Menatap Masa Depan Indonesia Ditengah Kepungan Perngaruh Asing, Aseng dan Asong

Bagikan artikel ini

H. Desmond Junaidi Mahesa, SH, MH

Assalamualaikum Wr Wb
Pertama tama marilah kita ucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahkhmat dan karuniaNya kita masih diberikan kesehatan dan kesempatan untuk berkumpul pada hari ini.
Saudara Saudara Yang Kami Hormati,
Pada hari ini tanggal 10 November 2014 merupakan hari yang sangat bersejarah bagi kita bangsa Indonesia, karena pada hari ini kita memperingati Hari Pahlawan Nasional.  Pada hari ini kita mengenang jasa para pahlawan yang telah gugur mengorbankan jiwa, raga dan hartanya untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan negaran kita. Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah yang sangat penting karena pada saat itu telah terjadi perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda yang ingin kembali menguasai Nusantara. Inilah pertempuran paling besar antara pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan merupakan pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia. Di perkirakan sekitar 10.000 bangsa Indonesia sahid di medan laga sementara dari pihak sekutu sekitar 2000 orang tentaranya meninggal dunia termasuk Jenderal Mallaby.
Pertempuran Surabaya menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme/ imperialisme. Pada saat itu para pejuang kita bertempur mati-matian untuk melawan tentara Belanda yang tergabung dalam pasukan sekutu di Surabaya. Padahal saat itu kita hanya mempunyai beberapa pucuk senjata api, selebihnya para pejuang menggunakan bambu runcing. Namun para pejuang kita tak pernah gentar untuk melawan penjajah. Bung Tomo dengan pidatonya yang berapi telah mampu menyulut api semangat arek arek Suroboyo melawan penjajah Belanda.
Pertempuran besar Surabaya pada hakekatnya bukan hanya untuk mengamankan wilayah NKRI, tetapi juga mempertahankan, ideologi dan dasar Negara kita yaitu Pancasila.  Dengan demikian Pancasila sejatinya lahir dari konteks ”masyarakat yang ingin keluar dari belenggu penjajahan”, membentuk nasion Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia. Dalam kebangsaan Indonesia yang hidup dengan perikemanusiaan, permufakatan, untuk masyarakat yang berkeadilan dan berketuhanan. Jelas bahwa para pendiri bangsa selain ingin memperjuangkan sebuah Republik yang lepas dari jeratan imperialisme kolonial, juga terbebas dari sistem ekonomi kapitalisme dan politik liberal!
Sejak dulu kala Indonesia memang menjadi incaran bangsa bangsa lain di dunia karena letaknya yang strategis dan sangat kaya sumberdaya alamnya. Indonesia adalah negara yang sangat luas. Negeri kita  ini sama luasnya dengan penggabungan tujuh negara eropa: Inggris, Perancis, Jerman , Belgia, Belanda, Spanyol, dan Italia. Potensi besar yang dimiliki bangsa Indonesia inilah yang membuat bangsa bangsa lain sangat berminat untuk dapat menguasai bumi Nusantara. Untunglah sejak awal mula kemerdekaan sampai saat ini kita semua tetap terpanggil untuk mempertahankan kedaulatan bangsa.
Sejenak kita perlu menengok kebelakang untuk belajar dari sejarah, alasan mengapa kita harus bersatu sebagai bangsa dalam bingkai NKRI. Sudah cukup lama sebenarnya kita membangun rasa kebangsaan Indonesia yang tumbuh dari sejarah panjang bangsa. Berawal dari hasrat ingin bersatu penduduk yang mempunyai latar belakang yang sangat majemuk, kemudian berkembang menjadi keyakinan untuk menjadi satu bangsa yaitu bangsa Indonesia. Deklarasikan oleh sejumlah pemuda pada saat Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 adalah wujud awal dari semangat kita untuk bersatu sebagai suatu bangsa.
Sejalan perkembangan perjuangan kebangsaan, keyakinan terikat sebagai satu bangsa tersebut kemudian berkembang menjadi paham nasionalisme. Kemudian berangkat dari latar belakang sejarah tersebut didefinisikanlah rasa kebangsaan, yaitu kesadaran berbangsa, merupakan rasa yang lahir secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan, sejarah dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam menghadapi tantangan sejarah masa kini. Dinamisasi kebangsaan ini dalam mencapai cita-cita bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan, yakni pikiran-pikiran yang bersifat nasional dimana suatu bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan nasional yang jelas. Berdasarkan rasa dan paham kebangsaan itu, timbul semangat kebangsaan atau semangat patriotisme.
Tetapi apa yang terjadi setelah 69 tahun kita merdeka ? Saat ini kita tengah berada dibawah ancaman runtuhnya semangat kebangsaan dan rasa nasionalisme itu.
Ditengarai menurunnya semangat kebanggsaan dan rasa nasionalisme itu terjadi karena harapan dan sekaligus kepercayaan publik terhadap kemampuan negara untuk menghadirkan kesejahteraan bagi rakyatnya tidak pernah mewujud dalam kenyataan. Kondisi yang demikian ini jelas membebani siapapun pemimpin Indonesia karena tidaklah mungkin akan dapat memanfaatkan rasa nasionalisme yang ada (karena kadarnya begitu rendahnya) untuk membangun kekuatan dalam menghadapi hakekat ancaman yang saat ini nyata-nyata kini dihadapi oleh bangsa dan negara kita.
Jadi pada hakekatnya rasa nasionalisme hanya akan tumbuh manakala negara membawa manfaat bagi segenap warga bangsanya yaitu pemerintahan negara yang mampu membawa cita-cita dasar negara Republik Indonesia, yaitu  mampu (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, 3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dan sebaliknya ketika negara tidak lagi membawa manfaat bagi warga bangsanya, secara perlahan ia akan dikalahkan oleh kekuatan pasar akibat globalisasi dalam trendnya menuju stateless atau ketidakhadiran Negara.  Tidak dirasakan adanya manfaat keberadaan negara (Indonesia) bagi sebagian besar anak bangsa dan entitas pembentuk negara. Dalam banyak hal rakyat malah dibikin repot dan bahkan dirugikan pemerintah yang mengatas namakan negara. Munculnya perasaan publik bahwa saat ini tidak lagi merasakan adanya pemerintahan, adalah merupakan tanda-tanda lemahnya nasionalisme.
