Tulisan ini dilatar belakangi oleh dua hipotesa: Pertama, bahwa kegaduhan pada ranah sosial politik akibat isu rokok mahal dan tax amnesty (pengampunan pajak) masih terus berlangsung di Republik tercinta ini. Hal ini menarik untuk dicermati bersama, mengingat ada asumsi di dunia (geo) politik, “Konflik lokal merupakan bagian dari konflik global.” Apakah kedua isu di atas merupakan “permainan” asing di negeri ini?
Kedua, politik praktis itu bukanlah yang tersurat melainkan apa yang tersirat (Pepe Escobar, 2007). Memaknai tesis Escobar tersebut, jika wacana rokok mahal dan pengampunan pajak merupakan hal tersurat, lalu apa hal tersirat atau “hidden agenda”-nya?
Tulisan sederhana ini mencoba menguak benang merahnya —walau sedikit— perihal hidden agenda dari kepentingan-kepentingan asing (hasrat kolonialisme) di negeri ini. Mengapa? Tak boleh dipungkiri, di mata (geo) politik global, Indonesia merupakan tujuan kolonialisme disebabkan “takdir geopolitik” begitu menggiurkan (potensi ekonomi, demografi, geoposisi silang, sumberdaya alam, dll). Karena faktor takdir tersebut maka republik ini ditempatkan pada posisi (1) sebagai pemasok bahan mentah bagi negara-negara industri maju; (2) sebagai pasar bagi barang-barang jadi yang dihasilkan oleh negara-negara industri maju; dan (3) sebagai pasar guna memutar ulang kelebihan kapital yang diakumulasi oleh negara-negara industri maju tersebut (Bung Karno, 1955).
Kenapa pisau kajian tulisan ini adalah peperangan nirmiliter (asymmetric warfare), atau peperangan asimetris? Betapa dinamika geopolitik global abad ke 21 ini selain telah bergeser (geopolitical shift) dari Atlantik ke Asia Pasifik, juga yang pokok bahwa kharakter dan pola peperangan di era sekarang telah berubah. Artinya pola peperangan dengan pelibatan militer secara terbuka lagi masive dimana populer pada abad ke 19-an, kini sudah ditinggalkan. Kekuatan militer hari ini, sepertinya hanya untuk show of force (pamer kekuatan) atau sekedar shock and awe (gertak menakut-nakuti) belaka. Meski tak bisa dipungkiri, bahwa kekuatan militer dalam konflik interstate merupakan upaya terakhir bagi kebuntuan diplomasi antarkepentingan – antarnegara. Bila terjadi friksi terbuka pun, sebenarnya mereka (negara yang bertikai) lebih cenderung menggunakan model-model proxy war (perang boneka/perwalian) seperti di Semenanjung Korea, di Ukraina, atau model hybrid war (perang kombinasi) sebagaimana terjadi di Libya, Syria, dan lain-lain.
Sebelum melangkah jauh, secara singkat saya ingin mengurai sedikit tentang asymmetric warfare sebagai perspektif tulisan ini. Memang belum ada literatur yang secara lengkap mengupas apa (definisi) dan bagaimana peperangan asimetris berlangsung. Hanya sepenggal-sepenggal. Itupun berserak, belum terbukukan secara akademis.
Dewan Riset Nasional (DRN) misalnya, lebih memaknai asymmetric warfare sebagai pengembangan perang konvensional tetapi dengan cara berpikir tidak lazim. Kenapa? DRN melihatnya sebagai peperangan yang memiliki spektrum sangat luas karena mencakup astagatra (tujuh aspek kehidupan) yang meliputi trigatra dan pancagatra. Trigatra terdiri atas aspek geografi, demografi, dan sumber daya alam (SDA), sedang pancagatra meliputi aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, dan lain-lain. Pada taktis peperangan, DRN menekankan keterlibatan antara dua aktor atau lebih, dan menyoroti ketidakseimbangan keadaan (bagi dan antaraktor) yang terlibat perang.
