Membaca Kebijakan Luar Negeri AS Terhadap Korut

Bagikan artikel ini

Perseteruan  antara Amerika Serikat dan Korea Utara dinilai cukup mengkhawatirkan, walau hanya berupa adu mulut diantara dua pimpinan negara tersebut.

Indonesia akan terkena dampak dari krisis yang berkembang di kawasan Asia Timur tersebut, jika perang antar dua negara tersebut terjadi.

Indonesia perlu memainkan peranan yang lebih signifikan dalam upaya menjaga perdamaian yang menjadi amanat UUD 1945.

Realita diatas, disimpulkan dari  seminar terbatas bertema Membaca Kebijakan Luar Negeri AS terhadap Korut dan Dampaknya bagi Indonesia yang diselenggarakan Global Future Institute (GFI) di Wisma Daria, Jakarta Selatan, Kamis siang (9/11).

Tampil sebagai pembicara dalam seminar tersebut diantaranya,  anggota Komisi I DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi, Dirjen Strategi Pertahanan (Strahan) Kementerian Pertahanan Mayjen Yoedhi Swastono, Sekjen Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea, Teguh Santosa dan diplomat senior Nurahman Oerip.

Adapun Direktur Eksekutif GFI Hendrajit menjadi moderator dalam kegiatan yang diselenggarakan untuk memperingati satu dasawarsa GFI.

Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan, apabila perang terjadi maka Indonesia akan terkena dampak. Setidaknya ada dua jenis dampak, pertama secara fisik berupa radiasi yang terpapar hingga ke Indonesia.

“Kawasan itu hanya 2.200 kilometer dari Papua dan 4.700 kilometer dari Jakarta. Kalau terkena radiasi, ini bisa menimbulkan mutasi genetik,” ujarnya.

Sementara, lanjut  Bobby, Indonesia masih memiliki peralatan untuk mendeteksi radiasi dalam jumlah minim. Sejauh ini Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) baru mengoperasikan alat pendeteksi radiasi CTBT di enam lokasi.

Dampak kedua, secara ekonomi akan terjadi persoalan dalam hal penjualan LNG ke Korea Selatan, Jepang dan Republik Rakyat China (RRC).

“Tetapi, asumsi dasar kami adalah tidak akan ada perang, tidak ada yang ingin perang. Hanya adu mulut,” ujar Bobby.

Dirjen Strahan Kemhan RI Mayjen Yoedhi Swastono menegaskan, Indonesia harus memainkan peranan dan tetap menjaga komunikasi dengan Korea Utara. Modal hubungan itu sudah ada sejak era Presiden Sukarno dan Presiden Kim Il Sung.

Ditambahkan Yoedhi, Indonesia dapat menggunakan ASEAN dan menjadi leading sector dalam proses damai di Semenanjung Korea.

“Kita harus bisa memanfaatkan keberadaan sentralitas ASEAN untuk berperan aktif menjaga stabilitas. ASEAN bisa memainkan peran positif. Kalau kita mampu menjadi mediator, kita akan memiliki nilai tambah,” katanya lagi.

Buah Perubahan Landscape Geopolitik

Sekjen Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea Teguh Santosa menerangkan  bahwa, ketegangan di Semenanjung Korea adalah buah dari perubahan landscape geopolitik di kawasan Asia Timur yang didorong oleh kebangkitan China secara ekonomi dan militer.

Dikatakan Teguh, apa yang dipandang sebagai ketegangan di Semenanjung Korea adalah refleksi dari komunikasi intens antara AS dan China. AS tentu tidak bisa membiarkan dominasinya di kawasan itu memudar begitu saja. Sementara di sisi lain, China juga memperlihatkan strategi geopolitik yang cukup agresif dan mengkhawatirkan AS.

Selain kedua negara itu, sambung Teguh, Rusia pun masih memiliki pengaruh yang besar di kawasan dan tidak akan membiarkan pertarungan geopolitik di Semenanjung Korea dimenangkan salah satu dari dua pesaingnya itu.

Lebih jauh Teguh menjelaskan, Kelompok konservatif Jepang juga tidak mau ketinggalan, dan memanfaatkan ketegangan di kawasan Asia Timur untuk meningkatkan kapasitas militer dengan mengubah pemahaman Pasal 9 Konstitusi Jepang dari kekuatan militer yang bersifat bertahan atau defensif, menjadi bersifat menyerang atau ofensif.

Karena itu, Teguh menegaskan  bahwa, pembicaraan denuklirasasi dan perdamaian di Semenanjung Korea yang hanya melibatkan enam negara, yakni AS, China, Rusia, Jepang, Korsel dan Korut, tidak akan efektif mengingat semuanya memiliki kepentingan langsung di kawasan itu.”Diperlukan negara baru yang terlibat aktif, dan Indonesia berpeluang besar,” ucap Teguh.

Teguh yang sudah berkali-kali mengunjungi Korea Utara menggarisbawahi bahwa, negara membangun kapasitas militer hanya untuk menjaga agar dirinya tidak diperlakukan semena-mena.

“Damai itu adalah masa di antara dua perang, dan  berlangsung lama atau tidak, tergantung apakah pihak-pihak yang bertikai memiliki kekuatan yang sama atau atau tidak. Kalau ada yang powerless dan ada yang powerful, tidak perlu waktu lama akan ada yang dikalahkan,” pungkas  dosen hubungan internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta itu.

Merangkul Amerika Latin dan Afrika

Diplomat senior Nurrachman Oerip, mengatakan, ada hal yang bisa ditiru Indonesia dari semangat Korea Utara. Walau diembargo sedemikian rupa, tapi mereka memiliki kemampuan bertahan karena memiliki spirit persatuan yang begitu besar.

“Perang Korea ini sebetulnya belum selesai, baru sekedar gencatan senjata. Aktornya sama, Rusia, China, AS dan sekutunya. Kita harus menilik sebenarnya ini apa,” tutur  mantan Wakil Dubes Indonesia di Rusia dan Dubes Indonesia di Kamboja ini.

Menurut Nuracchman, Indonesia perlu mengajak negara Afrika dan Amerika Latin untuk ikut terlibat dalam perdamaian di Semenanjung Korea, dan menggunakan pendekatan Presiden Sukarno.

“Sulit mengajak ASEAN, karena masalah di dalam tubuh ASEAN juga masih banyak,” sambungnya.

Sementara Plh. Deputi Pengkajian Strategik (Dejianstrat) Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Hanif Salim mengatakan bahwa, Indonesia tidak boleh hanya menonton ketegangan ini.

Hanif mengingatkan, sekecil apapun kemungkinan perang itu harus diperhitungkan.

“Hitler memicu perang dunia karena aneh. Sekarang Donald Trump aneh. Kim Jong Un aneh juga. Bukan tidak mungkin mereka bertemu (dalam perang). Kalau kita tidak memasang pagar itu, kita akan dihabisi. Bagaimana kalau rudal itu meluncur ke arah kita?” demikian ditegaskan Hanif Salim.[MAN]

Sumber berita: rmolbanten.com

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com