Membaca Success Story Charles Darwin Sebagai Inovator Sains Melalui Perspektif Baru

Bagikan artikel ini
Ciri khas seorang penemu yang menghasilkan sebuah teori baru dalam ilmu pengetahuan, jangan membayangkan sosok bak profesor berkacamata tebal atau hanya berkutat pada satu bidang khusus atau asyik di laboratorium, atau asyik sendiri dengan buku-bukunya sehingga anti-sosial. Sebaliknya, seperti cerita tentang Charles Darwin yang berikut ini,  sosoknya ini justru bertolakbelakang dengan stereotipe ilmuwan seperti saya gambarkan tadi. Darwin, punya banyak minat dan ketertarikan di luar bidang keahlian khusus yang sedang ditekuninya. Sekaligus punya gairah besar bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat yang beragam latarbelakang.
Charles Darwin, pencetus Teori Evolusi kelak juga populer dengan sebutan Teori Darwin, yang satu diantaranya tesis dalam bukunya itu  bikin gempar bukan saja kalangan akademisi perguruan tinggi, melainkan juga kalangan agamawan. Betapa tidak, manusia digambarkan berasal muasal dari simpanse atau monyet.
Namun lupakan sejenak kontroversi teorinya yang menggemparkan itu. Pengalaman Darwin sebagai seorang ilmuwan yang kreatif dan inovatif kiranya jauh lebih penting sebagai sumber inspirasi, daripada meributkan teorinya yang memang mencengangkan banyak orang sejak saat diluncurkan kali pertama  hingga sekarang.
Siapa Charles Darwin. Ia lahir 12 Februari 1809, di Shrewsbury, Inggris. Pada usia 16 tahun masuk Universitas Edinburg, mengambil bidang studi kedokteran. Anehnya, justru pas mulai kuliah, Darwin malah sontak tersadar betapa menjemukannya bidang kedokteran, apalagi ketika mempeljari anatomi tubuh manusia.
Namun tidak menaruh minat pada dunia kedokteran dan anatomi, bukan berarti Darwin anak bodoh. Nyatanya begitu memutuskan ikut ujian masuk ke Cambridge langsung diterima, dan kali ini mengambil bidang studi unsur adimistrasi perkantoran. Tapi kalau para dosen dan teman-teman mahasiswanya jeli mencermati perangai Darwin waktu itu, anak muda yang masih usia milenial ini punya jiwa petualang dan senang mengalami sesuatu hal yang baru.
Mungkin gambar 1 orang
Makanya selama di Cambridge, Darwin berburu dan menunggang kuda merupakan hobi yang  jauh lebih menarik hatinya ketimbang bertekun belajar dengan buku-buku teks yang menjemukan. Untunglah ada salah seorang dosennya yang diam-diam memerhatikan perangai Darwin, dan memahami passion-nya, Sehingga dengan tak ayal mendorong anak muda asli Inggris ini untuk ikut sebuah program yang kayaknya diyakini betul oleh sang profesor, bakal menarik hati Charles Darwin. Yaitu, pelayaran penyelidikan/riset di atas kapal HMS Beagle bagi para naturalis, melanglangbuana ke seluruh dunia. Ayahnya, sempat keberatan karena memandang ikut program itu sama saja buang-buang waktu. Untunglah sang ayah akhirnya mengalah, dan merestui Darwin ikut ekspedisi HMS Beagle itu.
Benar saja.  Melalui ekspedisi HMS Beagele itu, Darwin berkesempatan merambah berbagai bidang baru yang tak terbayang kalau hanya mendekam di bangku kuliah. Lewat ekspedisi itu Darwin berkesempatan menggauli ilmu biologi dan ilmu alam. Ternyata feeling sang profesor itu tepat. Bukan saja ekspedisi perjalanan riset itu memakan waktu relatif lama, 5 tahun. (Darwin mulai gabung dalam ekspedisi itu dalam usia 22 tahu pada 1831). Lebih dari itu, perjalanan panjang HMS Beagle ini telah memantik minat Darwin pada banyak bidang sekaligus secara bersamaan. Yang mana kelak, reputasi Darwin sebagai penemu teori evolusi, sangat dipengaruhi oleh pengalamanya yang penuh warna pada ekspedisi tersebut. Terutama dalam mendalami berbagai bidang keilmuan secara bersamaan.
Selain daripada itu, pengembaraan HMS Beagle yang diikuti oleh Darwin selama masa pelayaran 5 tahun itu, kapal Beagle telah mengarungi dunia, seperti menyusuri Samudra Indonesia, pantai Amerika Selatan, menyelidiki kepulauan Galapagos, mengambah pulau-pulau di Pasifik, dan Selatan Samudra Atlantik. Sebuah pengalaman langka yang memantik kepekaan Darwin dalam melihat karakteristik geografis, gambaran fisik lingkunan alam, corak khas budaya dan masyarakat yang berbeda-beda dan aneka ragam.