Perasaan seperti itu sebenarnya sudah cukup lama di rasakan oleh rakyat Indonesia. Dapat dikatakan bahwa sejak berkuasanya rejim ORBA-Soeharto, rakyat Indonesia dijerumuskan ke dalam penjajahan gaya baru kapitalisme-imperialisme (Nekolim), ”Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” lenyap dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem ekonomi politik di negeri ini pun semakin menjadi liberal (demokrasi liberal), rakyat tidak terurus. Akhirnya muncul istilah autopilot, dimana negara dan bangsa berjalan sendiri-sendiri tanpa Pancasila sebagi pedoman acuan dalam berbangsa dan bernegara. Sehingga yang akan terjadi negara ini menjadi negeri autopilot dengan pola ekonomi dikontrol oleh pemilik modal dan kekuatan asing.
Saat ini praktek praktek neoliberalisme sangat massif di segala aspek kehidupan berbangsa-bernegara dan bermasyarakat melalui politik, ekonomi, hukum dan sosial-budaya yang menjauhkan kehidupan bangsa Indonesia dari nilai nilai Pancasila.
Arah kebijakan ekonomi dan politik negara–pemerintah semakin menjauhkan negeri ini dari semangat dan cita-cita Pancasila; dengan kualitas hidup rakyat yang semakin rendah, bertambahnya jumlah angka kemiskinan dan pengangguran.
Subversi liberalisme-kapitalisme terhadap Pancasila ini membonceng isu demokratisasi dan reformasi politik di Indonesia.  Dimana demokratisasi dengan kebebasan yang ekstrim telah memperlemah negara dan menjadi peluang bagi munculnya kapitalisme pasar.  Pancasila dianggap sebagai sandungan agenda eksploitasi sumber daya strategis Indonesia yang selama ini dikelola oleh negara melalui kekuasaan pemerintahan.  Pancasila bagi mereka harus diisolasi dari praktek kekuasaan dan ruang agenda publik.
Penetrasi liberalisme-kapitalisme dalam sistem politik tidak hanya memecahbelah persatuan politik, tetapi juga menyebabkan komodifikasi proses politik sehingga berbiaya tinggi dan memicu terjadinya perburuan rente secara masif dan korupsi. Dampaknya adalah terpinggirnya hak rakyat untuk menikmati kue pembangunan yang berkeadilan.  Para politisi berlomba untuk mengejar kepentingan dan keuntungan pribadi dari kursi kekuasaan yang didudukinya.  Pancasila dijadikan jargon-jargon kampanye, namun sepi dari realisasinya.
Jika di identifikasi, lemahnya semangat kebangsaaan dan rasa nasionalisme bangsa Indonesia saat ini selain rakyat merasa ketidakhadiran fungsi Pemerintahan Negara juga dapat dipengaruhi oleh hal hal sebagai berikut:
Yang Pertama adalah Tantangan internal, dengan munculnya kelompok yang ingin melepaskan ikatan nasionalisme melalui gagasan disintegratif yang sangat tidak konstruktif. Hal ini dipicu oleh menguatnya solidaritas serta ikatan sosial berdasarkan etnis, agama, ras atau ideologi sejak reformasi dapat menjadi penyebab hancurnya nasionalisme Indonesia. Pada hal nasionalisme Indonesia seharusnya merupakan sebuah immagined community yang diikat oleh persatuan yang mendalam dan horisontal segenap anak bangsa karena telah terjadi shared ideas mengenai komunitas yang dibayangkan tersebut plus usaha bersama untuk meraihnya. Fragmentasi masyarakat berdasarkan etnis, ras dan agama seperti sekarang ini akan menjadi penghalang utama bagi pertukaran gagasan dan upaya mewujudkan komunitas ideal.
Keberatan beberapa kalangan atas peraturan daerah yang menerapkan syariat Islam di daerahnya atau upaya mempersoalkan kembali  Pancasila sebagai dasar negara yang bersifat final bagi ormas-ormas dan partai-partai Islam adalah salah satu contoh riak riak pudarnya semangat nasionalisme warga bangsa. Yang berbahaya adalah ketika fragmentasi sosial atas nama etnis, suku dan terutama agama berupaya memaksakan immagined community mereka untuk diwujudkan sebuah komunitas yang mereka anggap ideal, dan negara terkesan membiarkan hal ini. Pembatasan suku-suku lain untuk menjadi kepala daerah, larangan membangun rumah ibadah, larangan bagi suku lain untuk hidup di daerah tertentu sebagaimana sering diperjuangkan ormas-ormas tertentu seharusnya dilihat sebagai bahaya yang mengancam eksistensi nasionalisme bangsa ini.
Dengan demikian, bahaya nasionalisme tidak hanya terletak pada fragmentasi sosial berdasarkan etnis, suku dan agama, tetapi juga pada bagaimana kesetiaan kita menjalankan prinsip-prinsip demokratis dan hukum yang jujur dan adil di Indonesia.
