Menurut Karl Haushofer, geopolitik adalah ilmu negara. Science of the state. Inti geopolitik adalah ruang (living space) atau lebensraum. Unsur utama teori geopolitik ialah, “Manusia butuh negara dan negara membutuhkan ruang hidup”. Jika ruang diperluas akan ada yang diuntungkan dan dirugikan. Bertambah atau berkurangnya ruang di suatu negara oleh berbagai sebab, selalu dikaitkan dengan kehormatan dan kedaulatan negara. Dan hanya bangsa unggul yang mampu bertahan hidup dan langgeng serta meligitimasi hukum ekspansi. Itulah pokok-pokok unsur dalam teori ruang. Ketika ada asumsi: “if you would understand world geopolitics today, follow the oil” (Deep Stoat), itu sekedar varian teori atas perkembangan geopolitik. Bila ingin paham geopolitik hari ini, ikuti aliran minyak. Di situ simpul-simpul (kepentingan) adidaya bertemu, bersinergi bahkan kerap beradu-kuat.
Geopolitik mengajarkan, bila ruang sudah tak lagi memiliki nilai strategi, maka akan dicampakkan. Dan tuntutan akan ruang hidup serta kekuatan militer merupakan prasyarat dalam menggapai tujuan dan cita-cita. Secara teori, ada empat prasyarat guna memenuhi tujuan dan cita-cita, antara lain meliputi: (1) ruang hidup atau living space; (2) frontier; (3) politik kekuatan; dan (4) dimensi keamanan negara dan bangsa.
Frontier adalah batas imajiner di sebuah negara akibat pengaruh asing terhadap rakyat di wilayah/daerah akibat “tipis”-nya peran atau pengaruh pusat melemah. Frontier senantiasa bermula dari budaya dan/atau ekonomi. Bila tidak ditangani dengan segera (serius), ia bisa meluas, lalu berubah menjadi pengaruh politik yang memiliki risiko disintegrasi di suatu negara. Lepasnya Sipadan Ligitan tempo dulu adalah contoh memprihatinkan atas abainya pusat terhadap frontier di pulau-pulau terluar.
Sedangkan dimensi politik kekuatan ialah bahwa dalam memenuhi tujuan dan cita-cita sebuah negara selalu dilandasi oleh power politik, power ekonomi, dan power militer. Itulah yang acapkali diistilahkan “power concept” pada perspektif geopolitik.
Selain pergeseran geopolitik dari Atlantik ke Asia Pasifik, salah satu isu utama di Abad ke 21 ialah perubahan power concept dari militer ke power ekonomi. Dari sisi kolonialisme, maksudnya adalah bahwa pola invasi dan/atau perilaku geopolitik kaum kolonial tidak lagi mengkedepankan power militer (invasi militer) sebagai pintu masuk, namun bergeser ke ekonomi (silent invasion) selaku penjuru.
Berbasis isu-isu di atas, tampaknya kredo komunisme tatkala menjalankan misinya selaras dengan isu global (perubahan power concept) berpola swasta maju duluan membuka ladang-ladang investasi dengan back up negara/militer. Inilah salah satu bentuk Invasi Senyap sebagaimana diurai di muka.
Prasyarat terakhir menggapai cita-cita dan tujuan adalah dimensi keamanan negara dan bangsa. Artinya, untuk memperluas ruang, perlu dibentuk daerah penyangga (buffer zone) yang dapat ditukar dengan waktu dalam menghadapi ancaman dari luar. Keterangan pada bab buffer zone ini, contohnya, bila AS memiliki enam kawasan/wilayah komando seperti USPASCOM, contohnya, ataupun USCENTCOM, dan seterusnya serta puluhan pangkalan militer di berbagai penjuru dunia, semata-mata demi menjamin (quality assurance) bahwa kepentingan nasionalnya berjalan lancar, aman dan tidak terganggu.
Di sini, model buffer zone —zona penyangga— ala Cina dirasa lebih khas lagi spesifik dibanding model AS punya. Meski telah ada pula pangkalan militernya baik yang masih embrio maupun sudah permanen di beberapa negara seperti di Djibouti misalnya, ataupun Vanuatu, Srilangka, Fiji, Timor Leste, dan seterusnya tetapi buffer zone ala Cina mengadopsi gelombang isu dan kredo geopolitiknya dimana pengusaha di depan, sedang negara/tentara di belakang.
Sebagaimana dikatakan John Mempi dalam lima Chinese Problem in the World (masalah Cina di dunia) sesungguhnya Cina telah membangun buffer zone —seperti halnya AS membangun USPASCOM, dan lain-lain wilayah komando— namun secara asimetris atau nonmiliter dalam bentuk “emporium”. Menurut Mempi, ada lima emporium tersebar di dunia, antara lain:
1) first emporium yaitu Negara Cina itu sendiri selaku mother land;
2) second emporium yakni Taiwan sebagai pusat capital atau modal;
3) third emporium adalah Singapura sebagai kawasan perdagangan;
4) fouth emporium ialah Overseas China dalam bentuk persaudaran melalui budaya; dan
5) fitth emporium ada di dalam setiap negara yakni Pecinan atau (kawasan) kampung Cina, dan seterusnya.
Kenapa demikian, tak bukan —- selain tengah mengamalkan ajaran Chungkuok Tiangshi, “Hanya negeri Cina di bawah langit, negeri lainnya di bawah Cina,” juga seperti pernah diucapkan oleh Lee Kuan Yeuw, PM Singapura pada masanya, “Bahwa yang menyatukan Cina adalah darah dan budaya”.
Keberadaan pangkalan militer asing di sebuah negara dan/atau “emporium” di suatu negara hakikatnya adalah zona penyangga bagi kepentingan asing di satu sisi, tetapi juga frontier bagi negara yang bersangkutan di sisi lain. Coba bayangkan, bila kemarin 17 pulau reklamasi benar-benar terbangun di Teluk Jakarta, alangkah tebalnya frontier di pintu gerbang NKRI tercinta.
(Bersambung ke Bag-6)
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)