Membaca Perilaku Geopolitik di Jalur Sutera (12/Habis)

Bagikan artikel ini

Kemana Indonesia Bersekutu 

Keniscayaan skenario yang bakal tergelar adalah: “PERANG DUNIA III MELETUS.” Maka pertanyaannya, “Indonesia ada dimana?”

Merujuk hal-hal di atas, ada tiga faktor yang mutlak dijadikan pertimbangan para elit politik dan pengambil kebijakan di republik ini jika kelak harus memilih. Entah memutus bergabung dengan salah satu pihak, atau ingin tetap bersolo karir berbasis politik bebas aktif semacam BK dulu bersikap, dan lain-lain.

Faktor pertama adalah “Muslim,” faktor kedua “SDA,” dan faktor ketiga ialah “Geoposisi Silang,” takdir geopolitik Bumi Pertiwi di kancah global. Barangkali, inilah ujung daripada catatan sederhana lagi tak ilmiah ini.

Tak boleh dielak, Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di muka bumi. Maraknya konflik di berbagai negara muslim di sepanjang Jalur Sutera, dipastikan akan menyeret pada pusaran isue-isue solidaritas. Itu sebuah keniscayaan. Harus cerdas memilah dan memilih. Isue apa mutlak disikapi, mana hanya didengar saja, atau sekedar dilihat, dan lain-lain. Penyikapan atas semua isue solidaritas justru akan menyedot energi bangsa, sedang banyak anak bangsa ini tidak memahami akar masalah sebenarnya. Solidaritas Palestina misalnya, memang aktual, tetapi arus solidaritas lebih kental perihal Iran dan Suriah, karena tercium aroma devide et impera antara Syiah-Sunni, atau bermodus sektarian lain.

Dapat ditengarai bahwa konflik Syiah-Sunni merupakan gelaran skenario konflik antarmazab dalam agama. Saat ini kental berproses di Indonesia. Dan agaknya, ‘tahap persiapan’ sudah lewat terindikasi ada entitas bahkan terdapat media-media yang saling menghujat. Sekarang memasuki apa yang disebut ‘tahap pematangan’. Beberapa konflik meletus tetapi prosesnya diambangkan, tidak tuntas. Masih meyimpan bara, dimana percikan api kecil bisa membakar kembali, Entah kapan ‘tahap pertempuran’ dinyalakan?

Dengan demikian, apabila khalayak umumnya dan khususnya para elit politik keliru dalam bersikap, niscaya akan fatal bagi perjalanan bangsa ini kedepan, terutama sila kesatuan dan persatuan bangsa.

Diam, melihat, menelusur, mengurai akar dan mapping konflik antarmazab mungkin lebih bijak daripada membikin statement dan aksi sporadis yang malah memperkeruh suasana. “Ini tahap pematangan.” Adanya aroma bahwa berbagai kepentingan asing menumpang dalam tahapan ini. Para elit atau siapapun pengambil kebijakan di republik ini harus pintar-pintar bersikap setiap ada letupan peristiwa, atau mencermati secara cerdas atas perkembangan fenomena. Jangan justru larut, atau mengambil bagian dari konflik yang muncul di atas permukaan, apalagi turut bermain di dalamnya. Sungguh tidak cerdas. Retorika pun mencuat, “Konflik ini murni karena kuatnya dogma dan fanatisme mazab, atau rekonstruksi asing membentur-benturkan umat mayoritas, agar hidden agenda kolonialisme terlupakan?” Bangsa ini asyik berkonflik sendiri, sedang mereka (‘asing’) menikmati kekayaaan negeri ini.

Berbasis pola (patern evidence) selama ini, konflik jenis apapun baik vertikal atau horizontal, baik bernuansa kesukuan, agama, maupun faktor sosial, dll hanyalah TEMA belaka. Sekali lagi, konflik hanyalah tema kolonialisme. Artinya, ada SKEMA yang relatif lestari sebagai hidden agenda yakni penguasan SDA dan kontrol ekonomi oleh pihak-pihak di belakang konflik. Inilah yang harus disadari bersama.

