Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)
Seperti beberapa kajian saya terdahulu di Global Future Institute (GFI), Jakarta, bahwa inti sari faktor penyebab peperangan di Suriah, selain masing-masing pihak bertikai ingin menduduki ‘geostrategi posisi’ (geostrategy position) di Jalur Sutera, juga dalam rangka memperebutkan ‘geopolitik jalur pipa’ (geopolitic of pipeline). Selanjutnya untuk kejelasan apa dan kenapa geopolitic of pipeline serta bagaimana geostrategi posisi, nanti keduanya kita ulas.
Tak boleh dipungkiri siapapun, aktor sesungguhnya konflik di Suriah adalah para adidaya baik Barat maupun Timur, baik net oil exporter terlebih lagi bila ia masih net oil importer semacam banyak negara (adidaya) Barat yang haus akan minyak dan gas. Kemudian maksud “Barat” dalam catatan ini ialah Amerika (AS) dan sekutu, dan sudah tentu ada Israel di dalamnya.
Dalam konteks ini, Suriah cuma proxy war (medan laga) belaka. Tidak lebih. Kendati beberapa analis mencermati kronologis tersebut mirip Taliban yang disingkirkan karena menuntut terlalu banyak atas pipanisasi Unocal di Afghanistan, setidaknya kajian di atas memberi isyarat, bahwa Bashar al Assad seperti hendak disamakan “nasib”-nya dengan Taliban yang harus dilenyapkan karena dinilai bandel, dianggap rezim yang tak mau didekte oleh Barat.
Menurut Craig Unger, wartawan lulusan Harvard University, dalam buku House of Bush, House of Saud, Scribner (2004) menulis, bahwa kebijakan politik AS di Timur Tengah selalu berkaitan dengan dua hal: minyak dan Israel. Tampaknya statement Unger, jika disandingkan ulasan Dina Y. Sulaeman, research associate GFI, terdapat kemiripan. Menurut Dina, Assad adalah satu-satunya pemimpin Arab yang hingga hari ini tetap teguh menolak damai dengan Israel, bahkan membantu Hizbullah melawan invasi Israel ke Lebanon Selatan, bahkan menyediakan pula perlindungan bagi para aktifis Hamas.
Sebelum melangkah jauh, selayaknya dikikis dahulu soal persepsi dan opini bahwa gejolak di Suriah itu perang agama, konflik sektarian, atau bentrokan antar mazhab dalam agama (Islam) sebagaimana digegapkan beberapa media mainstream, jejaring sosial, media online, dan lain-lain namun yang dalam kendali Barat. Sekali lagi, opini tadi mutlak wajib dibuang jauh-jauh sebelum melanjutkan tulisan ini. Tak boleh tidak. Kenapa demikian, sebab anggapan tersebut hanya deception (penyesatan), ataupun sekedar pengalihan situasi, atau kemungkinan malah taktik false flag yang dikibarkan AS dan sekutu guna menutupi hidden agenda, program yang sesungguhnya. Dalam politik praktis, hidden agenda justru merupakan tujuan pokok, sedang yang terekspos ke publik (open agenda) seringkali hanya ‘kedok’ semata. “Politik praktis memang bukan apa yang tersurat, melainkan apa yang tersirat. Jika Bush berbicara soal hak azasi manusia, maka yang ia dimaksud adalah minyak dan gas alam” (Pepe Escobar, Asia Times, 27/9/2007).
Membaca kolonialisasi Barat via modus ‘adu jangkrik’ (divide et impera) selama ini di negara-negara target imperialisme, bahan dasarnya memang pluralisme wilayah baik keragaman etnik, keanekaan sekte, banyaknya agama dan penganut kepercayaan, dan lain-lain meski isue yang ditebar masalah demokratisasi, freedom, pemimpin tirani, hak asasi manusia (HAM,) dan seterusnya (Baca: Mencermati Pola Kolonialisme di Suriah dan Mesir, www.theglobal-review.com).
Apa boleh buat. Pluralisme meski bersifat alami, dari perspektif imperialisme justru dianggap data (bahan) awal bagi skema kolonial yang hendak ditancapkan, bahkan dianggap sebagai sumbu peledak. Dalam berbagai modus intervensif misalnya, Paman Sam kerapkali mengganggu stabilitas negara-negara “target” dengan dalih serta isu-isu seperti demokrasi, HAM, korupsi, intolerasi, senjata pemusnah massal dan lainnya dengan memanfaatkan pluralitas baik kebhinekaan atau heterogenitas sosial politik di sebuah negara. Tetapi uniqnya justru hal tersebut sering diabaikan, tidak disadari —atau pura-pura tak menyadari?— oleh berbagai elemen dan elit politik dari bangsa dimaksud. Entah kecanggihan skenario yang dijalankan, atau cantiknya permainan komprador di internal negeri. Entahlah.
Yang wajib disadari serta diwaspadai bersama ialah munculnya gejala bagi kementerian, atau institusi-institusi strategis tertentu di suatu negara dijadikan ‘peternakan’ bagi asing. Maksud ’peternakan’ disini ialah elit dan pejabat yang ‘duduk’ di dalamnya merupakan bagian dari lingkaran kepentingan kolonialisme di negeri tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan. Sekali lagi, itulah komprador!
Beberapa sesi diskusi di Forum Kepentingan Nasional RI (KENARI), Jakarta, pimpinan Dirgo D. Purbo, memperoleh pointer bahwa conflict is protection oil flow and blockade somebody else oil flow. Ya, konflik hanya untuk melindungi kepentingan aliran minyak. Apakah ia memang diciptakan? Agaknya butiran KENARI tadi pararel dengan asumsi yang kini tengah dikembangkan GFI, Jakarta (2013), pimpinan Hendrajit: “Bahwa mapping konflik dari kolonialisasi yang dikembangkan Barat, hampir dipastikan segaris/satu route bahkan pararel dengan jalur-jalur SDA terutama bagi wilayah (negara) yang memiliki potensi besar atas minyak, emas dan gas alam”.
Dari uraian di atas boleh disimpulkan walau masih prematur, bahwa konflik di Timur Tengah termasuk yang kini terjadi di Suriah, Mesir, dan lain-lain sesungguhnya tak lepas dari kebijakan Paman Sam terkait minyak dan Israel. Mari kita perdalam lagi asumsi Unger tadi.
Bersambung Bag-2