Membayangkan Skenario Terburuk Akibat Penempatan dan Pergelaran THAAD AS di Korea Selatan

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Terlepas dari kebijakan pemerintahan Pyongyang Korea Utara (Korut) yang semakin agresif mengintensifkan program nuklir dan rudal balistik antarbenua yang diklaim pihak Pyongyang mampu melakukan serangan ke wilayah Amerika Serikat, namun sikap pemerintahan AS di Washignton juga tidak kalah provokatifnya sehingga semakin meningkatkan ketegangan di Semenanjung Korea.

Selain beberapa kali secara demonstratif memperagakan latihan militer gabungan AS-Korsel-Jepang, AS sejak Mei 2017 mulai menempatkan senjata canggih sistem pertahanan anti-rudal bernama Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di Korea Selatan.

Dalih pihak resmi dari Kementerian Pertahanan AS maupun US Forces Korea atau pasukan AS di Korea yang saat ini diperkirakan berkekuatan 28.500 tentara, penemapatan dan pemasangan THAAD di Korsel bertujuan untuk menghadang rudal Korut seraya membela kedaulatan Korsel. Sistem Pertahanan anti-rudal THAAD diyakini oleh pihak Pentagon mampu mencegat dan menghancurkan rudal balistik jarak pendek dan menengah Korut. Benarkah THAAD hanya ditujukan untuk mengantisipasi serangan nuklir atau rudal balistik antarbenua Korut?

Dalam Seminar yang diselenggarakan Global Future Institute (GFI) pada 9 November 2017 lalu, ketegangan di Semenanjung Korea yang dipicu oleh penempatan dan pemasangan Sistem Pertahanan Anti-rudal THAAD di sisi selatan Seongju County, Provinsi North Gyeongsang itu, ternyata juga mengundang kecemasan dari pemerintah Cina di Beijing. Sehingga penempatan dan pemasangan THAAD harus dipandang dalam perspektif persaingan dan perebutan pengaruh global antara AS versus Cina. Bukan saja di Semenanjung Korea, melainkan kawasan Asia Pasifik pada umumnya.

Maka itu tidak heran ketika pihak Washington pada Mei 2017 menyatakan THAAD aktif untuk dioperasionalkan di Korsel, Beijing sontak menyatakan protes.  Geng Shuang, jubir kementerian.luar negeri Cina mengatakan bahwa Presiden Xi Jinping menempatkan kedaulatan Tiongkok sebagai prioritas pemerintahan. Maka, Beijing tidak akan ragu-ragu menindak siapa pun yang mengancam kedaulatan wilayahnya. Apalagi mengancam pertahanan dan keamanan regional. THAAD juga dianggap sebagai salah satu bentuk gangguan terhadap kedaulatan Cina.

”Kami menentang pengoperasian sistem THAAD di Korsel dan mendesak semua pihak terkait untuk segera menghentikan program tersebut. Kami tidak akan segan mengambil langkah tegas,” kata Geng Shuang, jubir kementerian luar negeri.

Kalau mencermati pernyataan Geng Shuang dengan merujuk pada sikap dan kebijakan strategis Presiden Xi Jinping, tersirat bahwa dioperasionalisasikannya Sistem Pertahanan Anti-Rudal THAAD di Korsel, sasaran AS yang sesungguhnya bukan Korut melainkan Cina. Sebab melalui penempatan THAAD di Korsel, tentara AS mampu mendeteksi kegiatan kemiliteran Cina di Semenanjung Korea dan bahkan di Asia Tenggara.

Sedemikian gusarnya pihak Beijing atas penempatan THAAD di Korsel, sehingga Beijing melampiaskan kejengkelannya terhadap Lotte Group sebagai penghibah lahan tempat THAAD ditempatkan. Alhasil, Lotte Group yang punya 99 gerai di Cina itu, harus menderita kerugian besar-besaran akibat ditutupnya sekitar 85 gerai oleh pemeritnah Cina.

