Otjih Sewandarijatun, alumnus Universitas Udayana, Bali. Mantan Direktur Komunikasi Massa di LSISI Jakarta
Tidak pernah dibayangkan akan muncul reaksi dari kalangan umat Islam yang demikian masif terhadap isu penistaan agama. Diperkirakan ratusan ribu hingga jutaan umat berunjuk rasa di berbagai daerah menuntut agar Basuki Tjahaja Purnama atau akrab dipanggil Ahok segera diadili atas tudingan penistaan agama. Meski Ahok telah meminta maaf pada 10 Oktober 2016 terkait ucapannya yang dianggap melecehkan Al Quran dan klarifikasi bahwa dirinya tidak bermaksud menghina agama Islam, tidak lantas membuat masalah yang terlanjur mengemuka menjadi reda. Bahkan, tuntutan agar Ahok di seret ke Pengadilan justru semakin kuat disertai dengan gelombang aksi unjuk rasa yang populer dengan Aksi Bela Islam I (14 Oktober 2016), aksi Bela Islam II atau Aksi 411 di depan Istana oleh ratusan ribu umat Islam, dan Aksi Bela Islam III atau Aksi 212 “Super Damai” akhir tahun 2016.
Kasus penistaan agamaberawal dari pidato Ahok saat meninjau program pemberdayaan budidaya ikan Kerapu di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribupada27 September 2016 lalu.Dalam pidatonya, ada kalimat yang sesungguhnya tidak relevan dengan tujuan dari kunjungan kerja tersebut, dan akhirnya memicu kemarahan umat Islam, yakni “..jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu enggak pilih saya. Dibohongin pakai surat Al Maidah ayat 51, macam-macam itu. Itu hak bapak ibu..”. Rekaman video pidato Ahok ini segera menjadi viral di media sosial setelah diupload oleh Buni Yani dalam akun Facebook yang diduga telah diedit dengan menghilangkan kata “pakai”. Polri sendiri telah menetapkan Buni Yani sebagai tersangka dugaan pelanggaranPasal 27 (ayat 3) yang berkaitan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik, dan pasal 28 (ayat 2) berkaitan dengan penghasutan terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam UU ITE.
Bak bola salju yang terus menggelinding, Ahok menuai akibat dari perilakunya sendiri yang kerap memicu kontroversi. Kelompok pengacara dari Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) pada 6 Oktober 2016 melaporkan Ahok ke Polridengan tuduhan menistakan agama.Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa Ahok secara nyata telah menista agama melalui pernyataannya menyitir terjemahan Surat Al Maidah ayat 51.Ahok juga dituding telah menghina Al Qur’an dan ulama sehingga MUI merekomendasikan agar pemerintah menindak tegas pelaku penodaan agama sekaligus meminta Kepolisian proaktif dalam penegakan hukum secara tegas, cepat, profesional, serta memperhatikan rasa keadilan masyarakat.Fatwa MUI ini kemudian direspon oleh sejumlah ormas Islam yang dimotori oleh FPI yang dipimpin oleh Habib Rizieq dengan membentuk Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI atau GNPF-MUI.
Harus diakui bahwa kasus Ahok ini telah memicu goncangan sosial politik secara nasional.Pro kontra berkembang di masyarakat disertai dengan berbagai isu yang dikaitkan dengan ancaman kebhinekaan, intoleransi, serta munculnya kelompok radikal yang menyusup memanfaatkan situasi.Suasana persaingan politik Pilkada sedikit banyak juga dituding ikut mengeskalasi kasus Ahok mengingat posisi Ahok juga sebagai petahana yang mencalonkan diri dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Hal ini semakin rumit ketika masyarakat yang intens dengan tehnologi informasi hampir setiap saat terpapar oleh berbagai informasi melalui media massa maupun media sosial yang simpang siur dan dapat mendistorsi isu utama penegakan hukum kasus Ahok.
