Menanti Keruntuhan ‘Pilar Pertahanan’

Bagikan artikel ini

Dina Y. Sulaeman, Peneliti Tamu pada Global Future Institute, penulis buku Ahmadinejad on Palestine

Baru sembilan hari berlalu sejak kegagalan operasi militer ‘Pilar Pertahanan’, Israel harus menerima pil pahit lagi, dipermalukan di ranah diplomatik. Bayangkan saja, dari sekian banyak negara Barat yang selama ini menjadi sekutunya, hanya tiga negara yang secara tegas menyatakan penolakan terhadap pemberian status ‘negara’ kepada Palestina, yaitu AS, Kanada, dan Ceko. Selain ketiga negara ini, pendukung Israel hanya Panama dan empat negara di Pasifik yang jarang didengar namanya: Marshall Islands, Micronesia, Nauru, dan Palau.

Dalam dunia diplomasi, kata-kata menjadi sangat sensitif dan harus dipertimbangkan baik-baik, apalagi bila menyangkut negara yang selama ini sangat diistimewakan, Israel. Biasanya, di sidang-sidang PBB, perdebatan untuk memilih kata ‘mengecam’, ‘mengutuk’, atau ‘menyesalkan’ saja bisa memakan waktu panjang. Namun kini, 138 negara, termasuk Prancis, Rusia, dan China bersepakat mendukung Palestina. Bahkan sikap abstain Inggris dan Jerman pun sudah sangat menampar muka Israel.

Israel kini benar-benar menjadi pariah di PBB. Ilusi yang dibangunnya melalui operasi militer yang dalam bahasa Ibrani disebut Amud Anan (bisa diterjemahkan ‘pilar pertahanan’ atau ‘pilar awan’) gagal total. Konon, 3000 tahun lalu, kala kaum Yahudi melarikan diri dari kejaran tentara Firaun, secara gaib muncul pilar-pilar awan yang melindungi mereka. Israel ingin menciptakan ilusi bahwa serangan bomnya yang membabi buta di Gaza adalah upaya untuk melindungi bangsa Yahudi dari kebrutalan musuhnya, yang direpresentasikan oleh pejuang Palestina. Mesin-mesin propaganda Israel selama ini berusaha mencitrakan bahwa Palestinalah yang melakukan kekerasan sementara Israel hanya membela diri.

Namun kini, situasi berubah. Kemajuan teknologi informasi membuat dunia tidak bisa lagi mengaku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di Palestina. Kebrutalan Israel muncul secara live di televisi dan diunggah di you tube. Foto-foto anak-anak Palestina berdarah-darah tersebar luas hanya dalam hitungan detik melalui facebook dan blog. Dunia sudah kehabisan alasan untuk membela Israel. Kini Israel bukan lagi ‘negara kecil mazlum yang dikelilingi oleh Arab barbar yang selalu ingin membunuh Yahudi’; sebuah propaganda yang selama ini sering didengungkan. Citra Israel kini adalah negara kecil yang keras kepala dan menyebalkan karena aksi-aksi brutalnya telah mempermalukan negara-negara Barat yang selama ini mendukungnya.

Dan kini bangsa Palestina tengah bersuka cita, meski serangan bom dan kekerasan militer Israel masih terus berlanjut secara sporadis.  Perjuangan bersenjata Hamas dan Jihad Islam berhasil membuat Israel mengkerut ketakutan. Israel hanya mampu membombardir Gaza selama 8 hari dan segera meminta gencatan senjata karena tak tahan menerima serangan balasan berupa roket-roket yang bahkan sudah mampu menjangkau Tel Aviv. Kemenangan pejuang Palestina kini ditambah pula dengan kemenangan diplomatik dengan disahkannya Palestina sebagai ‘negara pengamat nonanggota’.

Artinya, kini PBB secara resmi memberikan status ‘negara’ kepada Palestina. Sebelumnya, sejak PLO mendeklarasikan kemerdekaan Palestina di Aljir tahun  1988, PBB selalu menyebut Palestina sebagai ‘entitas’. Padahal selama ini sudah lebih dari 100 negara anggota PBB yang mengakui Palestina sebagai negara dan menjalin hubungan diplomatik bilateral dengannya. Lebih jauh lagi, bila menggunakan standar PBB, Palestina sejak jauh-jauh hari sudah memenuhi semua syarat yang ditetapkan oleh PBB untuk diakui sebagai negara, antara lain, memiliki penduduk dan pemerintahan, cinta damai dan mau menerima Piagam PBB.