Ini bukti nyata betapa adanya THAAD yang bercokol di Korsel dipandang sebagai ancaman nasional bagi kedaulatan nasional Cina, khususnya di bidang pertahanan dan keamanan. Bahkan pihak Kementerian Luar Negeri Cina pada 13 Juli 2017 sempat menegaskan bahwa Pergelaran THAAD dengan serius merusak kesimbangan strategis di kawasan ini, serta kepentingan keamanan strategis di kawasan termasuk Cina, dan bertentangan dengan upaya menjaga perdamaian dan stabilitas di Semenanjung Korea.

“Seperti yang telah kami katakan, kami (Cina) dengan tegas menentang pergelaran THAAD di Korsel oleh AS dan Korsel, dan kami telah sangat mendesak agar kedua belah pihak untuk menghentikan proses terkait. Saya dapat memberitahu Anda bahwa Tiongkok dengan tegas akan mengambil tindakan yang diperlukan untuk melindungi kepentingan yang wajar kami sendiri.”

Peryataan pihak Kementerian Luar Negeri CIna pada 13 Juli 2017 lalu secara eksplisit merupakan ancaman akan melakukan aksi militer balasan. Sehingga jika ancaman pihak Cina benar-benar direalisasikan, maka konflik  bersenjata berskala luas besar kemungkinan akan terjadi. Yang mana bukan saja akan melibatkan AS dan Cina, melainkan juga Rusia. Menariknya, dalam Dokumen Kebijakan Strategis Keamanan Nasional AS yang dirilis Gedung Putih bulan lalu tepat setahun Presiden Donald Trump menjabat, secara jelas menetapkan Cina dan Rusia sebagai pesaing utama AS dalam persaingan global dewasa ini.  Dalam dokumen yang sangat mirip dengan Project New American Century (PNAC) pada era pemerintahan George W Bush (2000-2008), melukiskan Cina dan Rusia sebagai “kekuatan revisionis” yang bermaksud mengubah status quo global. Apakah Semenanjung Korea juga termasuk yang dimaksud dokumen kebijakan keamanan nasional AS?

Bagi kita di Indonesia, perkembangan yang semakin memanas di Semenanjung Korea menyusul penempatan THAAD di Korsel sejak Mei 2017, memang cukup mengkhawatirkan mengingat situasi tersebut berpotensi ke arah perang terbuka antara AS-Korsel-Jepang versus Cina, yang mana besar kemungkinan akan memancing Rusia untuk ikut bergabung bersama Cina menghadapi persekutuan AS bersama Korsel dan Jepang.

Indikasi ke arah aliansi strategi Cina-Rusia menyusul semakin memanasnya ketegangan di Semenanjung Korea nampaknya semakin nyata. Pada 28 Juli 2017, dalam pertemuan ke-4 Keamanan Asia Timur Laut yang diadakan di Moskow, Cina dan Rusia menyuarakan keprihatinan mereka untuk pergelaran THAAD di Korsel oleh AS dan Korsel. Sehingga Cina-Rusia bersepakat untuk meningkatkan kerjasama militer kedua negara.

Namun bagi Indonesia dan negara-negara yang tergabung dalam perhimpunan negara-negara Asia Tenggara ASEAN, sudah saatnya mengambil sikap untuk menentang penempatan dan pergelaran THAAD di Korsel yang bisa memicu Perang Bersenjata berskala luas di Semenanjung Korea. Yang mana hal ini akan berdampak buruk bagi stabiltias dan keamanan di kawasan Asia Tenggara.

Dalam Seminar GFI tentang Krisis Korut pada 9 November 2017, Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan, apabila perang terjadi maka Indonesia akan terkena dampak. Setidaknya ada dua jenis dampak, pertama secara fisik berupa radiasi yang terpapar hingga ke Indonesia.

“Kawasan itu hanya 2.200 kilometer dari Papua dan 4.700 kilometer dari Jakarta. Kalau terkena radiasi, ini bisa menimbulkan mutasi genetik,” ujarnya.

Sementara, lanjut  Bobby, Indonesia masih belum memiliki peralatan untuk mendeteksi radiasi dalam jumlah minim. Sejauh ini Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) baru mengoperasikan alat pendeteksi radiasi CTBT di enam lokasi.

Dampak kedua, secara ekonomi akan terjadi persoalan dalam hal penjualan LNG ke Korea Selatan, Jepang dan Republik Rakyat China (RRC).

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com