Tantangan berikutnya secara internal adalah pengaruh dari ASENG dan ASONG.  ASENG, kata ini penah diintrodusir oleh KWIK KIAN GIE, ketika mengeritik masalah BLBI yg banyak melibatkan konglomerat hitam dan kebetulan diassosiasikan sebagai sekelompok pengusaha keturunan yg banyak melakukan manipulasi perbankan. Sebagaimana dimaklumi BLBI ini merugikan negara sekitar 600an trilyun dan sampai sekarang rakyat harus membayar cicilan/ bungga melalui APBN sebesar lebih kurang 60an trilyun sampai tahun 2032. Kata ASENG lebih dipopulerkan lagi oleh Prof DR Ir Sri Bintang Pamungkas dan kini sudah menjadi milik publik. Maknanya tertuju kepada sekelompok pengusaha keturunan yg terlibat mafia dalam berbagai bisnis disekitar kekuasaan. Bahkan makna ini diperluas dalam artian kepentinggan RRC terhadap Indonesia. Mengingat RRC (Tiongkok) sekarang sudah menjadi superpower. Kenyataannya kelompok Aseng ini sekarang sangat berkuasa di Indonesia. Para cukong yang terdiri dari para Aseng ini menguasai sebagian besar ekonomi Indonesia. Bisnisnya banyak menggurita dan kebanyakan dilakukan dengan melakukan “perselingkuhan” dengan penguasa.
Tentu saja tidak semuia ASENG berkonotasi negatif, karena kelompok kelompok pengusaha bawah dan menengah mereka yang sudah bekerja dengan keras dan jujur, merasa dirugikan oleh kelakuan segelintir konglomerat hitam tersebut. Beberapa pengusaha  dari kelompok bawah/menengah keturunan ini malah mengutuk perilaku Aseng yang menjadi mafia disekitar penguasa tersebut.
Adapun ASONG. Mengandung makna mereka yang MENGASONG negeri ini, bagaikan tukang asongan menjual negara ini dengan proposal bisnis, proposal politik, proposal kemiskinan dan lain, untuk kepentingan pribadi, kelompoknya dan merugikan negara . Sehingga ASONG = Antek/Kolaborator dalam politik = AGENT dalam BISNIS/INTELIJEN.
ASONG ini bisa berwujud PENGUASA yang jadi boneka/antek/agent, bisa BIROKRAT yang menjadi fasilitator yang memperlancar semua kpentingan ASING DAN ASENG. Bisa berwujud INTELEKTUAL/AKADEMISI yg kerjanya mencuci otak rakyat untuk menerima gagasan yang sesungguhnya merugikan kepentingan negara. Bisa juga berbentuk LSM yang membuat proposal kemiskinan/kebodohan bangsanya untuk didanai ASING/ASENG, untuk kpentingan pribadi /LSM tersebut namun sangat merugikan rakyat dan bangsa. ASONG ini bisa juga mewujud dalam bentuk aparat keamanan (TNI/POLRI) yang bersedia menjadi centeng pemilik modal untuk mengamankan bisnis para pemilik modal di Indonesia melawan rakyat.
Sekedar untuk memberikan gambaran peran ASONG yang berbentuk aparat keamanan antara lain tergambar dari peristiwa penembakan terhadap tiga pengunjuk rasa Front Rakyat Anti Tambang (FRAT) di Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat, beberapa waktu yang lalu. Dimana aparat keamanan menembaki dan menangkap warga yang melakukan aksi penolakan terhadap proyek pertambangan. Hal ini menunjukkan bahwa kepentingan bisnis di atas segalanya. Bahkan, menurutnya, perilaku aparat kini tak lagi memperhitungkan akibat dari tindakan tersebut, yaitu merenggut nyawa rakyat.
Perilaku aparat negara dalam insiden Bima itu merupakan perilaku bermental centeng pemilik modal. Perilaku yang hanya mungkin dipertanggungjawabkan kepada pemilik modal, bukan kepada rakyat. Insiden tersebut adalah bentuk kekerasan negara yang secara jelas menunjukkan karakter binal dari kekuasaan. Pasalnya, tidak ada satu pun kaidah hukum, mau pun protap kepolisian yang bisa membenarkan tindakan brutal aparat keamanan dalam insiden tersebut.
Dalam beberapa kasus, aparat keamanan selama ini memang terkesan menjadi centeng pemilik modal ketimbang menjadi pelindung rakyat. Selain di Bima, kekerasan terhadap warga Mesuji, Lampung juga mengindikasikan perilaku aparat yang menyimpang tersebut. Pada hal reformasi, telah memberikan peran dan kewenangan polisi yang besar. Hal itupun ditunjang dengan anggaran yang meningkat. Sehingga, polisi tak lagi menjadi aparat kelas dua di bawah TNI seperti zaman Orde Baru. Keamanan dalam negeri diserahkan kepada polisi, sementara TNI fokus dengan urusan pertahanan. Sangat disayangkan kalau kewenangan yang besar itu justru disalahgunakan untuk memusuhi rakyatnya sendiri. Pada hal secara filosofis, negara dibangun atas dasar kepercayaan rakyat, maka negara seyogyanya harus melindungi kebutuhan rakyatnya. Bukan malah mengambil peranan dengan mendukung aktivitas para pemilik modal. Dalam kaitan ini, oknum ASONG yang diperankan oleh aparat keamanan telah ikut berkontribusi meruntuhkan semangat dan sendi sendi persatuan serta kesatuan bangsa Indonesia.
Perilaku ASONG itulah yang menjadi penyebab bangsa Indonesia hingga saat ini masih terjajah. Kalau kita telusuri ke belakang, dalam setiap penjajahan memang selalu ada orang-orang bumi putera yang membantu dan melayani sang penjajah, termasuk di Indonesia.
Tidak mungkin Belanda negara yang begitu kecil dan sedikit penduduknya bisa menjajah Indonesia ratusan tahun, tanpa bantuan pribumi. Termasuk pasukan militer Belanda jaman dahulu seperti KNIL, banyak menggunakan orang-orang Indonesia sendiri yang menjadi anggotanya dan siap bertempur melawan saudaranya sendiri. Fenomena seperti ini nampak masih berjalan meski kita sudah merdeka hampir 70 tahun lamanya. Banyak warga Indonesia sendiri justru menjadi ‘tangan kanan asing’ dan rela menjual dan menggadaikan Negerinya kepada pihak asing.
