Wildan Nasution, pemerhati masalah strategis Indonesia dan salah satu pendiri CERSIA, Jakarta Selatan
Pada tahun 2012, salah satu lembaga riset yang disponsori oleh Angkatan Udara Amerika Serikat melakukan penelitian tentang strategi propaganda dan manipulasi melalui jaringan sosial media. Para peneliti berupaya untuk mengetahui bagaimana pemikiran masyarakat dapat dirubah dan pandangannya tentang dunia. Penelitian ini menemukan bahwa web dan jaringan sosial media sangat esensial mengambil peranan dalam kehidupan setiap individu dan dapat berkembang menjadi senjata persuasi massal. Namun, para peneliti meski mengetahui bahwa media sosial dan jaringan web telah berpengaruh dahsyat terhadap pikiran dan cara pandang masyarakat, mereka juga menyatakan kesulitannya dalam menangani dampak perubahan yang cepat tersebut.
Secara empiris, revolusi bidang tehnologi informasi telah meningkatkan koneksitas antar individu, melampaui sekat ruang dan waktu. Akses informasi begitu cepat, intens, masif dan dalam spektrum jangkauan yang massal dan luas. Paparan informasi yang demikian telah menjadikan media sosial menjadi instrumen baru yang bernilai strategis bagi berbagai kepentingan. Tiap individu menjadi subjek dan sekaligus objek dari tindakan komunikasi yang intens. Keputusan terdesentralisasi di tangan tiap individu. Siapapun yang bisa menjangkau dan membangun hubungan secara intens dengan setiap individu maka memiliki peluang besar untuk mempersuasi pikiran dan tindakan dalam kerangka kepentingan tertentu seperti bisnis, politik, dan sebagainya.
Media Sosial Sebagai Corong Propaganda
Dalam artikel berjudul “How Tech Can Fight Extremism,” yang dimuat di CNN News pada17 Februari 2015, disimpulkan bahwa kelompok teroris dan organisasi radikal, terutama ISIS telah memperkuat kemampuan untuk menggunakan media sosial dan jaringan virtual lainnya untuk memperluas jaringan dan dukungan secara global, mengakses sumber-sumber pendanaan, rekrutmen dan propaganda mainstream politik baru secara massif melampaui batasan yang mampu dilakukan oleh pemerintahan suatu negara maupun komunitas dalam masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa media sosial telah menjadi salah satu instrument strategis yang digunakan oleh kelompok terror dan radikal guna memperkuat operasinya dalam skala global.
Michelle Hughes dan Michael Miklaucic dalam buku berjudul Impunity: Countering Illicit Power in War and Transition, menjelaskan bahwa penggunaan jaringan virtual, seperti media sosial sebagai instrumen radikalisasi dan rekruitmen secara online akan membangkitkan simpati dari individu-individu yang merasakan kondisi yang memicu solidaritas, semisal kemiskinan, ketimpangan sosial, dan frustasi politik. Individu ini akan tergerak untuk meningkatkan aksesnya pada situs, chatt room, jurnal online, streaming video propaganda, dan berbagai media online lainnya. Simpati ini dapat berkembang menjadi dukungan ketika intensitas akses online ini berlanjut dan relasi yang bersifat makin intim dengan individu lain atau group yang memiliki kesamaan basis pembentuk solidaritas dan simpati terhadap kelompok radikal maupun teroris. Dukungan ini dapat berupa donasi, sumber daya personel, maupun jaringan pengamanan yang diperlukan bagi perkembangan gerakan radikal.
Pengalaman bagaimana media sosial mengambil perananan dalam propaganda radikalisme juga merupakan realitas di Indonesia. Para pelaku teror terbukti memanfaatkan jaringan online untuk mengupload propaganda baik video, artikel, maupun informasi yang ditujukan untuk menunjukan eksistensi, menggalang simpati maupun seruan operasi atau gerakan radikal. Bahrun Naim, anggota ISIS otak pelaku teror Bom Sarinah dikenal piawai dalam menggunakan media sosial untuk menyebarluaskan artikel propaganda, blog, instruksi teror, dan mengakses serta mendanai operasi teror di Indonesia. Begitupula dengan kelompok pimpinan Santoso yang menggunakan Youtube sebagai propaganda teror eksekusi dan pesan ancaman pada aparat keamanan.