Selain itu dalam pengelanaan itu, Darwin banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban alam dalam perjalanan yang dilewatinya, jalin kontak dengan suku-suku primitif, menemukan macam ragam fosil-fosil manusia purba pra sejarah, meneliti pelbaga ragam tumbuhan dan jenis binatang, Kelak, semua  catatan selama pengembaraan dalam ekspedisi HMS Beagle itu, merupakan bahan-bahan dasar bagi hampir dalam semua buku-buku karyanya yang monumental dan dikenal luas seluruh dunia sampai sekarang. Tapi untuk karya-karya Darwin, saya ceritakan nanti.
Singkat cerita, dalam usia 27 tahun pada 1836 Darwin mengakhiri program pengembaraan risetnya itu, dan kembali ke Inggris. Rupanya, dalam waktu 20 tahun sesudahnya, seluruh akumulasi pengalaman riset dan pengembaraannya bersama HMS Beagle itu, telah mengubah haluan minatnya ke bidang yang tidak disangka-sangka, yaitu bidang biologi. Melalui buku-buku karyanya yang kelak diterbitkan, Darwin telah merajut reputasi sebagai seorang biolog atau pakar biologi.
Misalnya sejak 1837, tentunya diinspirasi oleh pelayaran 5 tahunnya mengelilingi perbagai belahan dunia, Darwin mulai meyakini bahwa binatang dan tetumbuhan tidaklah bersifat statis atau tetap, namun mengalami perubahan dalam perjalanan sejarah geologi. Begitupun, pada taraf ini Darwin belum punya gambaran sedikitpun mengenai yang kelak kita kenal dengan teori evolusi.
Barulah pada 1859, Darwin berani menerbitkan bukunya yang kelak jadi bahan pelajaran biologi di seluruh dunia, bertajuk The Origin of Species. Intinya, buku ini mengedepankan gagasan bahwa manusia berasal dari mahluk sejenis monyet. Menariknya, setahun sebelum buku Darwin terbit, pada 1858 Darwin sempat menerima naskah buku dari Alfred Russel Wallace, seorang naturalis Inggris kawan baik Darwin, yang juga menggariskan teorinya sendiri tentang evolusi.
Meski Alfred Russel Wallace bermaksud baik menunjukkan draf buku karyanya untuk dikomentari Darwin sebelum naik cetak, tak urung sempat menimbulkan suasana tidak enak di antara mereka berdua, mengingat secara teoritis keduanya membahas subyek yang sama,  yaitu Teori Evolusi. Tapi senyatanya, buku Darwin pada perkembangannya  lebih banyak mengundang pembahasan baik pro maupun kontra sepanjang dekade 1850an hingga 1870an. Bahkan mencapai puncaknya  ketika pada 1871 Darwin menerbitkan buku kali berikutnya, The Descent of Man and Selection in Relation to Sex. Adapun buku karya Alfred Wallace, komunitas akademik maupun agamawan tidak terlalu menaruh perhatian sebesar terhadap karya Darwin.
Seperti diulas oleh Michael H. Hart dalam bukunya bertajuk The 100, a Ranking of Most Influential Persons in History, yang mana sang penulis menempatkan Darwin pada urutan ke-17 orang paling berpengaruh di dunia, sebetulnya Darwin bukanlah pencetus teori evolusi yang pertama kali. Beberapa orang sempat menyuarakan sebelumnya seperti naturalis Prancis Jean Lamarch, bahkan kakek Darwin sendiri, Erasmus Darwin.
Mungkin gambar 1 orang
Namun seperti analisis Michael Hart, para tokoh sebelum Darwin gagal meyakinkan komunitas akademik perguruan tinggi dan ilmuwan di berbagai lembaga-lembaga penelitian terkemuka ihwal bagaimana dan dengan cara apa evolusi itu terjadi. Sumbangan besar Darwin adalah kesanggupannya bukan saja menyuguhkan mekanisme dari seleksi alamiah yang mengakibatkan terjadinya evolusi alam, melainkan juga sanggup menyuguhkan banyak bukti-bukti untuk menunjang hipotesisnya.
Dengan tak ayal, teori evolusi alamiah Darwin telah mengguncang kemapanan teori-teori bidang biologi kala itu. Artinya, Darwin telah menciptakan revolusi bidang ilmu pengetahuan, utamanya dalam bidang biologi. Satu diantara kekuatan teori evolusi Darwin, lepas kita setuju atau tidak, telah menawarkan sebuah penjelasan umum ihwal asal-usul manusia, seraya mengukuhkan kepercayaan terhadap kemampuan ilmu pengetahuan menjawab segala pertanyaan dunia fisik, meski belum mencakup semua masalah manusia dan kemanusiaan. Benar juga ungkapan bijak bahwa melahirkan sebuah wawasan baru, kiranya belum memadai manakala tidak diikuti dengan sebuah penjelasan. Idenfikasi gejala tentu saja penting, namun diagnosis kiranya jauh lebih penting. Pada tataran ini, Darwin lebih berhasil dibanding para pakar lainnya seperti Wallace atau Gregor Mendel.