Sementara definisi perang nirmiliter versi US Army War College, menekankan perbedaan sumberdaya dua pihak yang berkonflik, cara berinteraksi, dan upaya mengeksploitasi masing-masing kelemahan lawan. Ia juga masih mengaitkan dengan strategi dan taktik perang non konvensional. Artinya pihak yang lemah berupaya memakai strategi guna mengimbangi kekurangannya baik dalam hal jumlah maupun kualitas.
Peperangan asimetris versi Australia’s Department of Defence, lebih menekankan kepada pencarian keuntungan secara nirmiliter atas pihak lainnya, kendati pencarian sisi asimetris tersebut dilakukan secara militer, sedangkan asimetris secara militer ia persepsikan sebagai perbedaan tujuan, komposisi pasukan, kultur, teknologi dan jumlah.
Dari definisi ketiga sumber di atas, masih terdapat perbedaan arti, maksud dan makna serta definisi peperangan nirmiliter, atau asymmetric warfare, atau peperangan asimetris. Belum ditemui definisi yang baku. Australia’s Departement of Defence contohnya, masih mengaitkan perang nirmiliter dengan perang militer (konvensional), namun menekankan kepada hasil peperangan berupa non militer (mungkin maksudnya adalah kontrol ekonomi negara lawan dan penguasaan SDA). Demikian juga dengan US Army War College masih membandingkan atau mengukur kekuatan antarpihak yang saling bertikai sebagaimana terjadi dalam perang militer secara terbuka.
Menurut hemat penulis, definisi versi DRN lebih realitis daripada lainnya karena sejalan dengan model dan praktik-praktik selama ini. Perang nirmiliter dinilai sebagai model perang tidak lazim —non militer— bahkan dalam praktik operasionalnya cenderung non kekerasan. Spektrum sasarannya lebih luas daripada perang konvensional sebab mencakup segenap aspek kehidupan. Meski penulis sedikit menyayangkan, karena pada definisi versi DRN masih mencantumkan “ketidakseimbangan keadaan (bagi dan antaraktor) terlibat peperangan.” Kenapa? Sebab pada praktik selama ini justru perang non militer kini dinilai sebagai metode favorit para adidaya dalam rangka menancapkan kuku pengaruh (dan kolonialisme)-nya di negara-negara target kolonialisme. Retorikanya, “Bukankah dari sisi sumberdaya perang, justru para adidaya lebih canggih, unggul dan lebih kuat daripada negara-negara target, kenapa dalam perang nirmiliter masih mempersoalkan ketidakseimbangan pihak yang terlibat peperangan?” Inilah yang agak kurang pas pada versi DRN jika dibandingkan dengan praktik-praktik asymmetric warfare selama ini.
Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryaccudu memaknai asymmetric warfare sebagai perang non militer atau dalam bahasa populernya disebut smart power, atau perang murah meriah, tetapi ia memiliki daya hancur lebih dahsyat daripada bom atom.
“Asymmetric warfare merupakan perang murah meriah tapi kehancurannya lebih dahsyat dari bom atom. Jika Jakarta di bom atom, daerah-daerah lain tidak terkena tetapi bila dihancurkan menggunakan asymmetric warfare maka seperti penghancuran sistem di negara ini, hancur berpuluh-puluh tahun dan menyeluruh” (29/1/2015).
Merujuk hal di atas, diskusi terbatas di Global Future Institute (GFI) Jakarta, pimpinan Hendrajit (24/3/2015) merumuskan definisi asymmetric warfare sebagai berikut:
“Perang asimetris merupakan metode peperangan gaya baru secara nirmiliter (non militer) namun daya hancurnya tidak kalah bahkan dampaknya lebih dahsyat daripada perang militer. Ia memiliki medan atau lapangan tempur luas meliputi segala aspek kehidupan (astagatra). Sasaran perang non militer tak hanya satu aspek tetapi juga beragam aspek, dapat dilakukan bersamaan, atau secara simultan dengan intensitas berbeda”.