Pertanyaannya adalah mengapa bisa sampai sedemikian hebatnya sang penjajah menggunakan ASONG yang berasal dari negara jajahannya sendiri?. Ternyata kalau kita membuka sejarah lama ada peran KNIL disana yang sejatinya ikut mewarisi perilaku ASONG yang sekarang. KNIL singkatan dari Koninklijk Nederlands Indische Leger adalah tentara kerajaan Hindia Belanda yang melayani dan membantu Pemerintahan Hindia Belanda. KNIL, lebih tepatnya serdadu belanda yang terdiri dari orang-orang belanda, tentara bayaran dan sewaan dari negara lain serta warga pribumi (Indonesia).
Tahun 1936 jumlah pribumi yang menjadi tentara KNIL mencapai 33 ribu orang atau sekitar 77%. Tentu tidak mudah begitu saja diterima sebagai tentara KNIL karena akan ditugaskan berperang melawan saudara sebangsanya sendiri. Karena itulah harus melalui proses cuci otak dan seleksi yang ketat, agar tidak terjadi senjata makan tuan.
Rupanya perkembangan zaman tidak membuat paradigma KNIL ini menjadi lapuk. Bahkan sekarang ini kita dapatkan orang berlomba-lomba untuk menjadi “Neo KNIL” alias ASONG dengan iming-iming materi, gengsi dan kehormatan, mereka yang hari ini mentalitasnya Budak Penjajah justru merasa bangga menjadi “Londo Ireng” alias Belanda Hitam (The Zwarte Hollanders). Di Negeri yang budaya feodalis belum hilang seperti ini, atribut materi, pangkat, jabatan dan kedudukan menjadi supermasi. Jangan heran kalau para budak penjajah menempati kedudukan yang terhormat di tengah-tengah masyarakat feodal seperti ini.
Yang Kedua, adalah tantangan eksternal. Salah satu “musah bersama” yang bisa menggerus semangat nasionalisme kita adalah globalisasi. Fakta bahwa globalisasi dapat memusnahkan semangat cinta bangsa sejalan dengan semakin menyatunya negara-negara dalam sebuah global village serta terjadinya homogenisasi kultur yang mengabaikan identitas parsial bangsa-bangsa menyadarkan kita bahwa nasionalisme ada dalam bahaya.
Secara tidak langsung, tatanan sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya Indonesia, mendapatkan pengaruh dari luar, yang tidak semuanya bernilai positif, atau sesuai dengan harkat dan karakter kita sebagai sebuah bangsa. Tantangan globalisasi semacam inilah yang ditegaskannya harus dijawab dengan melakukan internalisasi terhadap ideologi nasionalisme beserta perangkat norma yang mengokohkannya.
Selain itu tantangan globalisasi, tantangan secara eksternal yang sungguh sangat mengkhawatirkan adalah kekuatan ASING. ASING, dalam pengertian disini adalah semua kekuatan bangsa luar yg mengexploitasi bangsa Indonesia . Melalui berbagai kekuatan dan instrumennya mendikte bangsa Indonesia sehingga Indonesia nyata dalam cengkraman mereka. Melalui BANK DUNIA, IMF, ADB, USAID, perusahaan perusahaan multinasional milik asing, Operasi Intelijen dan lain lain mendiktekan kepentingannya sehingga bangsa Indonesia diexploitasi.
Berbicara mengenai kekuatan ASING, Indonesia saat ini kita nyaris sudah tidak bisa berbuat apa-apa dalam mengolah sumber daya alam (SDA) akibat dikuasai negara asing. Meskipun pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya di kuasai oleh Negara dan di pergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat tapi apa yang terjadi sekarang ? sekitar 80 persen sumberdaya alam kita di kuasai asing  termasuk asset negara sekitar 70–80 persen telah dikuasi bangsa asing. Di bidang perbankan misalnya, bangsa asing telah menguasai lebih dari 50 persen, sektor lain seperti migas dan batu bara antara 70-75 persen, telekomunikasi antara 70 persen,  pertambambangan hasil emas dan tembaga yang dikuasi mencapai 80-85 persen.
Freeport menguasai emas, tembaga dan hasil tambang lainnya yang ada di bumi Cenderawasih, sampai habis. Indonesia hanya memperoleh 10% dari hasil seluruhnya. Kontraknya sudah masuk generasi ketiga. Ketika kekuasaan Soeharto hampir berakhir di tahun 1998, Freeport meminta agar kontraknya yang akan berakhir di tahun 2010, diper-panjang 10 tahun lagi sampai tahun 2020.
Batubara sama nasibnya, negara hanya memperoleh sekitar 30%, yang 70% dikuasai oleh pemegang konsesi yang kebanyakan adalah perusahaan dalam negeri dan asing. Perusahaan milik negara maupun daerah hanya menguasai sedikit saja. Seharusnya pemegang konsesi itu hanya mendapat upah jasa pengambilan, sedangkan batubaranya dikuasai negara untuk dijual atau digunakan sendiri.
Sementara itu minyak bumi agak berbeda, karena bagi hasilnya sudah lebih banyak ke negara yaitu 80-85% ke negara dan sisanya ke perusahaan minyak, namun biaya operasinya ditanggung negara, dan cukup mahal. Dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi jika BBM benar benar dinaikkan oleh Pemerintah Jokowi maka asing akan kembali menguasai minyak di sector hilir. Jika selama ini mereka menguasai sector hulu maka dengan naiknya BBM maka SPBU SPBU asing tersebut akan menjadi laku karena disparitas harga dengan SPBU Pertamina sudah tidak besar lagi sebagai akibat dicabutnya subsidi.
Dibidang pariwisata, banyak obyek wisata; yang indah dan menjadi daya tarik wisatawan yang ternyata dikuasai asing dengan cara sewa jangka panjang sampai 70 tahun. Ada yang menikahi penduduk setempat agar bisa menguasai lahan setempat. Celakanya pemerintah daerah tidak memungut pajak secara maksimal, sudah puas karena ada investor.