Begitu pula jargon Darwin yang meski kita boleh setuju atau tidak, seperti “Yang Kuat mengalahkan yang Lemah” serta “Pergulatan Hidup” telah jadi kosa kata yang masuk dalam kamus ilmu pengetahuan kontemporer kita dewsasa ini. Sehingga merasuk ke alam bawah sadar komunitas akademik yang cenderung berpandangan sekuler dan tidak religius.
Selain mengubah cara pandang para ilmuwan biologi dan antropologi kelak kemudian hari, juga telah mengubah cara pandang komunitas akademik  ihwal  kedudukan manusia di dunia. Tak heran jika komunitas agamawan Nasrani di Eropa, mengecam Teori Darwin itu berakibat menurunkan derajat dan martabat manusia.
Cukup sekian soal kiprah dan reputasi gemilang Darwin. Lantas, apa pelajaran yang bisa kita sebagai sumber inspirasi bagi para pembelajar kita di tengah stagnasi pendidikan dan persekolahan formal saat ini? Apa rahasia sukses Darwin? David Epstein, dalam bukunya bertajuk The Range, punya sudut pandang menarik dalam memaknai keberhasilan para inovator dan kreator dalam bidang sains, termasuk Darwin.
Satu diantara tesis David Epstein yang patut kita renungkan: “Pengalaman beragam akan memiliki dampak besar jika diciptakan oleh banyak orang dalam tim, tetapi berdampak lebih besar lagi ketika terkandung dalam diri satu orang.” Dalam kasus Darwin tesis Epstein ini cocok sekali. Karena termasuk pada frase kalimat terakhir yang dirumuskan Epstein.
Darwin seperti saya uraikan pada awal tulisan, terkondisi sejak masuk kuliah, untuk menggauli banyak ragam bidang dan minat, meski tanpa sengaja,  Dia menggauli kedokteran, anatomi, zoologi, geologi, biologi, arkeologi dan antropologi. Sebuah akumulasi pengalaman yang dia serap selama 5 tahun ikut serta dalam program ekspedisi pelayaran riset.
Menarik pandangan dari seorang periset kreatiftas Dean Keith Simonton seperti dikutip dalam buku Epstein ketika menggambarkan tentang sesuatu yang khas Darwin: “Darwin bukan akademisi universitas, juga bukan ilmuwan profesional di suatu lembaga, tetapi ia berjejaring dengan komunitas ilmiah.”
Selain itu, kecenderungan Darwin yang gampang bosan berkutat pada satu bidang, sejatinya adalah sebuah kabar baik  bahwa dirinya lebih condong menaruh banyak ragam minat yang berbeda secara bersamaan sebagai pola aktivitas akademik yang dia sukai. Ini menurut Edward de Bono, tipikal seseorang yang biasa berpikir lateral ketimbang linear.
Darwin, sebagaimana tersingkap melalui kajian Epstein, ia memang senang berjejaring dengan komunitas ilmiah. Sedikitnya ia punya 231 teman pena ilmiah dari ragam bidang keahlian yang berbeda-beda. Sehingga lewat perkawanan pena itu, Darwin bisa memilah sedikitnya 13 tema yang luas berdasarkan minatnya. Mulai dari cacing sampai seleksi seksual manusia.
Lewat surat menyurat dengan kawan-kawan penanya itu, Darwin menghujani mereka dengan berbagai pertanyaan, lantas menggunting surat-surat mereka untuk merekat potongan-potongan informasi dalam buku catatannya sendiri. Yang mana ide saling tumpang-tindih yang kelihatannya kacau-balau itu, namun di dalam benak pikiran Darwin, serpihan-serpihan informasi tersebut menghasilkan sebuah gambaran baru atau pandangan baru.
Misal ketika Darwin sedang meneliti soal benih, ia surat-suratan dengtan geolog, botanis, ornitolog, dari Afrika Selatan, Amerika Serikat, Norwegia dan Prancis. Belum lagi para para pakar alam amatir atau para perkebun kenalannya.
Maka itu tepat ungkapan seorang pakar yang dikutip David Epstein: “Aktivitas seorang pencipta, dari luar nampak seperti gado-gado yang membingungkan, namun ia bisa memetakan setiap aktivitas ke salah satu upaya yang sedang berlangsung. Maka dalam beberapa hal, karya terbesar Charles Darwin mewakili interpretasi/penafsiran kompilasi fakta yang awalnya ditemukan orang lain. Darwin adalah pemadu informasi yang berpikiran lateral.”
Sepertinya, inilah rahasia sukses Charles Darwin, meski pada  zamannya ada dua pakar yang sama-sama tinggi kualitasnya dengan Darwin: Alfred Russle Wallace dan Gregor Mendel. Keluasan pada ragam minat, justru tipologi macam inilah yang kelak sejarah mengenang seseorang sebagai pencipta atau inovator, ketimbang seseorang yang hanya berkutat pada kedalaman penguasaan keahlian bidang khusus. Darwin, biografi intelektualnya, telah membuktikan kebenaran dari tesis David Epstein tersebut.
Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com