Sedang faktor SDA sudah jelas. Poin inilah yang menyebabkan nusantara menjadi titik atau epicentrum pergeseran geopolitik dari Atlantik ke Asia Pasifik. Indonesia menjadi incaran bahkan rebutan (bancakan) siapapun adidaya baik ketika tahap persiapan, tengah dan setelah peperangan nantinya. Kondisi ‘bancaan’ itu pun sebenarnya tengah berlangsung secara masif oleh para adidaya. Kita telah menjadi proxy war bagi pertempuran ekonomi dan peperangan SDA antarnegara asing, namun segenap bangsa kurang menyadari. Sebagian anak bangsa justru asyik sendiri dan enjoy saja, bahkan para elit pun terlihat masih gaduh di tataran hilir permasalahan bangsa, bukannya bekerja demi rakyat di hulu persoalan guna mengurai carut marut ekonomi dan politik.

Terkait faktor SDA di atas, selain Indonesia kelak bakal menjadi lumbung logistik perang, juga dimanfaatkan untuk pemulihan ekonomi para adidaya pasca perang. Kenapa demikian, betapa peperangan apapun dipastikan menghabiskan modal, energi dan menyedot banyak sumberdaya pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

Faktor geoposisi silang. Untuk menyingkat paparan, tidak akan diurai detail arti geoposisi silang Indonesia, silahkan mencari sendiri referensinya. Bahwa kelak dunia, bahkan bangsa ini sendiri akan tercengang menyaksikan “kedahsyatan” takdir geopolitik nusantara. Selain sebagai safe house selama peperangan karena faktor dua musim, geoposisi silang bisa diubah seketika menjadi “geopolitical of weapon,” senjata geopolitik dahsyat, kenapa? Menguatnya prakiraan di kalangan global review serta penggiat geopolitik bahwa peperangan kedepan (PD III) akan berlangsung di perairan.

Mungkin ‘key point’-nya PD III meletus di Laut Cina, tetapi medan tempur lain bisa melebar kemana-mana. Maka menguasai Indonesia, siapapun adidaya, akan mudah mengontrol gerak dan manuver kapal-kapal lawannya. Dari selatan (Lautan Hindia) misalnya, tinggal tutup dan sanggong di Selat Sunda, Selat Lombok, dan lain-lain. Dari arah Laut Cina, selain dapat digempur di Natuna, juga bisa ditembok di Selat Karimata dan bila lepas pun bisa dihadang kembali di Selat Sulawesi. Kemudian dari arah Samudera Pasifik, dapat dibendung melalui Selat Arafuru atau di Biak, kepala burung (Papua) sebagaimana McArthur dahulu memukul Jepang melalui taktik leap frog (lompat kodok) di Biak, dan seterusnya.

Letak pulau-pulau yang terpencar merupakan faktor kesulitan tersendiri bagi siapapun musuh yang ingin menaklukkan Indonesia secara total. Apalagi jika diberdayakan sistem pertahanan rakyat semesta, pihak lawan mungkin akan babak belur bahkan frustrasi. Sebagai ilustrasi kalimat contohnya: “Digebuk, bangkit lagi, ditindas muncul kembali, dibombardir disini — tumbuh disana,” mati satu tumbuh seribu! Hingga kekuatan musuh melemah, jenuh dan akhirnya kembali pulang memikul kekalahan.

Untuk implementatif dogma defensif aktif, memang kurang membutuhkan alutsista canggih. “Perberdayaan dan kekuatan rakyat adalah utama.” Taktik hadang anti-hadang misalnya, atau perang gerilya relatif efektif untuk kondisi medan perbukitan, perairan, jurang serta hutan-hutan. Bagi bangsa ini, mustahil akan bertindak ofensif dalam sebuah laga tempur oleh sebab bertolak belakang dengan doktrin dan geopolitik dasarnya. Indonesia cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan; “Pertahankan rumah serta pekarangan kita sekalian” (Soedirman, 1947).

Hal tersebut berbanding terbalik dengan kelaziman (perang) Barat cq AS dan sekutu dimana cenderung menggelar pertempuran di luar wilayahnya. Maka menjadi tidak nyambung ketika kemarin (tahun 2008-an), Paman Sam belajar teritorial kepada TNI karena merasa kesulitan menundukkan Taliban di Afghanistan, kenapa? Filosofi manuvernya tidak sama.

Seperti halnya peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya, atau Vietnam yang memukul mundur Barat era 1950-an, agaknya perlawanan dahsyat Taliban di Afghanistan mematahkan kembali teori perang modern: “Siapa menang dalam hal jumlah dan teknologi perang, akan memenangkan pertempuran.” Bayangkan, tentara profesional dari 40-an negara (NATO dan ISAF) tidak mampu menundukkan Taliban dalam perang 10-an tahun (2001-2012). Hay, bukankah Taliban itu hanya sekelas satgas, atau semacam banser di Indonesia?

