Alda Nesya Rastiti, peneliti di Forum Dialog (Fordial), Jakarta
Menurut peneliti dari lembaga survei Pol-Tracking Agung Baskoro, bahwa harus diakui identitas figur (figure identity) masih lebih kuat dibanding identitas partai (party identity) bagi pemilih, karena partai belum berfungsi. Tantangannya apakah partai berani mengambil peluang tersebut. Karena perilaku pemilih perlahan mulai bertransformasi semakin rasional. Mereka melihat pemimpin, yang memang bekerja untuk mereka bukan sekedar membangun wacana dan prihatin saja. Pemilih yang golongan putih (golput) makin menipis, bila partai berani bersikap dan memastikan para kandidat yang mereka miliki, baik sebagai calon legislatif (Caleg) maupun calon presiden (Capres) benar-benar bersih dan siap dibersihkan.
Sementara itu, Adjie Alfaraby yang juga peneliti LSI mengemukakan, tingkat partisipasi pemilih sangat bergantung pada sejauh mana pemilih merasa Pemilu penting untuk perbaikan nasib mereka ke depan. Jika melihat trend survei, tingkat partisipasi dalam Pileg nanti kurang lebih sama dengan Pemilu sebelumnya, atau golput kurang lebih sama antara 30-35%. Untuk pemilihan presiden (Pilpres), partisipasi mungkin akan lebih tinggi dibanding Pileg, karena pemilih memilih tokoh. Namun jika ada tokoh-tokoh baru yang populer dan disukai, tingkat partisipasi dapat lebih tinggi.
Sedangkan, Siti Zuhro, peneliti senior LIPI mengemukakan, golput relatif menurun ketika Pemilu relatif menjanjikan, di mana partai politik mampu menyodorkan sebagian besar caleg-caleg berkualitas yang amanah. Apalagi pada saat yang sama, partai-partai juga menawarkan capres-cawapres sesuai dengan harapan rakyat. Karena itu, animo dan antusiasme rakyat akan meningkat bila partai politik mampu memahami aspirasi dan kebutuhan konstituen. Tidak tertutup kemungkinan golput akan menurun, meskipun belum tentu bisa menyentuh angka 20 persen. Golput di Pemilu 2014 di kisaran 25 sampai 35%, mengingat kepercayaan masyarakat terhadap partai belum benar-benar pulih. Sejauh ini meskipun muncul sejumlah tokoh dari berbagai hasil survei, nama Jokowi masih tetap diminati. Sosoknya masih tetap memukau dan didukung banyak kalangan dan komunitas, meskipun ada juga yang tidak mendukung.
Ketua MUI, KH Amidhan Baldan mengingatkan, fatwa wajib bagi umat Islam menggunakan hak pilihnya, dan bagi yang tidak menggunakan hak pilihnya, maka ia telah berbuat dosa. Fatwa wajib memilih itu merupakan hasil ijtima’ Ulama Fatwa III MUI di Kabupaten Padang Panjang, Padang, Sumatera Barat, pada 2009 lalu. Menurut Amidhan, pemilu adalah strategi untuk memperbaiki nasib bangsa, termasuk memperbaiki nasib umat Islam. Dengan ikut memilih, maka umat Islam telah berpartisipasi mengubah nasib umat Islam. Oleh karena itu umat Islam yang tidak bergerak atau melakukan sesuatu untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam, maka itu termasuk perbuatan dosa.
Golput Meningkat?
