Membangun Sosialisme Abad Ke-21 Di Venezuela (1)

Bagikan artikel ini

Michael A. Lebowitz

Seperti Karl Marx, yang bersedia mengubah pandangannya setelah melihat cahaya Komune Paris (Paris Commune), kita juga harus berpikir tentang sosialisme saat ini dengan melihat pengalaman abad ke-20.

Kita membutuhkan pemahaman yang benar agar sosialisme di abad ke-21 tidak akan menjadikan masyarakat menjadi statis (atau masyarakat berbasis Negara), di mana keputusan-keputusan yang diambil bersifat dari atas ke bawah (top-down), dan dimana seluruh inisiatif dilakukan oleh para pejabat negara atau para kader yang mereproduksi sendiri kepeloporannya (cadres of self-reproducing vanguards). Tepatnya, karena sosialisme fokusnya adalah pada pengembangan kemanusiaan, maka penekanannya haruslah pada kebutuhan akan sebuah masyarakat yang demokratis, partisipatoris, dan protagonistik. Sebuah masyarakat yang keseluruhannya didominasi oleh negara yang sangat berkuasa, pasti tidak akan menghasilkan keberadaan manusia yang nantinya akan menciptakan sosialisme.

Untuk alasan yang sama, sosialisme bukanlah populisme. Sebuah masyarakat di mana rakyat melihat negara sebagai penyedia segala sumberdaya beserta jawaban atas seluruh masalah yang dialami mereka. Sistem seperti itu, juga tidak akan mempercepat pengembangan kapasitas manusia; selebihnya, akan mendudukkan rakyat yang sekadar memandang negara sebagai sumber jawaban dan juga memandang pemimpin sebagai yang akan menjanjikan semuanya.

Lebih lanjut, sosialisme bukanlah totalitarianisme. Tepatnya, karena keberadaan manusia berbeda-beda dan memiliki kepentingan serta kemampuan yang berbeda, perkembangan mereka per definisi membutuhkan pemahaman dan penghormatan terhadap keanekaragaman tersebut. Baik negara atau komunitas tidak memiliki hak untuk memaksakan penyatuan dalam aktivitas produksi, pilihan-pilihan konsumsi atau gaya hidup yang mendukung kebangkitan dari apa yang dikatakan Marx sebagai penyatuan yang didasarkan pada pengakuan terhadap perbedaan (unity based upon recognition of difference).

Selain itu, kita membutuhkan pemahaman yang benar, karena sosialisme bukanlah pemujaan atas teknologi—sebuah penyakit yang melanda Marxisme dan, yang di Uni Soviet, diwujudkan dalam bentuk pabrik-pabrik besar, pertambangan, dan pertanian-pertanian kolektif untuk mengamankan asumsi skala ekonomi. Sebaliknya, kita harus mengakui bahwa perusahaan kecil mungkin menjanjikan kontrol demokratik (dari bawah) yang lebih besar (yang berarti pengembangan kapasitas produser), dan mungkin juga lebih ramah lingkungan sehingga bisa melayani kebutuhan masyarakat.

Kita harus belajar dari pengalaman abad ke-20. Kini kita mengetahui bahwa keinginan untuk membangun masyarakat yang baik bagi rakyat tidaklah mencukupi—Anda harus siap keluar dari logika kapital jika ingin membangun dunia yang lebih baik. Dan kita tahu bahwa sosialisme tidak bisa diwujudkan dari atas, melalui usaha-usaha dan instruksi-instruksi (tutelage) oleh para pelopor yang mengambilalih seluruh inisiatif dan tidak percaya terhadap kemampuan massa.

“Kelas pekerja,” demikian Rosa Luxemburg dengan bijaksananya mengatakan, “membutuhkan hak untuk menciptakan sendiri kesalahan-kesalahannya dan belajar pada dialektika sejarah.”

Ketika kita memulainya dengan tujuan membangun sebuah masyarakat yang membebaskan seluruh potensi-potensi keberadaan kemanusiannya, dan memahami bahwa jalan untuk mencapai tujuan tersebut tak dapat dipisahkan dari kemampuan diri rakyat, maka kita akan bisa membangun sebuah masyarakat manusia yang sejati.

Aku mengusulkan, dan pada kenyataannya, banyak pelajaran dari abad ke-20 yang bisa dipelajari, misalnya, hal itu tercermin dalam Konstitusi Bolivarian. Dalam pasal 299 dinyatakan negara “menjamin seluruh pengembangan kemanusiaan.” Dalam deklarasi pasal 20 tertuang “setiap orang (lelaki dan perempuan) memiliki hak untuk bebas mengembangkan dirinya sendiri.” Lebih fokus lagi adalah pasal 102 yang menyatakan “pengembangan potensi kreatif seluruh keberadaan manusia dan tindakan penuh dirinya —lelaki laki maupun perempuan—dalam sebuah masyarakat demokratik.” Dalam artikel 62 dinyatakan bahwa partisipasi oleh rakyat “dibutuhkan untuk mendorong keterlibatannya dalam menjamin perkembangan mereka selengkapnya, baik secara individual mauun secara kolektif,” dalam mengidentifikasi perencanaan demokratik dan anggaran partisipatif di seluruh tingkatan masyarakat. Dan lebih fokus lagi pada pasal 70 yang menyatakan bahwa “manajemen sendiri, manajemen bersama, koperasi dalam semua bentuk” sebagai contoh “bentuk-bentuk perkumpulan yang dipandu oleh nilai-nilai kerjasama yang saling menguntungkan dan solidaritas,” di mana kewajibannya dicatat dalam pasal 35, “kebajikan solidaritas, tanggung jawab sosial dan bantuan kemanusiaan, baik oleh pejabat pemerintah maupun oleh individu-individu swasta menurut kemampuannya.” Seluruh yang tertuang dalam Konstitusi Bolivarian ini merupakan elemen-elemen sosialisme abad ke-21 dalam bentuknya yang ideal.

Perjuangannya sekarang adalah bagaimana menjadikannya sebuah kenyataan.

Keterangan:

1. Diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh dari judul asli Building Socialism of the 21st Century in Venezuela. Diedit oleh Danial Indrakusuma. Sumber: http://www.venezuealanalysis.com/, Jum’at, 29 Juli, 2005.

2. Michael A. Lebowitz adalah profesor emeritus bidang ekonomi di Simon Fraser University, Burnaby, British Columbia, Canada. Ia juga adalah penulis buku Beyond Capital: Marx’s Political Economy of the Working Class (Palgrave Macmillan, 2003), dan memenangkan penghargaan Deutscher Memorial Prize, 2004.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com