Menelisik Sejarah Kebijakan Maritim Rusia (Menyongsong ASEAN-Russia Summit, di Sochi, Rusia, 18-20 Mei 2016)

Bagikan artikel ini

Tidak lama lagi, Rusia akan menjadi negara tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara ASEAN-Rusia. Pertemuan pada tanggal 18-20 Mei di Sochi mendatang terasa spesial, karena bertepatan dengan 20 tahun usia kerja sama antar ASEAN sebagai  kekuatan besar regional di kawasan Asia Tenggara dan Rusia.

Selain itu, pada pertemuan ASEAN-Rusia Senior Official Meeting (SOM) yang notabene merupakan pertemuan para pejabat tinggi juga staf ahli dalam lintas bidang (Polkam, ekonomi, dan sosial-budaya) membahas berbagai hal menarik. Salah satunya kerjasama dalam konteks kemaritiman. Dalam hal ini penelusuran Kebijakkan Kemaritiman Rusia secara historis kiranya  harus diperhatikan sebagai salah satu titik-tolak kerjasama strategis ASEAN-Rusia
Kebijakan Maritim Rusia Masa ke Masa
Terlepas dari orientasi darat kepemimpinan Tsar Ivan Terrible, Rusia nyatanya mempunyai perjalanan sejarah sebagai negara yang menaruh matra laut sebagai prioritas utama dalam perumusan kebijakan nasional. Meminjam istilah Karl Haushofer (Pakar Geopolitik), Rusia menempatkan laut sebagai ruang hidup (lebensraum).
Hal tersebut dapat kita lihat ketika masa kepemimpinan Tsar Peter I. Rusia di bawah masa pemerintahannya mulai membangun kekuatan laut. Salah satu pemikiran strategis dalam mengembangkan kekuatan laut yang dikemukakannya adalah politik air hangat (warm water policy).
Menurutnya Rusia perlu menguasai 3 (tiga) titik strategis (dalam rangka politik air hangat) yang ketika itu masih dikuasai oleh negara-negara tetangganya, yaitu :
  1. Titik strategis pertama terletak di Selatan, yakni muara sungai Don di Laut Azov menujju Laut Hitam dan Laut Tengah yang dikuasai oleh Turki.
  2. Kedua terletak di sebelah Utara, yakni di muara sungai Neva yang menghubungkan Danau Ladoga dengan Laut Baltik.
  3. Lalu ketiga di sebelah Timur yaitu muara Sungai Amur di Pasifik yang sudah dikuasai kembali oleh Cina pada tahun 1689. (Dam,2010).
Spirit Strategi politik air hangat sebagai dasar kebijakan maritim Rusia tetap terjaga ke masa pemerintahan selanjuutnya. Hal tersebut tercermin ketika Tsarina Katarina II mulai membangun kapal-kapal perangnya sendiri dengan mengikutsertakan para tenaga ahli asing.
Lebih dari itu, pada masanya Laut Baltik dan Laut Putih telah ditempatkan sebanyak 89 kapal perang dan 40 kapal perusak (frigates), sedangkan di Laut Hitam telah ditempatkan pula sebanyak 14 kapal perang dan 50 kapal perusak. Pada masa itu, Rusia merupakan kekuatan laut kedua dunia setelah Inggris.
Kekuatan laut yang dibangun Katarina itu telah dimanfaatkan pula oleh penggantinya Tsar  Nicolas I dalam Perang Krim (1853-1856), untuk menguasai Selat Dardanella, Bosporus dan konstantinopel yang dikuasai Turki Utsamaniah. Kala itu, Rusia menelan kekalahan.
Kekalahan perang tersebut dapat dikatakan sebagai titik kelam dalam menjalankan kebijakan kemaritiman Rusia. Namun, sejak naik tahtanya Tsar Alexander II menggantikan Nicolas I, pembangunan kembali kekuatan laut Rusia secara besar-besar dimulai melalui pengangkatan Duke Konstantin sebagai menteri Angkatan Laut (AL) Rusia.
Di bawah perintah Konstantin, Armada Rusia dibagi dalam tiga kelompok (Armada Aktif, Armada Siap Tunggu, Armada Cadangan Umum). Pertama, Armada Aktif dibagi dalam dua kelompok Armada Barat berpangkalan di St. Petersburg, kronstadt, dan Nikolaev. Kedua, Armada Timur di Amur dan Vladivostok bercokol di pangkalan AL yang terletak di Sveaborg, Revel, Arkhangelsk, dan Baku.
Tidak dapat dipungkiri pemikiran kekuatan laut Rusia dipengaruhi oleh sosok ajaran Alfred Thayer Mahan. Dalam menjalankan teori-teori Mahan itu Rusia membangun kembali kekuatan lautnya menjadi kekuatan laut ekspansif.
Nampaknya, historical  Sea Power Rusia bisa dijadikan pembelajaran sekaligus refleksi bagi negara-negara anggota ASEAN guna menghadapi kerja sama maritim yang akan segera ditempuh. Sebab, kawasan ASEAN sejatinya adalah kawasan yang dikelilingi laut dengan segala aktifitas kemartimannya.
Penulis: Rohman Wibowo, Mahasiswa Fakultas Sosial-Politik jurusan Hubungan Internasional, Universitas Nasional, Jakarta
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com