Ketika menelisik bahan-bahan bacaan seputar bisnis tembako dalam kaitan dengan kepentingan korporasi global, secara tidak sengaja sosok Michael Bloomberg menyita perhatian saya. Sosok ini sontak menyadarkan saya, betapa kapitalisme memang telah membawa dampak buruk berupa praktek monopoli menciptakan sistem ketidakadilan sosial di pelbagai belahan dunia.
Namun saat sama mewartakan pada kita, bahwa orang bisa maju dan berkembang dan jadi jaya, tidak mesti karena punya uang banyak, melainkan karena kreatif dan inovatif membaca perubahan tren dan peluang. Sehingga menciptakan lahan bisnis baru yang tak terpikir atau terbayang oleh orang lain.
Mike Bloomberg bekerja pada Salomon Brothers, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang investasi. Namun setelah 15 tahun bekerja pada Salomon Brothers, bukannya dapat promosi, malah dipecat secara halus dari perusahaan tersebut, meski dapat cek uang pesangon sebesar 10 Juta dolar AS.
Rupanya keputusan Salomon Brothers untuk menjual perusahaannya pada Phibro Corporation, membuat nasib Mike Bloombers di simpang jalan. Satu segi, jelas sial bagi Bloomberg karena dia termasuk salah satu yang dikorbankan. Namun segi lain, dengan 10 juta dolar di tangan, apa yang bisa dia perbuat untuk mengukir masa depannya?
Nah, saat lagi gelisah itu, Bloomberg tidak kehilangan fokus dan tujuan. Dia merasa harus tetap di rel investasi dan keuangan. Maka dia putuskan, uang pesangon itu dia sisihkan sepertiganya, sebagai modal awal membangun perusahaan di bidang jasa keuangan, persis seperti waktu dia kerja di Salomon Brohters.
Pada tahapan ini, dalam bisnis, inovasi ternyata memainkan peran penting melebihi modal uang itu sendiri. Modal yang ia tanam di perusahaan barunya itu, sebesar 300 ribu dolar AS. Namun gagasan yang mendasari berdirinya perusahaan baru miliknya itulah yang mahal. Sebuah perusahaan sekuritas dan investasi dengan didukung oleh teknologi informasi. Maka itu perusahaannya diberi nama Inovation Market System (MS). Agaknya, kodratnya sebagai seorang trend setter dimulai dari sini.
Tentu saja kalau sekarang, gagasan macam itu sudah tergolong tidak baru dan sama sekali tidak inovatif. Di era revolusi 4.0 dan 5.0 saat ini, semua yang bergerak dalam jasa investasi dan sekuritas juga melibatkan teknologi informasi.
Namun kala itu, pada dekade 1980an, Idenya mengenai pasar modal yang berbasis teknologi bukan saja menginspirasi para pebisnis yang berjiwa entreprenur, bahkan meretas jalan Mike Bloomberg bertemu dengan orang paling berpengaruh di Merrill Lynch & Co Sam Hunters dan Jerry Kenney.
Singkat cerita sesudah obrolannya bersama Sam Hunter dan Jerry Kenney yang kemudian ditindaklanjuti dengan Gerry Eli, dari Merrill Lynch & Co, maupun dengan Ed Moriarti dan Hank Alexander, yang mengelola semua kegiatan pengembangan perangkat lunak Merrill Lynch & Co, maka Bloomberg dapat kepercayaan membangun sietem layanan IMS di Merrill Lynch & Co, hingga 1983.
Bahkan kerjasama dengan Merril Lynch dan Mike Bloomberg makin solid, apalagi ketika saham IMS dibeli Merrill Lynch sebesar 30 persen. Meski dengan satu syarat, IMS tidak boleh menjual jasanya pada pihak lain. Sehingga Merrill Lynch merupakan perusahaan investasi pertama yang terhubung dengan para pelanggan secara teknologi.