Dibidang kehutanan,, Hutan belantara Indonesia telah ditebang dijadikan sebagai lahan-lahan perkebunan kelapa sawit yang tentu saja telah merusak lingkungan alam,serta lingkungan sosial masyarakat setempat yang merupakan awal sebuah konflik sosial tersebut. Sekarang tidak kurang dari 40 juta hektar lahan sudah dikuasai investor asing,dan sebagian diantaranya sudah menjadi perkebunan kelapa sawit milik asing seperti : Guthie Bhd (Malaysia)memiliki  lahan seluas 167.908 hektar, Kuala Lumpur Kepang Bhd (Malaysia)memiliki lahan seluas 45.714 hektar, Wilmar International Group (Singapora)memiliki lahan seluas 85.000 hektar, Hindoli -Cargil (AS) memiliki lahan seluas 63.455 hektar, Sipef Group (Belgia)memiliki lahan seluas 30.922 hektar, Golden Hope Group(Malaysia)memiliki lahan seluas 12.810 hektar.
Selain itu  60 persen industri strategis kita telah dikuasai pihak asing seperti perbankan, telekomunikasi, elektronika, asuransi, dan pasar modal, sehingga akan menyulitkan pemerintah dalam meningkatkan nilai tambah sumber daya manusia dan kesejahteraan masyarakat. Adapun perusahaan-perusahaan yang sudah dikuasai asing di bidang telekomunikasi, kata Bambang adalah PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel). Sebanyak 35 persen saham operator seluler terbesar di Indonesia itu dimiliki oleh Singapore Telecom (SingTel), anak usaha Temasek Holdings Pte (BUMN Singapura). Selanjutnya, PT XL Axiata Tbk. sahamnya dikuasai asing 65 persen, Indosat 65 persen, Hutchison Tri 60 persen. Kemudian di industri perbankan, sebanyak 12 bank besar atau 50,6 persen dari total aset perbankan nasional dimiliki oleh asing. Contohnya seperti CIMB Niaga yang dikuasai CIMB Group (Malaysia) hingga 97,93 persen.
Dibidang regulasi, pengaruh asing tidak saja pada amandemen UUD 45, tetapi juga dalam proses penyusunan sebuah undang-undang. Pengaruh asing tidak hanya sebatas konsultasi dan studi banding, tetapi intervensi langsung yang vulgar. Salah satunya dalam penyusunan RUU Penanaman Modal Asing (PMA). Disebut-sebut utusan khusus Perdana Menteri Inggris, Lord Powell ditengarai telah turut campur penyusunan RUU Penanaman Modal. Ketika itu, saat bertemu Wapres Jusuf Kalla, Powell mendesak agar Indonesia segera menyelesaikan RUU PM. RUU PM dirancang menggantikan peraturan lama yaitu UU No. 1967 tentang Penanaman Modal Asing. UU ini dinilai tidak banyak memberikan kontribusi bagi kepentingan nasional.
Kenyataannya, keberadaan RUU PM tersebut yang hasil campur tangan asing, malah menciptakan ketergantungan ekonomi yang lebih parah. Inggris jelas berkepentingan mempengaruhi RUU PM, pada tahun 2005 Inggris memiliki sedikitnya 104 proyek di berbagai sektor dengan nilai investasi terbesar kedua setelah Singapura. Selain itu, disebut-sebut LSM asing yang terlibat dalam proses perumusan legislasi berbagai produk hukum ini adalah lembaga asing asal Amerika Serikat, NDI (National Democration Institute).
NDI memang memiliki program Constitutional Reform yang salah satunya menargetkan Indonesia. Di Indonesia, NDI mengucurkan dana hingga $4,4 miliar untuk mendanai proyek legislasi. Tak hanya itu, untuk memberi akses legislasi secara terbuka, NDI mendapat fasilitas di Badan Pekerja (BP) MPR sehingga agen NDI dengan mudah mengikuti rapat-rapat di MPR. Hasilnya, lahirlah UU Migas, UU Listrik, UU Sumber Daya Air, UU PMA, UU Perburuhan, UU Migas, serta produk hukum lainnya yang pro kapitalisme. Belakangan diantara UU itu dibatalkan oleh MA.
Di sektor pasar modalpun yang selalu dijadikan toluk ukur bagi dinamika perekonomian Indonesia kelihatannya juga antara 60 sampai 70 persen sahamnya dikuasai kapitalis asing, dan BUMN pun 60 persen sahamnya sudah menjadi milik kapitalis asing. Jadi kelihatannya apa yang digembar gemborkan pemerintah bahwa Indonesia kedepan pertumbuhan ekonominya 8 persen kemungkinannya memang benar,tetapi hal itu hanya menguntungkan  para  pemodal asing yang menguasai sebagian besar saham -saham perusahaan BUMN pertambangan, perbankan,telekomukasi, Bursa Efek, perkebunan dan sebagainya.
Sementara bangsa Indonesia akan tergilas oleh waralaba-waralaba asing yang sejak tahun 1970 membanjiri Indonesia,dan menyingkirkan pasar-pasar tradisional rakyat Indonesia sendiri. Kedepan ratusan waralaba asing juga akan membanjiri Indonesia seiring rekayasa lembaga pemeringkat Ficth terhadap predikat Invesmen Grade Indonesia menjadi BBB minus itu. Ketika krisis zona Euro melanda Eropa dan krisi hutang Paman Sam,maka mereka berpaling ke Indonesia untuk memasarkan berbagai produksinya secara besar besaran untuk meraup devisa guna menutup hutang publik Eropa yang sangat besar.
Sepintas lalu dengan banyaknya investor yang masuk ke Indonesia akan sangat menguntungkan Indonesia karena para investor asing memindahkan modalnya ke Indonesia,sehingga dalam konteks makro fenomena ini bisa dianggap menguntungkan.Akan tetapi dalam kaitannya dengan aspek mikro bisa sebaliknya akan menyulitkan perkembangan sektor riil yang sangat penting bagi bangsa Indonesia karena terkait dengan penyerapan tenaga kerja. Apalagi waralaba asing  juga bergerak dalam bidang makanan,minuman serta kebutuhan rumah tangga yang banyak digeluti rakyat Indonesia. Persaingan ini jelas akan memusnahkan penguasaha-pengusaha kecil setempat,yang akhirnya akn tersingkirkan dari tumpah darahnya sendiri.
