Membaca Konflik Presiden Versus Presiden Terpilih

Bagikan artikel ini
Analisis atas Silent Conflict Pasca Pilpres 2024
Tulisan ini dilatarbelakangi asumsi-asumsi liar di ‘dark web‘. Tidak masalah. Maka, ibarat puzzel berserak, penulis mencoba merangkai lalu menyusunnya menjadi sebuah bentuk atau sesuatu yang dapat dilihat, dibaca, dan dinilai. Sedang akurat atau tidaknya analisis ini, tergantung bagaimana persepsi orang sesuai kompetensi. Bebas menilai.
Pasca-Pilpres 2024, serta usai KPU dan MK memutus Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, kegaduhan politik bukannya melandai (cooling down), diam-diam justru meningkat tapi tak nampak di atas permukaan. Ini yang unik. Ada silent conflict tidak kasat mata.
Jika dipetakan, pertempuran senyap tengah berlangsung antara dua kubu saja. Apabila ada kegaduhan dari kubu lain itu sekadar jeda iklan. Hanya abang-abang lambe alias tidak sungguh-sungguh dalam berseteru.
Pertanyaannya adalah, “Antara kubu mana dan motifnya apa?”
Tak lain, konflik senyap itu antara kubu Prabowo sebagai Presiden Terpilih pada satu sisi, berhadapan dengan Jokowi selaku Presiden (Definitif) di sisi lain. Kok, bisa? Publik pasti melongo termasuk masing-masing pendukung. Ini isu langka lagi fenomenal. Dua pertanyaan menggelitik muncul:
1. Bukankah selama ini mereka berdua terlihat seiring sejalan; apalagi Gibran —putra Jokowi— menjadi Wakil Presiden Terpilih mendampingi Prabowo?
2. Bahkan, sewaktu Pilpres, disinyalir kuat (meski di MK tak terbukti akibat ‘palu godam’) Jokowi mendukung Prabowo. Lalu, apa motif dalam silent conflict antara kedua tokoh bangsa tersebut?
Kedua pertanyaan tadi berputar-putar di langit IKN dan awan hitam di Jakarta. Antara iya atau tidak. Memang. Dinamika politik praktis itu mirip kredo dunia intelijen: “Yang tak nampak belum tentu tidak ada, apa yang terjadi bukanlah yang sebenarnya berlangsung”. Kredo ini, pararel dengan asumsi Pepe Escobar, senior wartawan AsiaTimes, 2007, “Politik praktis itu bukanlah apa yang tersurat, melainkan apa yang tersirat”. Itu inti poinnya.
Katakanlah, jika publik mengkaji isu tersebut dari perspektif sebab-akibat, niscaya nihil. Sebab, di permukaan tampak landai, terlihat baik-baik saja. Namun, apabila dicermati secara jeli terutama dari sisi tanda-tanda, akan tercium ‘bau tak sedap’ di antara mereka, misalnya, jelang pelantikan 20 Oktober 2024 —ini salah satu contoh saja— terlihat geliat Prabowo merajut para pensiunan TNI-Polri di satu pihak, sedang pada pihak lain, melalui safari ke daerah-daerah dan berbagai upaya, Jokowi terlihat merawat serta menguatkan ‘dinasti dan kaki’-nya karena terindikasi seperti diselimuti kekhawatiran serta kegelisahan. Entah kegelisahan dalam hal apa.
Puzzle pun perlahan tersusun. Kendati masih samar, tapi mulai terlihat sketsa. Seandainya konflik meletus secara faktual, yang berhadapan kelak justru jejaring lama dan old soldiers rajutan Prabowo melawan sisa-sisa massa dari era keemasan Jokowi, baik massa pragmatis maupun massa ideologis. Sedangkan jalur dan pemicu konfik diprakirakan melalui dua pintu, antara lain:
Pintu I: Perebutan kursi Kabinet 2024-2029, kenapa? Karena oligarki ekonomi dan oligarki politik ikut cawe – cawe atas nama politik balas budi dan budaya titip orang. Isu Presidential Club dan upaya Prabowo membentuk 40-an kementerian pada kabinetnya merupakan isyarat bahwa ia ingin menampung oposisi;
Pintu II: potensi konflik juga berkelindan atas hasil kompromi politik yang bersumber dari ‘tiga dinasti’ — keinginan tiga partai besar pemenang pemilu — termasuk ditariknya kembali Partai Islam yang tersingkir dari Senayan; dan lainnya.
Hal (motif konflik) utama yang tak terdeteksi publik hingga kini, bahwa Jokowi disinyalir kuat masih ingin melanjutkan kekuasaannya melalui perpanjangan masa jabatan (tiga tahun). Itu penyebab pokoknya.
Narasi yang dilempar: “timbul konflik di atas permukaan”. Kemudian lewat konflik tersebut, pihak otoritas mendorong solusi melalui dua opsi, atau kedua opsi digelar secara simultan dengan intensitas berbeda tergantung kontinjensi, yaitu:
Opsi ke-1, diterbitkan Perppu pembatalan hasil Pilpres. Namun, hasil Pileg tetap sah alias lanjut; dan/atau
Opsi ke-2, diterbitkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945 guna mengulang Pilpres lewat MPR RI selaku Lembaga Tertinggi Negara dalam rangka menghindari perpecahan anak bangsa yang cenderung permanen akibat dampak Pilpres langsung (one man one vote).
Ya. Pilpres di MPR nantinya diikuti berbagai tokoh bangsa yang memenuhi persyaratan. Silakan mengelus jagonya masing-masing. Termasuk Jokowi sendiri bisa mencalonkan kembali karena berbasis aturan/konstitusi baru yakni UUD 1945 Naskah Asli.
Demikian catatan ini disajikan. Memang akan muncul reaksi dan persepsi beragam di publik bahwa tulisan ini dianggap fiksi, atau hanya karangan bebas, atau ada juga yang menilai sebagai prakiraan out of the box. Silakan saudara memilih mana.
Yang jelas, sebagaimana dijelaskan sekilas di atas bahwa analisis ini tidak berbasis perspektif sebab – akibat, tetapi mencermati gelagat alias tanda-tanda yang berkelebat di lorong-lorong perpolitikan tanah air. Atau dalam bahasa kerennya, membaca yang tersirat dari apa yang tersurat.
Wait and see!
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com