Namun bagi Bloomberg yang sejatinya seorang inovator ketimbang sekadar pebisnis konvensional, merasa syarat yang dikenakan pada IMS agar tidak menjual layananya pada pihak lain, terasa seperti pemasungan kreativitas. Bagi Bloomberg, hasrat untuk meluaskan lingkup ekspansi usaha IMS, lebih menantang ketimbang kenyataan bahwa 30 persen saham yang sudah dibeli Merrill Lynch, sebenarnya sudah membuat Bloomberg dan para mitra usahanya kaya raya.
Namun untungnya Merrill Lynch juga cukup visioner menangkap ide kreatif Bloomberg, ketika Mike Bloomberg mendesak mengubah isi perjanjian terdahulu sehingga IMS bisa memperluas pelanggan.
Setelah disetujui, maka IMS diubah menjadi Bloomberg LP dan mengembangkannya menjadi perusahaan berbasis pelanggan di semua lini. Mulai dari dana pensiun, bank sentral, asuransi, termasuk perusahaan pialang serta sekuritas.
Imperium Bisnis Bloomberg praktis dimulai sejak IMS berubah jadi Bloomberg LP. Karena sejak saat itu selain membuka cabang di beberapa kota strategis seperti London pada 1987, dan Tokyo pada tahun yang sama.
Menariknya pada 1987 itu pula, Bloomberg mengakuisi sebuah perusahaan riset dan keuangan, Sinkers Inc. Perusahaan ini pada 1996 berganti nama jadi Bloomberg Princeton, yang fokus kegiatannya mengumpulkan dan menganalisis data untuk kepentingan Bloomberg. Apakah ini cikal bakal yang menandai pentingnya analisisi intelijen di bidang bisnis kelak kemudian hari? Saya kira aspek inilah yang jarang disorot oleh para analis dan pelaku pasar modal dalam melacak success story Mike Bloomberg.
Namun demikian, kiprah Bloomberg justru makin menarik disorot ketika pada 1989 membuka kantor cabang di Australia. Sewaktu bertemu Matthew Winkler, mencuat usul darinya agar Bloomberg mengembangkan layanan berita bisnis. Rupanya Mike Bloomberg tertarik. Setahun setelah bertemu Matthew Winkler, ide itu direalisasikan dengan membentuk Bloomberg Business Network (BNN). Kantor berita yang jadi corong pemasaran bisnis Bloomberg.
Semula BBN hanya mewarkana isu-isu bisnis, namun ketika BNN membuka cabangnya di Washington, BNN mulai memperluas liputannya dalam isu-isu politik. Namun karena BNN masih terafiliasi dengan Merrill Lynch, maka status kewartawanan para juru warta BNN dipersoalkan dan tidak mendapat akreditasi dari Standing Committee of Correspondence (SCC).
Padahal SCC ini amat berkuasa buat nentukan siapa yang boleh disebut jurnalis dan dapat akses ke Capital News Market. Dan BNN karena masih bertaut erat sama Merrill Lynch maka dianggap bisa terjadi konflik kepentingan.
Namun dua tahun kemudian setelah BNN beroperasi, Mike Bloomberg tidak kehilangan akal. Pada 1991 BNN meneken kontrak dengan majalah Time. Isi perjanjian: Time akan membuat sisipan BNN, dengan kompensasi mendapat fasilitas terminal Bloomberg secara gratis.
Akibat manuver BNN itu, SCC akhirnya menyerah, dan memberikan akreditasi untuk BNN. Maka sejak itu, kantor berita milik Bloomberg diakui sebagai salah satu sumber berita nasional Amerika.
Bisa jadi keberhasilan bisnis Bloomberg karena bergerak di ranah informasi seperti kebehasilannya membangun European Bloomberg Information, sehingga Mike Bloomberg memiliki insting bisnis yang sangat tajam dan mental yang berani, karena menguasai jantungnya sumber informasi dalam membaca peluang atau trend perubahan.