Adapun bahaya yang paling besar dari penguasaan ASING itu adalah bahwa Asing tidak hanya akan mengendalikan ekonomi tetapi mereka akan mengendalikan semuanya. Kini, diskursus kepentingan asing sudah terlihat merangkak ke arah praktik demokrasi. Seperti munculnya simbol-simbol asing dalam kegiatan kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 yang lalu. Fakta ini adalah preseden yang pertama kali terjadi dalam sejarah perpolitikan kita.
Sehingga siapa pun yang akan berkuasa di negeri ini akan bergantung kepada asing, karena asinglah yang mempunyai modal, merekalah yang menguasai lahan dan kebijakan. Jadi mereka akan mengendalikan rezim yang berkuasa, mengendalikan regulasi, sampai pada kebijakan-kebijakan di tingkat mikro.
Kekuatan ASONG, ASENG DAN ASING mengepung Indonesia saling bergandeng tangan berkolaborasi sehingga melemahkan kedaulatan bangsa Indonesia diberbagai bidang. Mudahnya kelompok kelompok ASING DAN ASENG menguasai Indonesia tidak lepas dari dukungan “ASONG” yang bermental korup dan miskinnya rasa nasionalisme yang dimilikinya. Selain itu system ekonomi liberal yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 turut memudahkan para ASING dan ASENG menancapkan kuku kuku kekuasaanya di Indonesia. Sistem ekonomi liberal yang diterapkan di negeri ini telah menjadikan kekayaan alam mengalir ke luar negeri, selain ke sebagian kecil rakyat—orang kaya dan antek asing. Ini tidak lain karena sumber kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasi oleh asing melalui perusahaan multinasionalnya. Selain itu, bukannya menjadi negara yang bisa bangga dengan kekayaannya, kini Indonesia malah bangga dengan utangnya. Utang Indonesia sudah mencapai lebih dari 1.700 triliun rupiah. Kecenderungannya, utang akan terus bertambah karena asing telah menjebak Indonesia agar terus mengambil utang baru kepada mereka.
Produk-produk dalam negeri tak bisa lagi diandalkan. Para pejabat negeri ini lebih suka mengimpor barang dari luar negeri daripada bersusah-susah memproduksi sendiri. Bahkan beras dan produk-produk pertanian pun harus impor. Padahal katanya Indonesia negara agraris. Ada politik pertanian yang salah sehingga ketahanan pangan Indonesia sangat lemah. Di bidang industri, terjadi proses deindustrialisasi yang menyebabkan tingkat penyerapan tenaga kerja menurun, kontribusi sektor industri ke ekonomi nasional rendah, dan banyak perusahaan yang tak lagi masuk ke sektor industri.
Fakta-fakta tersebut di atas terjadi karena Indonesia menganut ideologi Kapitalisme-liberalisme dengan sekularisme sebagai asasnya. Ini menandakan bahwa Indonesia masih dalam pengaruh penjajahan asing. Asinglah yang mengendalikan negeri ini melalui berbagai kebijakan yang diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan. Asing pula yang menjaga agar Indonesia tidak meninggalkan ideologi ini agar eksistensi penjajah tetap aman dalam mengeruk kekayaan alam Indonesia dengan mudah dan tangan terbuka.
Dalam kondisi seperti ini sangat wajar kalau bangsa Indonesia belum bisa merasakan kesejahteraan sebagaimana cita cita yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Karena pada kenyataannya hingga saat ini kita masih terjajah. Ciri ciri Negara kita masih terjajah adalah :  Negeri ini masih dijadikan sumber bahan baku murah oleh negara-negara industri dan kapitalis yang menjajahnya, negeri ini dijadikan sebagai pasar untuk menjual produk-produk hasil industri asing . Negeri ini juga dijadikan tempat mencari rente dengan memutarkan kelebihan kapital mereka.
Bahkan pemerintahan Negara yang seyogyanya mengantarkan rakyatnya menuju cita cita bangsa, turut larut dalam permainan ASING dan ASONG. Pantaslah kalau kehadiran Negara tidak dirasakan oleh rakyatnya bahkan cenderung malah terkesan menjadi beban.
Kondisi sebagaimana dikemukakan diatas tentunya akan sangat berpengaruh terhadap perjalanan bangsa Indonesia ke depan. Oleh karena itu agar bangsa ini tetap utuh sepanjang masa menjadi bangsa yang besar, mandiri, berdaulat dan disegani bangsa bangsa lain maka diperlukan penyikapan penyikapan yang bersifat konstruktif terhadap tantangan dan hambatan sebagaimana dikemukakan diatas. Karena bagaimanapun, kita menyadari bahwa rasa kebangsaan Indonesia lahir dari suatu sejarah yang panjang. Kita sebagai generasi penerus mempunyai kewajiban untuk melestarikannya. Pelestarian rasa kebangsaan Indonesia merupakan salah satu usaha untuk tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meskipun wacana yang ada menyatakan bahwa telah terjadi penurunan rasa kebangsaan Indonesia, kita tetap harus optimis, karena terbukti masih banyak potensi bangsa ini yang dapat dikembangkan demi tetap terpeliharanya rasa kebangsaan dan dapat dijadikan pijakan untuk usaha-usaha memelihara dan meningkatkan rasa kebangsaan Indonesia itu sendiri.
