Memet Chairul Slamet, Dosen Institut Seni Indonesia Yogjakarta; Kandidat Doktor Institut Seni Indonesia, Yogjkarta
Ada sebuah sajak menarik, karya Sutardji Calzoum Bacri. Judulnya kalian, isinya “Pun”. Panjangan judulnya daripada isinya. Ya begitulah. Sekilas puisi itu terkesan sederhana sekali, tapi tahukah kita jika sajak itu lahir dari sebuah proses perenungan yang panjang dari seorang penyair? Maka tak heran jika banyak yang kemudian terperangah ketika BangTardji memaparkan makna sajaknya. Di dalamnya, terkandung arti yang begitu dalam. Salah satunya adalah semangat introspektif yang ternyata begitu kuat terkandung dalam kata “pun”. Sesuatu yang kini lebih sering terabaikan.
Introspeksi dalam perspektif umum berarti mengukur atau menilai diri secara obyektif. Kata-kata obyektif di sini menjadi begitu penting, sebab, kebanyakan parameter obyektif lebih asyik digunakan saat menilai orang lain, ketimbang waktu menilai diri sendiri. Acapkali, bahkan, kita membubuhi pendekatan komparatif dan komprehensif, saat menilai orang lain. Sementara saat menilai diri sendiri, parameternya cukup subyektif dan ditambah dengan serangkaian dasar pembenaran. Ini logika yang sebenarnya ironik.
Jika dalam sajaknya Bang Tardji satire, pastilah itu karena secara sosial, naluri introspektif dipandang sudah tidak terlalu pupoler lagi di masyarakat. Padahal Intropeksi adalah sebuah wujud kearifan yang nilainya banyak terdapat dalam kultur bangsa. Secara teoritis, kearifan untuk melakukan introspeksi bisa memiliki beberapa dimensi kehidupan.
Pertama, introspeksi baik dalam skala individual maupun sosial, akan mengajak kita menjadi masyarakat pembelajar. Berani membaca realitas lalu mau secara jernih menilai atau mengevaluasi apa yang sudah kita lakukan. Adakah yang sudah dilakukan memiliki dimensi yang lebih baik, stagnan atau malah mundur? Kegairahan melakukan introspeksi, biasanya sejalan dengan upaya kondusif dan konstruktif. Sehingga kegagalan atau kekurangan tidak lagi menjadi ajang “konflik” tempat segala sumpah serapah bermuara, tapi justru menjuadi bahan evaluasi dan bahan komparasi.
Kedua, introspeksi merupakan langkah paling kondusif untuk menguatkan daya ingat. Baik daya ingat individu maupun sosial. Dalam skala apapun semangat untuk melakukan introspeksi akan menjadi filter efektif untuk mencegah diri dari pengulangan kesalahan yang sama.
Ketiga, semangat introspeksi cenderung memperkokoh terbangunnya kesepahaman bersama. Sebab lewat semangat introspeksi, biasanya tertanam jiwa besar dan solidaritas dalam mengatasi setiap problematika sosial.
***
Berangkat dari pemikiran di atas, menarik juga jika – barangkali — kata “pun” yang ada dalam puisi bang Tardji kita pinjam untuk memotret realitas hari ini. Terutama untuk mencermati dinamika politik – khususnya yang berkaitan dengan semangat kampanye — yang terakhir ini tensinya kian naik. Apalagi, kampanye hitam, keliatannya cukup mendapat tempat di jaringan media sosial, khususnya dalam rangka menjelekkan lawan sembari menjagokan pilihan.
Kenyataan ini perlu kita cermati sehikmat-hikmatnya, sebab ini selain tidak mendidik, kampanye hitam adalah reaksi atau strategi paling ngawur dari sebuah upaya membangun kepercayaan dan masa depa bangsa. Kampanye hitam cenderung tidak mengajarkan kita untuk selalu berada dalam nuansa introspektif.
Kenapa harus membangun kampanye hitam? Gentlementkan seorang pemenang jika ia menang hanya karena sukses menjelek jelekkan lawan? Bersihkan mereka yang menjelek-jelekkan orang lain dari kemungkaran? Yang pasti ini bukan tradisi luhur orang Indonesia yang Pancasilais! Sebab apakah nantinya kita akan keluar dari Indonesia jika kelak jago yang kita jelek-jelekkan mendapat suara terbanyak dalam pilpres? Lalu bukankah yang mencela dan yang dicela pada akhirnya akan sama sama “pun”? Terus apakah image buruknya –yang belum tentu benar – mau kita biarkan melekat dalam diri sang kepala negara? Naudzubilllah. Apa kata dunia?
Dalam perspektif inilah sebaiknya kita gunakan semangat introspektif sebagai salah satu modal kampanye. Semangat ini diterjemahkan ke dalam bentuk pensosialisasian program yang diusung oleh sang calon. Program inilah yang sesungguhnya menjadi bahan efektif untuk membangun solidaritas pemikiran dalam diri masyarakat. Platform presiden bisa membuat rakyat merasa “pun”. Sepemikiran.
Terutama karena realitas obyektif Indonesia hari ini masih banyak yang belum dimengerti oleh sebagian besar anak bangsa. Dan sejujurnya, kita juga perlu tahu, kita akan dibawa ke mana oleh para calon presiden kita kelak – jika terpilih menjadi presiden. Maka arifnya momentum kampanye ini penting digunakan untuk melakukan tiga hal.
Pertama menjelaskan posisi Indonesia hari ini. Supaya rakyat terang benderang melihat realitas bangsanya. Potret pemerintahan dan politik kita seperti apa, dan nanti mau dijadikan apa? Potensi bangsa ini sudah tinggal berapa dan akan dioptimalkan seperti apa? Realitas kompetititor hari ini seperti apa, dan bagaimana kita menghadapinya – terutama karena ini zamannya globalisasi? Ini semua harus dibangun sepamahamannya dengan semua anak bangsa.
Kedua, kita harus berani introspeksi. Mari kita lihat dengan seksama, apa yang selama ini menjadi kendala bagi kemakmuran negara Indonesia tercinta pada hari ini. Apa yang menyimpang? Apa yang membuat “pertumbuhan dan kemajuan negara ini” tersendat. Dimana bottle neck nya? Lalu bagaimana solusi atas semua ini? Apa programnya? Apa targetnya? Kapan tercapainya?
Ketiga, kita juga harus diberi gambaran, kira-kira tim yang nanti akan dipercaya untuk mengemban amanah ini, tim seperti apa? Sekali lagi, bukan nama yang patut disebut, tapi kualifikasi dan kompetensinya. Sehingga masyarakat memahami dengan jelas kekokohan “tim” yang akan dibentuk.
Nah, semua ini bisa dikemas apik dalam platform sang Capres untuk disajikan kepada rakyat Indonesia hari ini. Ini lebih baik dari pada mikiran strategi menang dengan cara black campagn. Sehingga rakyat yang memahami sosok calon presidennya, yang sepaham dengan alur gagasan dan pemikiran sang capres, di bilik suara nanti tinggal berdehem “pun” lalu mencoblos calon pilihannya dengan hati dan jiwa yang lapang. Lha kalau calonnya tak menang? Tak apa ia bersama sama dengan capres yang kalah akan tetap legowo, karena yang menang itu “pun” pilihan bangsa ini.