Tujuan peperangan asimetris versi GFI ini ada tiga sasaran, antara lain:
Pertama, membelokkan sistem sebuah negara sesuai arah kepentingan kolonialisme;
Kedua, melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir rakyatnya; dan Ketiga, menghancurkan food security (ketahanan pangan) dan energy security (jaminan pasokan dan ketahanan energi) sebuah bangsa, selanjutnya menciptakan ketergantungan negara target terhadap negara lain dalam hal food and energy security.
Sedang ujung ketiga sasaran —tujuan— senantiasa bermuara pada kontrol atau pengendalian ekonomi dan penguasaan SDA di sebuah negara. Ini selaras dengan doktrin Henry Kissinger di panggung politik global: “Control oil and you control nations, control food and you control the people.” (Kontrol minyak maka anda mengendalikan negara, kendalikan pangan maka anda menguasai rakyat).
Betapa efek perang model ini sungguh dahsyat karena berdampak selain kelumpuhan menyeluruh bagi negara dan bangsa, juga membutuhkan biaya tinggi serta memerlukan waktu yang relatif lama untuk recovery(pemulihan kembali)-nya.
Nah, terkait artikel ini, saya memilih perspektif asymmetric warfare versi GFI sebagai pisau analisa dalam artikel sederhana ini. Memang terdapat sifat, bentuk, pola dan sumber dalam konsepsi perang nirmiliter (Lebih lengkap, baca: Mengenal Perang Asimetris: Sifat, Bentuk, Pola dan Sumbernya, M Arief Pranoto, di Web Global Future Institute, Jakarta). Dalam kajian ini, penjelasan tentang sifat, pola dan sumber dari peperangan nirmiliter akan dibahas secara ringkas beserta beberapa contoh kasus.
Ada tiga tahapan dalam pola peperangan nirmiliter. Pertama ditebar dahulu: “Isu-isu”; kedua, dibentuk: “Tema atau agenda”; dan ketiga, ditancapkan: “Skema (kolonialisme).”
Dalam praktik di lapangan, isyu dan tema/agenda bisa berubah, beragam, dan lain-lain menyesuaikan situasi dan kondisi (bahan-bahan pemicu lapangan) faktual. Mungkin suatu ketika berbahan isyu konflik antarmazhab dalam agama (Syi’ah versus Sunni) misalnya, atau di lain tempat berbahan isu konflik antaragama, atau mayoritas versus minoritas, isu intoleransi, atau pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), isu korupsi, demokratisasi, pemimpin tirani, atau isu flu burung, dan lain-lain.
Tema atau agenda pun niscaya menyesuaikan jenis isu yang ditebar ke publik. Isu flu burung misalnya, agendanya adalah daging langka atau daging mahal. Atau isu tentang Syi’ah – Sunni, maka tema atau agendanya ialah konflik horizontal. Atau isyu HAM, intoleransi —- agendanya berupa intervensi asing dan/atau internasionalisasi persoalan, demikian seterusnya. Intinya, antara isu dan tema selalu nyambung atau berkelanjutan.
Sedang pada tahapan skema (kolonialisme) tidak berubah. Hal ini berbeda dengan tahapan isu dan tema yang selain nyambung, juga bisa beraneka menyesuaikan situasi faktual di lapangan. Untuk tahap skema bersifat permanen, tetap, tidak berubah, sepanjang masa dan cenderung lestari yaitu: “Penguasaan ekonomi dan pencaplokan sumberdaya alam (SDA) di daerah/negara target.” Dan agaknya, skema pada peperangan nirmiliter sepertinya satu tarikan nafas dengan doktrin Henry Kissinger: “Control oil and you control nations, control food and you control the people”.