Bloomberg dikenal mampu memahami momentum perubahan yang terjadi dan mampu memilih sasaran strategis yang bisa membawanya menuju posisi yang menguntungkan.
Namun, apakah prestasi akademis Mike Bloomberg tergolong cemerlang? Ternyata tidak juga. Pria kelanhiran Brighton, Massachusetts, 14 Februari 1942 ini, memang tercatat sebagai mahasiswa di John Hopkins University, berkuliah pada fakultas teknik kelistrikan. Namun semasa mahasiswa, lebih tertarik aktif di lingkungan sosial kampus daripada konsentrasi di bidang akademis.
Alhasil, begitu lulus, nilainya ya sedang-sedang saja. Namun demikian, sempat meneruskan ke Harvard, mendalami bidang administrasi bisnis dan menggondol gelar MBA.
Begitu lulus, atas saran teman dekatnya, Mike bergabung dengan Salomon Brothers. Maka mulailah Mike kerja di bidang administrasi dengan gaji 9 ribu dolar AS. Namun bagi Mike yang lulusan Harvard Business School, gaji segitu sebenarnya mengenaskan. Tapi hikmahnya dari kerja di Salomon Brothers itu, dia jadi paham seluk beluk perdagangan saham. Dan kelak, dia justru mampu melihat celah dan peluang bisnis untuk mengembangkan sisi lain yang belum tergarap dalam bisnis investasi dan keuangan.
Sejak ditempatkan di bidang admistrasi yang bikin Mike merasa jenuh, namun untunglah Bloomberg sempat dialih tugaskan ke bargai divisi berbeda, mulai dari pembelian dan penjualan, sehingga bisa berkesempatan berada di lantai bursa bagian utilitas. Tugasnya melakukan pemutakhiran posisi inventory yang diperdagangkan. Selain itu, dialihtugaskan ke bagian ekuitas, sehingga paham seluk-beluk perdagangan efek. Sebuah impian Amerika ketika uang dalam jumlah besar bisa dihasilkan dalam hitungan menit hanya dengan memperdagangkan surat surat saham.
Namun pemantik jalan takdir Bloomberg menemukan jatidirinya sebagai pebisnis ulung sekaligus punya ciri khas, ketika Salomon Brothers merombak susunan Dewan Direksi, yang berujung pemindahan Bloomberg ke bagian sistem informasi.
Di pos barunya ini, Bloomberg bertanggung-jawab atas gugus tugas sistem infoirmasi yang mengelola seluruh catatan aktivitas perusahaan dan menyediakan perangkat analisis yang diperlukan bagi pedagang saham dan personel pemasaran.
Tanpa Bloomberg sadari, pos baru Bloomberg di Salomon Brothers inilah, yang membawanya bukan saja kelak pada kejayaannya sebagai pebisnis, meski bukan di Salomon Brothers, melainkan lewat perusahaan yang dia rintis sendiri, mulai dari IMS hingga Bloomberg LP. Yang kemudian mengembang dan meluas ke ranah bisnis informasi, BNN. Segalanya justru bermula ketika Salomon Brothers memutus hubungan kerja dengannya, dengan pesangon 10 juta dolar AS.
Ketika Salomon Brothers mem-PHK kan dirinya, justru jalan membentang buat Mike Bloomberg menemukan lahan bisnis yang justru merupakan hasrat sejati dirinya: Penguasa industri media dan layanan data keuangan dunia, dengan jaringan yang meluas dan tersebar di hampir seluruh dunia.
Kekayaan pribadinya yang konon sekarang 18 miliar dolar AS, bisa jadi bukan kepuasannya yang sesungguhnya. Kepuasannya yang sesungguhnya jangan jangan karena berhasil mengamalkan adagium khas abad informasi: Menguasa informasi, berarti mengendalikan kekuasaan.
Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute.
Facebook Comments