Simalakama Penegakan Hukum
Meski banyak kalangan menyayangkan sikap pemerintah yang dianggap lamban dalam merespon aspirasi umat terhadap isu penistaan Agama oleh Ahok, namun langkah maju telah diambil oleh pemerintah Jokowi dalam merespon tuntutan umat Islam pada 5 November 2016 melalui konferensi persyang meminta agar Polri segera menuntaskan kasus Ahok sesuai hukum patut diapresiasi. Hal ini menunjukan bahwa pemerintah memiliki pertimbangan yang mandiri tidak semata-mata tunduk pada tekanan massa. Namun, Presiden juga menyayangkan adanya upaya politisasi aspirasi yang disampaikan umat Islam oleh para aktor politik yang justru dapat mencederai kemurnian gerakan umat Islam dan berpotensi menimbulkan kericuhan.Selain itu, sejumlah aksi juga digelar oleh berbagai kelompok masyarakat dengan maksud menggelorakan kembali semangat kebhinekaan, toleransi dan persatuan. Hal ini bentuk moral force agar kasus Ahok tidak berkembang pada kondisi yang dapat membahayakan persatuan dan kesatuan negara.
Kini, bola ada di tangan pengadilan yang menyidangkan kasus Ahok. Setelah gelar perkara yang dilakukan secara terbuka, akhirnya Polisi menetapkan Ahok sebagai tersangka kasus penistaan agama. Selama proses penyidikan, polisi telah mewawancarai 29 saksi dari terlapor dan pelapor serta 39 orang ahli dari berbagai bidang yaitu antara lain ahli agama, bahasa, serta digital forensik. Jaksa sendiri kemudian menjerat Ahok dengan pasal penodaan agama dakwaan alternatif antara Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP dengan ancaman kurungan 5 tahun penjara. Proses pengadilan sendiri saat ini telah bergulir setelah eksepsi Ahok ditolak oleh pengadilan.
Jika melihat perkembangan selama proses pengadilan, tampak jelas bahwa kasus Ahok akan menjadi sorotan dari berbagai kelompok umat Islam, terutama yang dikomando oleh GNP-MUI yang bertekad memastikan bahwa peradilan berjalan sesuai dengan hukum dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Tak kurang ribuan massa anti Ahok hadir mengawal persidangan dan berhadapan dengan pendukung Ahok yang hanya berjumlah puluhan. Kelompok yang dimotori oleh GNPF-MUI bahkan menyerukan akan mengerahkan aksi lebih besar jika Ahok tidak divonis masuk penjara. Hukum akan dianggap bekerja dengan baik dan adil jika menetapkan Ahok sebagai terpidana dan masuk penjara akibat terbukti menistakan agama.
Pengadilan Ahok ini akan menjadi simalakama, apapun putusannya akan berpotensi memicu pro kontra dalam masyarakat. Resiko terbesar akan muncul jika pengadilan tidak menjatuhkan vonis pidana penjara terhadap Ahok. Reaksi umat Islam akan lebih besar dari sebelumnya mengingat munculnya berbagai isu tentang aksi susulan Bela Islam jilid IV. Tekanan hukum maupun politik pada GNPF-MUI maupun Habib Rizieq justru akan memupuk solidaritas dan militansi yang kuat untuk memobilisasi massa lebih besar.
Jika Aksi Bela Islam IV terjadi, maka akan sulit untuk untuk dikendalikan mengingat gerakan massa sangat potensial untuk disusupi dengan agenda-agenda politik yang dapat diarahkan guna mendelegetimasi kekuasaan dan dapat berakhir dengan goncangan sosial politik yang lebih besar. Belajar dari pengalaman aksi sebelumnya, mobilisasi massa yang demikian besar ternyata tidak hanya melibatkan umat Islam yang terikat secara formal dengan afiliasi keorganisasian tertentu, namun telah menarik solidaritas luas dari orang per orang yang tergerak secara sukarela karena didorong oleh kesadaran teologis ketika dihadapkan pada isu penistaan agama. Sangat dimungkinkan, bahwa umat yang bergerak secara sukarela ini jumlahnya lebih besar dibandingkan yang dimobilisasi karena keanggotaan organisasi tertentu.