Jika isu, tema dan skema di atas merupakan pola dalam asymmetric warfare, sekarang kita mengurai sumbernya. Artinya, apapun dan model modus peperangan nirmiliter yang digelar oleh kaum/negara kolonial niscaya memiliki ujung serta tujuan yang diharapkan.
Penelusuran GFI tentang sumber perang nirmiliter ini ternyata bemuara pada Sructural Adjusment Programme (SAPs)-nya International Moneter Fund (IMF). Kajian GFI pada beberapa isu dan agenda yang disebar oleh asing selalu berlabuh pada SAPs-nya IMF. Memang ada isyu yang sifatnya test the water —memancing reaksi publik— maka jika keras ditolak oleh publik, isyu pun bakal menghilang, temanya bubar, skema pun gagal ditancapkan.
Adapun butiran-butiran SAPs-nya IMF terdiri atas beberapa poin: (1) perluas kran impor dan adanya aliran uang yang bebas; (2) devaluasi; (3) kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk: pembebasan tarif kredit, peningkatan suku bunga kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan harga kebutuhan publik.
Isu flu burung contohnya. Setelah bertema/agenda daging mahal dan kelangkaan daging di ranah sosial, maka skemanya adalah butiran pertama SAPs-nya IMF yakni perluas kran impor (dari Australia misalnya). Retorikanya, “Bukankah memperluas kran impor identik dengan penguasaan ekonomi negara pengimpor oleh (negara) pengekspor, karena selain impor itu menggerus devisa, juga tersirat adanya jerat ketergantungan kepada negara lain?”
Impor bukanlah ideologi yang mutlak harus diterapkan sepanjang masa pada sebuah negara, karena hakiki impor untuk menjaga keseimbangan. Misalnya, ketika harga-harga kebutuhan publik sudah mencekik leher (mahal) rakyat, maka adanya kebijakan impor oleh pemerintahan justru untuk menurunkan harga atau keseimbangan. Inilah filosofi impor dalam negara. Sekali lagi, impor itu bukanlah ideologi tetapi kebijakan guna menjaga keseimbangan terkait hajat hidup rakyat.
Salah satu bentuk dan sifat peperangan nirmiliter, selain bersifat non kekerasan, memainkan opini publik via media, juga bentuk peperangan bisa berupa gerakan massa dan via kebijakan negara. Arab Spring di Timur Tengah dekade lalu misalnya, merupakan ujud serbuan asimetris ala Barat yang sukses menggulingkan beberapa rezim. Tanpa bunyi peluru, tanpa bau mesiu —Ben Ali di Tunisia, Abdullah Ali di Yaman, Mobarak di Mesir bisa digulingkan cuma berbahan isyu korupsi, pemimpin tirani, dan bertema/agenda: “Gerakan Rakyat (massa) Non Kekerasan.” Memang penggulingan rezim sering hanya sebagai pintu pembuka bagi skema kolonialisme yakni penguasaan (geo) ekonomi.
Sedangkan ujud atau bentuk serbuan asymmetric warfare yang sulit dibaca serta tersamar ialah melalui pintu “kebijakan negara (pemerintah).” Kenapa? Dalih atau alasan selalu digencarkan melalui jejaring media (mainstream) guna justifikasi kebijakan. Entah alasan tesis akademis, penelitian para ahli, dan sebagainya sehingga “dalih” tersebut (seakan-akan) mampu membidani kebijakan tersebut sedang kebijakan tersebut justru pro asing bahkan antinasionalisme. Inilah yang sering dan kini tengah terjadi di Bumi Pertiwi.
Retorika pamungkas, merujuk judul dan sedikit diskusi melalui perspektif perang asimetris di atas, pertanyaannya adalah: “Kemana isu rokok mahal dan tax amnesty berlabuh (bagaimana tema dan apa skemanya) jika berbasis SAPs-nya IMF?”