Beberapa pokok pikiran berikut ini bisa dijadikan langkah strategis untuk membangunkan kembali kejayaan Indonesia Raya ke depan :
1) Untuk membendung kekuatan Asing, Aseng dan Asong, diperlukan political will yang kuat khususnya oleh para pengambil keputusan di negeri ini untuk kembali kepada nilai nilai luhur yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.  Presiden pertama RI Soekarno pernah mengatakan , supaya perjuangan bangsa Indonesia tidak melenceng dari tujuan, maka kehidupan berbangsa harus diberi “pandangan hidup”. Ia harus menjadi leitstar, bintang penuntun arah, bagi perjuangan bangsa Indonesia. Pancasila sebagai landasan hidup bernegara dan bermasyarakat. Pancasila menjadi alat persatuan untuk melawan kekuatan anti penjajahan dan bagaimana memandang dan menjalani hidup bernegara dan bermasyarakat.  Saat ini seakan akan Pancasila telah hilang dalam konstitusi bangsa Indonesia. Sudah waktunya kita kembali kepada pengamalan Pancasila dan UUD 1945 Karena sebagai bangsa yang berdaulat, kita memiliki takaran, filsafat, tradisi, dan sejarahnya sendiri dan itu semua tercantum di Pancasila dan UUD 1945. Meninjau kembali beberapa regulasi yang berbau neolib adalah salah satu langkah diantaranya.
2) Pemerintah Negara beserta jajaran di dorong untuk menjalankan fungsi fungsinya dalam mengemban amanat rakyat. Sehingga rakyat bisa merasakan kehadiran pemerintahan suatu Negara yang bisa mengantarkan kepada tercapainya tujuan kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu: melindungi seluruh bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kepentingan umum,mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia. Jika tujuan ini bisa dicapai maka ini merupakan kontribusi yang sangat besar bagi terbangunnya kejayaan Indonesia raya ke depan.
3) Diperlukan adanya gerakan nasional untuk penolakan paham liberalisme dan kapitalisme di Indonesia, karena neoliberalisme telah terbukti menggerogoti kedaulatan NKRI. Sebagai contoh, di bawah panji neoliberalisme, aparat keamanan seperti TNI dan POLRI terancam kehilangan jati diri sebagai Tentara Rakyat, dan militer hanya akan difungsikan sebagai “centeng” kepentingan kapitalis global.  Jika paham neoliberal ini dibiarkan tumbuh subur di negeri ini, akan mengancam kedaulatan dan ketahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).  Karena neoliberalisme merupakan sebuah mekanisme ekonomi yang sepenuhnya diserahkan pada pasar bebas dunia, dan hal itu tidak sejalan dengan iklim geopolitik-ekonomi Indonesia yang menganut Demokrasi Pancasila.  Di bawah panji neoliberalisme, negara hanya menjadi instrumen untuk menjalankan agenda-agenda kepentingan modal asing, yang bersembunyi di bawah jargon-jargon globalisasi, perdagangan bebas, kebebasan berinvestasi, kepentingan pasar, swastanisasi, dan sebagainya. Negara bahkan tak bisa atau tak leluasa melindungi kepentingan rakyatnya sendiri, karena harus tunduk pada aturan lembaga-lembaga global, seperti: Dana Moneter Internasional (IMF), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan Bank Dunia. Berbagai aset vital yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus diserahkan untuk diprivatisasi (baca: dikuasai pemodal asing). Jika negara sudah tunduk, militer sebagai alat negara tentunya juga hanya bisa menjadi “centeng” yang patuh. Lebih parah lagi, jika tentara akhirnya dipaksa menggunakan instrumen kekerasan yang dimilikinya untuk menginjak rakyatnya sendiri, demi “menjaga iklim investasi” alias mengamankan agenda kaum pemodal global. Maka, jika itu sampai terjadi, akan lenyap pula salah satu jati diri TNI sebagai Tentara Rakyat, yang secara sederhana selama ini dimaknakan sebagai tentara yang berasal dari rakyat dan berjuang untuk rakyat.
4) Pemerintah seharusnya melindungi perusahaan strategis Indonesia, karena berdampak besar terhadap perkembangan ekonomi masyarakat. Penguasaan asing di industri strategis telah mengakibatkan sektor perekonomian rakyat tergusur, dampak lanjutannya adalah kemiskinan dan keterbelakangan. Ini tercermin dari jumlah masyarakat yang masih tidak terjangkau pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan dan sarana usaha, sehingga kualitas sumber daya manusia rendah, teknologi rendah, organisasi lemah, permodalan lemah, pendapatan mereka rendah dan rentan terhadap berbagai penyakit. Karena itu pemerintah harus segera melakukan intervensi terhadap industri strategis nasional. Kebijakan ini intervensi ini untuk memastikan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dikuasai dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
5) Bangsa Indonesiai perlu mewaspadai adanya suatu kelas ekonomi yang secara efektif telah menggunakan mesin militer terbesar di dunia, untuk mencapai “dominasi seluruh spektrum ” (full spectrum dominance) Doktrin neoliberal, yang juga dikenal dengan sebutan Washington Consensus, menggunakan baik kekuatan ekonomi maupun kekuatan militer untuk mendominasi masyarakat-masyarakat di seluruh dunia termasuk Indonesia.
6) Bangsa Indonesia perlu meningkatkan rasa percaya diri sebagai bangsa yang merdeka, mandiri dan berdaulat. Presiden RI yang pertama Soekarno pernah mengatakan bahwa bangsa Indonesia perlu membanting-tulang untuk memberantas segala sikap inferioriteit. Bung Karno juga membongkar kebohongan-kebohongan di balik teori penghalusan kolonialisme.Bung Karno sangat getol menggempur sikap inferioritas ini. Ketika Indonesia sudah merdeka pun, supaya tidak terperangkap kembali dalam jebakan imperialisme, Bung Karno mengobarkan konsep Trisakti: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya. Mari kita laksanakan semangat Tri Sakti ini bukan hanya dalam ucapan dan jargon jargon politik tapi dalam tindakan nyata yaitu satunya kata dengan perbuatan. Bangsa Indonesia perlu meningkatkan semangat “perlawanan”, sebagimana anjuran Bung Karno untuk membangun sikap radikalisme (non-koperasi), yakni perjuangan yang tidak setengah-setengah melawan penjajah, apalagi tawar-menawar, untuk menjebol kapitalisme-imperialisme hingga ke akar-akarnya.