Penguasaan medan tempur dan intelijen dasar, akan selalu berpihak kepada bangsa pemilik tanah. Faktor militansi, gurihnya cinta tanah air, manisnya nasionalisme, dan kuatnya jiwa juang mungkin lebih kokoh (rakyat) prajurit kita daripada tentara asing manapun. Militer Barat cenderung mengagungkan teknologi dan memuja canggihnya mesin perang. Mereka tidak memiliki patriotisme dan jiwa juang. Motifnya gaji besar, tuntutan insentif dan mewah fasilitas yang disediakan negaranya. Tanpa ketiga hal di atas, personel militer Barat mungkin memilih pulang daripada ‘menangis’ di pertempuran.

Masih ingatkah ketika Vietnam mengusir tentara asing tahun 1955 dan 1975? Jenderal Vo Nguyen Giap, konseptor perang (semesta) Vietnam yang berjasa mengusir Perancis tahun 1954 dan mampu mempecundangi pasukan AS dekade 1975-an, berkata: “Kekuatan kami, baik defense (bertahan) maupun offensive (menyerang), berdasarkan atas keadaan-keadaan yang nyata dari Vietnam sendiri. Bukan atas dasar pengetahuan dari luar, melainkan atas dasar pengetahuan geopolitik dari Vietnam.” 

Dan tidak bisa dielak siapapun, bahwa Indonesia adalah guru perang gerilyanya Vietnam melalui filosofi ajaran (geopolitik): “Pertahankan rumah serta pekarangan kita sekalian (Soedirman, 1947). Dunia sudah memahami hal itu.

Bahasan sederhana di atas, hanya mengurai dasar-dasar geopolitik dan sedikit tentang aspek sumberdaya manusia. Belum membahas perihal logistik, taktik dan strategi, ataupun alutsista yang tidak pernah dipublis di media manapun. Mungkin Paman Sam pernah terkejut tatkala helikopter canggihnya tiba-tiba jatuh dalam misi kemanusiaan (tsunami) di Aceh dulu; atau Aussie pernah menikmati “dahsyat”-nya penjagaan di perairan dalam Lautan Hindia sehingga mendadak ‘timbul tsunami’ di selatan Jawa, atau patroli laut Malaysia yang melanggar batas wilayah pernah merasa ngeri ketika tiba-tiba di atas geladaknya muncul pasukan selam kita, lalu mengusir mereka, dan lain-lain. Pernahkan kejadian ini diberitakan media mainstream?

Meskipun secara E-Data, asing boleh-boleh saja menghitung cadangan BBM nasional dan strategis yang jumlahnya tak banyak waktu (20-an hari), bukannya tiga hari sebagaimana dikatakan oleh Menhan RI Ryamizard. Negeri ini banyak wilayah abu-abu dan dark number (penggelapan data). Barat dan/atau Cina serta aliansinya harus berpikir dan mengkaji ulang ketika hendak menyerbu Indonesia secara militer. Politik praktis itu bukanlah yang tersurat melain apa yang tersirat, termasuk tersirat dalam hal data, strategi dan kebijakan.

Entah Barat, atau negara-negara lainnya, seyogyanya menemukan dahulu jawaban —sebelum berencana menginvasi— atas pertanyaan filosofis, “Kenapa hingga detik ini Indonesia memilih bersolo karir di panggung politik global?”

Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak ‘kembang sore’ dan ‘bunga-bunga sedap malam’. Silahkan saudara-saudara memaknainya.

Terimakasih

)** Analisa ini diolah dari berbagai referensi baik buku, link, literatur dan lain-lain, terutama pointers diskusi terbatas baik di Global Future Institute/GFI, Jakarta, pimpinan Hendrajit, maupun di Forum KENARI (Kepentingan Nasional RI) dimentori oleh Dirgo D Purbo.

Penulis: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

“Kembang Sore” adalah para purnawirawan TNI – Polri yang gelisah atas kondisi bangsanya saat ini. Tidak boleh dipungkiri, mereka banyak tersebar di berbagai strata dan status sosial, serta peduli atas nasib bangsa ini kedepan———-

 

Berbagai “Bunga Sedap Malam,” baik perorangan, kelompok, komunitas maupun golongan, dll di masyarakat, mereka adalah orang-orang yang CINTA AKAN AGAMA DAN/ATAU NEGARA-nya merasa prihatin dan tidak rela menyaksikan kondisi menyedihkan bangsa ini. Itulah ‘bunga sedap malam’—

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com