil dan makmur. Kranjingan dengan hapusnya “exploitation de l’homme par l’homme”. Kranjingan dengan lenyapnya “exploitation de nation par nation”. Kranjingan dengan benci mati-matian kepada imperialisme dan kolonialisme. Kranjingan dengan hidup berjoang. Kranjingan, ya kranjingan, maka karena itulah ia selalu sibuk dalam aksi”. (Kutipan pidato Bung Karno dari Dibawah Bendera Revolusi – DBR, halaman 592).

Penulis: Ferdiansyah Ali (Peneliti Global Future Institute)

*Peringatan KAA Ke-60 di Bandung Tahun 2015

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com