Kalau menurut pendapat saya jangan mempercayai survei apapun. Strategi survei dalam “political PR” itu sudah kuno, “old school” sebenarnya. Puluhan tahun lalu adalah untuk melihat kekuatan lawan, penggunaan riset juga dipakai untuk introspeksi atau retrospeksi kegiatan yang dilakukan apakah sudah berada di jalur yang benar atau arah yang sesuai.
Kalau belum sesuai maka hasil survei tersebut akan digunakan untuk membuat strategi baru atau taktik pemenuhan kebutuhan yang akan mengantisipasi strategi yang sedang di jalankan.
Namun, lama kelamaan, banyak lembaga dan perusahaan survey DAPAT MEMBERIKAN DATA-DATA SESUAI “PESANAN” disesuaikan faktor bayaran dan keberpihakan.
Mengambil data secara random tapi tidak sesuai dengan perbandingan populasi yang ada, atau mengambil data di daerah yang random tapi di lokasi daerah yang di tengarai memiliki keberpihakan tertentu, juga dapat melakukan survei di suatu daerah yang sebelumnya di pra kondisikan.
Misalnya akan membuat survei di daerah-daerah untuk kebutuhan pangan sesuai atau tidak, dua minggu atau tiga minggu sebelumnya daerah atau lokasi tertuju, dibanjiri dengan limpahan pangan murah dan pemenuhan kebutuhan pangan yang berlebihan, sehingga SAAT PETUGAS SURVEI DATANG UNTUK MELAKUKAN SURVEI HASILNYA SESUAI DENGAN EKSPEKTASI pemberi kerja. Hasil survey PASTI KEBUTUHAN PANGAN SESUAI.
Karena lembaga survei dapat dibayar, maka pola hasil survei dipakai untuk strategi pemenangan paalon politik yang sedang bertarung.
“Survei dilakukan benar tapi hasilnya tidak kredibel” dapat dijadikan motor penggerak meningkatkan audiens termotivasi memilih calon pemenang pemilihan, karena sifat manusia adalah tak mau kalah ingin menang, hingga jaman itu beberapa tahun lalu, hasil survei akan sangat membantu meningkatkan suara pada paslon tertentu dalam pemilu atau pilkada. Hasilnya menang pasti.
Jaman NOW, kalau masih saja percaya hasil survei kita tak gunakan akal sehat. Sumber “independent surveyor” baru dapat kita kaji sebagai data sahih untuk tentukan langkah. Saya rasa audiens, netizen dan para pendukung paslon harus paham akan hal ini.
AKAL SEHAT HARUS DIPAKAI, JANGAN HANYA MAU MELIHAT HASIL MENYENANGKAN DAN CEPAT PUAS. Tetap gunakan nalar.
Nah, yang harus dicurigai juga jika ada surveyor asing, membuat data independent, tentang kisi-kisi hasil pemilihan umum suatu negara, dan hasilnya di buat HOAX oleh para pendukung dan atau komite pemenangan masing-masing pihak SESUAI KEINGINAN sendiri.
AKAN TERJADI “CHAOS” PASCA PEMILU. Sebab, RAKYAT YANG PERCAYA HASIL SURVEI, AKAN MERASA LAWAN CURANG JIKA JUNJUNGAN MEREKA KALAH, MAKA AKAN BANYAK PEMBERONTAKAN kecil sampai besar, yang akan bergulir seperti bola salju menggelembungkan kekuatan “people’s power“.
Saudara vs saudara setanah air akan di hadapkan dengan satu pemberontakan kepercayaan hasil survei abal-abal atau hasil survei olahan dalam bentuk hoax.
Siapa tahu hasil tersebut justru dilemparkan oleh asing, atau aseng, atau kelompok kekuatan konglomerasi dan politik tertentu, untuk memperkeruh suasana pemilu di Indonesia dan mereka akan menangguk hasilnya.
Sudahilah berperilaku dungu dan intoleran. Penyebaran hasil survei dan mempercayainya adalah KUNO tanpa melihat sumbernya. Jangan mau di adu domba.
Ika Sarawati, Konsultan Komunikasi dan Public Relations. Tinggal di Jakarta