Sikap ‘cinta damai’ Palestina ditunjukkan oleh Yaser Arafat,  Presiden Palestina pertama, melalui penerimaannya atas Resolusi PBB nomor 181. Resolusi yang dirilis  tahun 1947 itu menghadiahkan 56,5% wilayah Palestina untuk pendirian negara Yahudi, 43% sisanya diberikan untuk negara Palestina, sementara Jerusalem dijadikan wilayah internasional. Penerimaan resolusi ini sebenarnya sudah di luar akal sehat: bagaimana mungkin sebuah bangsa mau membagi tanahnya dengan bangsa pendatang yang secara sengaja didatangkan dari berbagai penjuru dunia dan secara sepihak mengklaim berhak atas tanah itu? Tapi Arafat tetap menyatakan menerimanya.

Tahun 1994, Arafat melangkah lebih jauh lagi untuk membuktikan kemauannya bernegosiasi dengan Israel. Dalam Perjanjian Oslo, Arafat menyatakan bersedia mengakui kedaulatan Israel dan berjanji menjaga keamanan orang-orang Israel. Sebagai imbalannya, Israel mengakui kekuasaan Otoritas Palestina di wilayah Gaza dan Jericho, yang hanya 2% dari seluruh wilayah Palestina yang ditetapkan oleh Resolusi 181. Dalam perjanjian ini, Otoritas Palestina telah dijadikan perpanjangan tangan Israel dalam menekan kelompok-kelompok pejuang Palestina (Hamas, Jihad Islam, dll) yang dalam perjanjian itu disebut sebagai ‘teroris’.

Selanjutnya berbagai perjanjian dan upaya perdamaian antara Palestina dan Israel telah diupayakan, namun pelaksanaannya selalu  menabrak dinding tebal, yaitu sifat alami rezim Zionis sendiri yang memang selalu mengedepankan kekerasan dan ambisi perluasan wilayah. Rezim ini terus melanjutkan pembangunan permukiman di Tepi Barat, meski sekutu dekatnya AS berkali-kali melarang. Selain kekerasan rutin yang dilakukan tentara Israel terhadap warga Palestina dan blokade Gaza,  berbagai operasi militer yang masif pun dilancarkan oleh Israel.

Ini membuktikan bahwa meski Palestina sudah berupaya berbaik-baik dengan Israel melalui perundingan, hak-haknya tetap diabaikan oleh Israel. Inilah poin penting yang perlu diingat oleh Palestina dan negara-negara pendukung Palestina. Benar, ini adalah saat yang manis, namun tidak perlu terlalu lama bersuka cita. Perjuangan membela Palestina masih panjang. Israel telah bersiap membalas kekalahan diplomatiknya ini dengan membangun lebih banyak lagi kawasan permukiman Yahudi di Tepi Barat dan menahan uang pajak Otoritas Palestina. Mesin-mesin propaganda Israel juga mulai berusaha mengalihkan opini publik yang semula mengelu-elukan keberhasilan perjuangan Hamas dan Jihad Islam kepada pentingnya upaya diplomasi. Premis bahwa kekerasan tidak akan berhasil mencapai perdamaian kembali didengungkan, tanpa mengingat siapa yang sebenarnya memulai kekerasan dan yang lebih banyak melakukan kekerasan.

Seperti dikatakan Miko Peled, mantan Zionis yang kini berbalik menjadi pengkritik Zionisme, Israel tidak akan dengan sukarela berhenti untuk melakukan kejahatannya; sebagaimana dulu rezim apartheid di Afsel atau orang kulit putih AS yang tidak dengan sukarela mengakui persamaan hak warga kulit hitam. Rezim-rezim rasis harus dipaksa untuk tumbang dan digantikan oleh rezim yang demokratis, cinta damai, serta mengakui persamaan hak di antara berbagai agama dan ras. Dan untuk mencapainya, dunia internasional harus terus melakukan tekanan terhadap Israel, tidak sebatas memberikan status observer state pada Palestina. Tekanan itu harus dilakukan hingga ‘pilar pertahanan’ rezim rasis Zionis benar-benar runtuh.
[Artikel ini pernah dimuat di Sindo Weekly Magazine no 40, 6-12 Des 2012 dengan judul ‘Selamat Dinda Palestina’]

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com