Kelompok radikal telah mengembangkan kemampuan untuk melakukan framming dengan metode kanalisasi dan redundancydalam transmisi berbagai informasi dan komunikasi virtualnya sehingga mampu mempengaruhi individu dan masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk memfilter informasi secara kritis. Lihat saja bagaimana kasus Ahok berkontribusi terhadap berbagai persoalan terkait radikalisme seperti munculnya ujaran kebencian terhadap SARA, hoax yang dapat memicu keresahan sosial dan berbagai informasi menyesatkan lainnya yang pada poinnya hendak memperkeruh suasana.
Langkah Antisipasi
Media sosial dan jaringan online menjadi sangat strategis karena dapat bersifat anonymity, spektrum yang luas dan no cost atau berbiaya murah sebagai sarana komunikasi massal. Hal ini menjadikan media sosial pilihan yang efektif untuk menyebarluaskan berbagai pandangan politik, termasuk pandangan yang radikal kepada siapa saja yang memiliki koneksitas dengan jaringan online. Karena itu, perlu respon yang terpadu guna mencegah dampak negatif dari perkembangan tehnologi informasi, terutama menyebarluasnya informasi, pandangan dan paham yang memicu radikalisme dan teror kekerasan.
Langkah yang telah ditempuh Kominfo dengan meningkatkan patroli siber guna mencegah penyebarluasan konten-konten mengandung muatan radikalisme menjadi sangat relevan. Pemblokiran akses pada situs atau we dapat menjadi alternatif yang ditempuh guna membatasi ruang gerak situs, web dan media sosial yang mempromosikan paham radikal. Namun demikian, perlu ditetapkan parameter secara jelas sehingga maksud daripada pemblokiran paham dan konten radikal tidak menjadi momok bagi kebebasan berekspresi di dunia maya.
Selain itu, perlu dikembangkan pemahaman dalam masyarakat agar menjadi lebih kritis terhadap informasi dan konten yang diakses atau didapat dari dunia maya. Masyarakat atau individu merupakan dapat menjadi pelaku sekaligus korban paparan informasi atau konten radikal sehingga perlu dididik lebih cerdas dalam menggunakan tehnologi informasi. Hal ini dapat dilakukan dengan mensosialisasikan secara intens berbagai regulasi yang mengatur penggunaan media online sehingga terbentuk masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga dunia maya. Selama ini, keberadaan UU ITE lebih banyak digunakan untuk menjerat pelaku dengan informasi atau konten yang memiliki dimensi atau bobot politik. Mestinya, UU ITE juga dapat digunakan sebagai landasan penegakan hukum dalam memerangi konten radikal dan jaringan komunikasi yang dilakukan oleh kelompok radikal maupun teroris sehingga menjadi shock therapy bagi penyebar konten radikal.
Aspek lain yang dapat dilakukan dalam kerangka mencegah berkembangnya paham radikal dalam dunia maya adalah kemampuan daripada masyarakat maupun pemerintah dalam kontra opini atas informasi dan propaganda kelompok radikal di media sosial. Seringkali yang terjadi baru sebatas pemblokiran atau penutupan akses informasi terhadap web atau aplikasi yang menyebarkan paham radikal. Upaya kontra opini yang tidak kalah penting justru terlambat dilakukan sehingga paham radikal terlanjur menguasai mindset individu atau masyarakat. Melalui pengembangan kemampuan kontra opini, diharapkan dapat menjadi semacam deframing bagi informasi yang dilakukan kelompok radikal sehingga masyarakat memiliki alternatif dan sumber informasi yang beragam.
*) Penulis adalah pemerhati masalah strategis Indonesia dan salah satu pendiri CERSIA, Jakarta Selatan.