Fenomena golput dari Pemilu ke Pemilu cenderung meningkat. Hal ini menjadi tantangan pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan Pemilu, terutama partai politik, agar partisipasi masyarakat meningkat dan otomatis menekan golput. Dari pemilu ke pemilu, angka golput cenderung meningkat. Pada Pemilu pertama di era reformasi pada 1999, tingkat golput sebesar 10,21 %. Pada Pemilu 2004 menjadi 23,34 %, dan pada pemilu terakhir 2009, meningkat menjadi 39,1 %. Pemilu 2014 ini, jika ada terobosan dari parpol maupun penyelenggara pemilu, diperkirakan angka golput masih berkisar 30-35 %. Dalam kondisi tersebut, ada kesadaran bahwa figur capres bisa menjadi magnet bagi calon pemilih. Untuk itu, sebaiknya dipikirkan agar capres yang akan diajukan oleh parpol atau gabungan parpol bisa diketahui publik sebelum pelaksanaan pemilu. Langkah lain yang harus dilakukan tentu saja mengajukan calon anggota legislatif caleg yang benar-benar dikenal rakyat di daerah pemilihan (dapil), serta yang memiliki rekam jejak yang tidak ternoda baik secara hukum maupun etika. Tidak bisa dipungkiri, masyarakat lebih cenderung memilih pilpres dibandingkan pileg, karena faktor figur.
Seseorang yang mengajak golput atau menghalangi seseorang untuk tidak memilih pada Pemilu 2014, bisa dikategorikan tindak pidana sesuai UU Pemilu No 8 Tahun 2012. Oleh karena itu, menyerukan kepada masyarakat agar tidak terbujuk oleh ajakan yang menyesatkan tersebut. Tetapi kalau ada yang golput, bukan karena unsur intimidasi atau paksaan, maka itu bagian dari demokrasi.
Kekhawatiran akan rendahnya tingkat partisipasi pemilih atau golput yang masih relatif tinggi yang dilontarkan berbagai kalangan masih terus menjadi pemberitaan media masa baik cetak maupun online. Tinggi rendahnya partisipasi tersebut dipandang penting karena akan menjadi tolok ukur kesuksesan pemilu maupun tingkat legitimasi hasil pemilu. Dari berbagai pandangan yang muncul, faktor figur lebih menjadi pertimbangan bagi pemilih dibanding partai, apalagi kini dalam pileg maupun pilpres tidak lagi memilih partai tetapi memilih figur. Oleh karena itu, apabila parpol peserta pemilu dapat menampilkan calon atau figur yang berkualitas, dalam arti jujur, bersih, beretika dan memperjuangkan aspirasi masyarakat maka akan mendorong meningkatkan partisipasi pemilih, sehingga angka golput bisa ditekan sesuai target. Sebenarnya dari berbagai survei tingkat partisipasi pemilih kurang lebih masih sama seperti pemilu 2009, sehingga tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan.
Masih banyaknya kekhawatiran akan tingginya golput pada pemilu 2014 sejatinya wajar dengan alasan kecenderungan partisipasi pemilih dalam tiga pemilu yang lalu cenderung terus turun. Apalagi menghadapi pemilu 2014 banyak partai atau tokoh-tokohnya yang sekityar 90% dicalonkan kembali banyak yang menghadapi masalah, korupsi maupun etika. Oleh karena itu berbagai pihak merasa peru berusaha meningkatkan upaya untuk menekan golput.
Terlepas berhasil atau tidaknya upaya-upaya tersebut di atas untuk menekan golput, namun berbagai pihak perlu terus berusaha, mengingat pemilu kali ini mempunyai nilai strategis, karena akan menentukan keberlangsungan pembangunan demokrasi dan berbagai bidang lainnya di Indonesia. Disamping itu, pemilu kali ini juga menjadi awal tampilnya generasi muda untuk tampil memimpin bangsa, atau dengan kata lain merupakan masa-masa akhir generasi tua. Oleh karena itu upaya meningkatkan keasadaran politik masyarakat perlu terus ditingkatkan.
Sementara itu, masih berlanjutnya upaya berbagai kelompok kepentingan dan kelompok radikal mengajak masyarakat untuk golput bahkan memboikot atau menggagalkan Pemilu 2014 juga mencerminkan pendidikan politik yang dilakukan parpol terhadap konstituennya selama ini dapat dinilai kurang berhasil, komunikasi politik yang terhambat, eksesif dari kebebasan demokrasi di Indonesia, termasuk juga menggambarkan masih minimnya upaya-upaya untuk menekan golput, walaupun Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa bahwa berdosa jika golput.