7) Bangsa Indonesia perlu memiliki referensi dalam membangun sebagai contoh jika mempunyai referensi bahwa sektor sumber daya alam strategis harus dikuasai negara, semestinya tidak akan pernah ada UU yang membolehkan itu untuk swasta atau asing. Selain itu strategi pembangunan yang jelas misalnya, akan menggunakan strategi pelabuhan laut dan bandar udara sebagai jantung ekonomi untuk mendorong sektor ekonomi karena negara Indonesia ini negara kepulauan. Sehingga tidak dimungkinkan kelompok Asing dan Aseng menguasai sector sector tersebut. Selain itu diperlukan penetapan visi Indonesia sebagai Negara produksi bukan Negara konsumen, kalau menjadi negara produksi maka akan bicara tentang daya saing.
8) Kita perlu mengobarkan kembali semangat nasionalisme cinta tanah air karena berbagai peristiwa dan momen dalam kehidupan Bangsa Indonesia telah menunjukkan, bahwa bangsa kita masih punya rasa cinta tanah air dan bangsa, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, harga diri di antara bangsa-bangsa di dunia, rasa bersatu, dan rasa senasib sepenanggungan. Buktinya, ketika terjadi konflik perbatasan dengan negara tetangga (Malaysia), sebagian masyarakat Indonesia berbondong-bondong menyatakan kesediaan dirinya untuk menjadi sukarelawan ikut berperang melawan Malaysia bahkan sebagian sudah melaksanakan latihan kemiliteran secara mandiri. Ketika budaya bangsa (lagu daerah, kesenian daerah, dsb) diklaim oleh bangsa lain (Malaysia) sebagai budaya mereka, masyarakat Indonesia melakukan protes keras terhadap tindakan negara tersebut. Ketika warga negara Indonesia yang berada di negara asing (TKI, duta olah raga, dsb) mendapat perlakuan buruk/tidak sebagaimana mestinya, masyarakat Indonesia melakukan protes keras dan menuntut keadilan terhadap perlakuan tersebut. Momen-momen dan peristiwa seperti ini sangat penting bagi bangsa Indonesia, dan merupakan suatu potensi yang dapat kita kembangkan dalam upaya pemantapan rasa kebangsaan Indonesia. Upaya-upaya tersebut dapat kita lakukan (pemerintah dan segenap bangsa Indonesia).
9) Menggalakkan kembali materi pelajaran wawasan kebangsaan dan kewarganegaraan di dalam sistem pendidikan di Indonesia, terutama mulai tingkat dasar, sehingga sejak kecil anak-anak telah ditanamkan rasa kebangsaan yang dalam dan cinta tanah air dan bangsa. (Perlu perhatian yang serius karena kita dihadapkan pada tumbuh dan berkembangnya sekolah-sekolah yang “global-oriented”, yang sangat fokus pada sains, teknologi dan masa depan pribadi (profesi) tetapi kurang perhatian terhadap kesadaran berbangsa dan bertanah air).
10) Memanfaatkan momen-momen kompetisi antar bangsa, termasuk bidang olahraga dan pendidikan (kompetisi sains dan teknologi) yaitu dengan terus mendukung prestasi bangsa Indonesia di dunia Internasional, sehingga semakin banyak hal yang dapat dijadikan kebanggaan nasional. (Sayangnya, pelajar juara-juara kompetisi sains dan teknologi terkadang tidak mendapat perhatian khusus dari kita, khususnya pemerintah, sehingga potensinya sering dimanfaatkan oleh institusi di luar Indonesia)
11) Salah satu “musah bersama” yang seharusnya memicu semangat nasionalisme kita adalah globalisasi. Fakta bahwa globalisasi dapat memusnahkan semangat cinta bangsa sejalan dengan semakin menyatunya negara-negara dalam sebuah global village serta terjadinya homogenisasi kultur yang mengabaikan identitas parsial bangsa-bangsa menyadarkan kita bahwa nasionalisme ada dalam bahaya. Namun sesungguhnya kita bisa menjadikan globalisasi dengan seluruh dampaknya itu sebagai pemicu lahirnya semangat kebangsaan. Siapa saja di dunia ini boleh menikmati film-film Holywood, makanan cepat saji Amerika seperti McDonald’s dan Kentucky Fried Chicken, atau mode pakaian Prancis dan Italia. Tetapi itu tidak dengan sendirinya menggantikan rasa cinta orang pada film-film lokal buatan negaranya, makanan atau jenis pakaian khas daerahnya, dan seterusnya. Jepang menjadi bukti kecenderungan ini. Karena itu perlu menggalakkan kembali slogan cinta produksi Indonesia. Namun diharapkan tidak hanya sebagai slogan belaka, tetapi dibarengi usaha peningkatan kualitas dan kuantitas produksi dalam negeri sehingga tidak terlalu bergantung pada negara lain. Mendukung pemasyarakatan budaya Indonesia untuk membendung masuknya budaya asing. Misalnya: para pejabat kita agar lebih mendahulukan musik dan lagu-lagu Indonesia seperti lagu-lagu dangdut dalam kegiatan dengan masyarakat, jangan malah lebih memilih lagu-lagu barat atau budaya asing lainnya. Selain itu, kita semua harus punya kesadaran untuk memproteksi (bukan berarti menutup pintu) arus globalisasi informasi dan teknologi, misalnya dengan membatasi akses internet yang tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia seperti yang telah dilakukan pemerintah dengan aturan pelarangan akses situs porno di seluruh Indonesia.
Demikian beberapa catatan dan langkah yang barangkali bisa dilakukan untuk menyongsong bangunan Indonesia kedepan menuju bangsa Indonesia yang berdaulat, mandiri, bermartabat, adil dan makmur.
Jakarta, 10 November 2014
H. Desmond J. Mahesa, SH.MH.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com