Sumber : Google
Saat ini terlanjur berkembang persepsi bahwa kasus Ahok harus berakhir dengan vonis penjara, apalagi ada rujukan kasus penistaan agama dimasa lalu. Sebagai catatan, HB Jassin divonis hukuman percobaan satu tahun gara-gara cerpennya yang berjudul Langit Makin Mendung, tahun 1968, dianggap menistakan agama karena penggambaran tentang Allah, Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril. Arswendo Atmowiloto dipenjara selama 4 tahun 6 bulan dengan tuduhan penistaan agama akibat survei tokoh pilihan pembaca oleh Tabloid Monitor menempatkan Nabi Muhammad di urutan kesebelas, sedangkan nomor satu diduduki oleh Presiden Soeharto.Kasus lainnya adalah Lia Aminudin atau Lia Eden yang mengaku sebagai Imam Mahdi dan mendapat wahyu dari Malaikat Jibril, serta mengaku bertemu Bunda Maria.Lia Eden dituding menistakan agama dan dijebloskan ke penjara tahun 2006 dan tahun 2009.
Preseden hukum dimasa lalu dimana kasus penistaan agama yang mendapat perhatian publik hampir dipastikan berakhir dengan vonis penjara. Hal ini menjadi semacam justifikasi yang membenarkan tuntutan massa bahwa karena itu penegakan hukum identik dengan memastikan Ahok masuk penjara. Hal itu berkelindan dengan berkembangnya keyakinan akan munculnya musuh-musuh Islam yang dianggap akan semakin besar dan berada di belakang Ahok jika Ahok lolos dari jerat hukum. Situasi ini membuat masyarakat sulit untuk melihat pokok perkara dengan jernih dan objektif, serta akan berpengaruh terhadap proses persidangan itu sendiri. Secara sosiologis, kasus Ahok telah menyeret masyarakat dalam subjektifitas keyakinan keagamaan yang mendorong terjadinya in group dan out groupserta menciptakan garis demarkasi yang jelas antara umat Islam dan apa yang dipersepsikan sebagaidi luar Islam. Faktor-faktor laten yang disebut George Simmel, sosiolog Jerman abad 19, telah muncul dan mengeskalasi keresahan sosial yang potensial menjadi konflik.
Namun demikian, jika pengadilan memutuskan Ahok dihukum, tentu hal ini juga tak luput dari pandangan kontra. Kelompok kritis akan beropini bahwa peradilan tidak berjalan secara adil karena tunduk pada tekanan massa atau trial by mob. Putusan ituakan dianggap sebagai preseden yang kontraproduktif bagi kebebasan beragama dan justru memupuk berkembangnya intoleransi. Di satu sisi memang dapat menciptakan stabilitas sosial, namun di sisi lain akan berpengaruh terhadap persepsi kalangan minoritas tentang kepastian jaminan terhadap eksistensinya. Karena, Ahok dipersepsikan sebagai representasi di luar mayoritas yang terancam eksistensinya akibat tekanan massa. Persepsi ini bisa menjadi missleading, karena yang dipersoalkan oleh umat Islam bukanlah atributal yang melekat pada Ahok, baik suku maupun agamanya, namun lebih pada pribadi perilaku Ahok itu sendiri.
Kini, pengadilan telah berjalan guna menggali fakta dan menentukan keputusan atas tuntutan para Jaksa.Penegakan hukum dalam proses peradilan Ahok tentu pada akhirnya adalah mengambil resiko, namun dengan ketentuan hukum yang berlaku secara adil dengan berpijak pada fakta-fakta yang kredibel. Pepatah hukum mengatakan “fiat justitia ruat caelum, tegakan keadilan meski langit runtuh”. Hal ini menunjukan bahwa selalu ada sisi dari penegakan hukum dan semua adalah pilihan resiko.Apakah hasilnya akan menetapkan Ahok sebagai terpidana atau justru membebaskannya dari tuntutan, tentu harus melalui proses hukum yang adil dan kredibel. Karena itu, menjadi penting bagi semua pihak untuk dapat memberi kesempatan pada sistem hukum yang berlaku di Indonesia bekerja secara profesional dan transparan sehingga masyarakat dapat menilai bahwa hukum dapat dipercaya sebagai mekanisme mencari keadilan.