Menganilisis Kekuatan Koalisi Parpol Jelang Pilpres

Bagikan artikel ini

Prisana Herdianto, pengamat politik. Tinggal di Semarang, Jawa Tengah

Salah satu wacana dan diskursus politik yang menghiasi beragam pemberitaan media massa baik media massa cetak, elektronik, online/website bahkan sosial media adalah manuver politisi dalam rangka membentuk koalisi parpol menjelang Pilpres yang jika tidak ada aral melintang akan dilaksanakan pada 9 Juli 2014 mendatang.

Salah satu indikasi akan dilakukannya atau dibentuknya koalisi parpol adalah karena tidak ada satupun parpol yang menjadi “jawara” pada Pemilu Legislatif 2014 yang lalu, sehingga tidak ada melenggang sendirian untuk dapat mencalonkan presiden-wakil presiden sesuai dengan kehendak parpol. PDIP sendiri sebagai pemenang Pileg 2014 tidak sampai memperoleh 19%, walaupun sudah mencapreskan Jokowi 3 minggu sebelum pelaksanaan Pileg. “Jokowi Effect” yang diharapkan dapat menjadikan suara PDIP meraih 27% bagaikan keinginan yang tidak realitis, sehingga ada benar jika Bilveer Singh pengamat dari Singapura memprediksikan bahwa walaupun PDIP mencapreskan Jokowi ternyata tidak akan menang mudah dalam Pilpres 2014.

Dari hasil pemilu legislatif tersebut, kemungkinan besar akan ada tiga koalisi parpol yaitu koalisi yang digalang PDIP dengan figur capres Jokowi, koalisi yang dirancang Partai Golkar dengan figur capres Aburizal Bakrie dan koalisi yang dirumuskan Partai Gerindra dengan figur capres Prabowo Subianto. Namun, kemungkinan besar peta koalisi parpol ini akan berubah menjelang detik-detik akhir pendaftaran capres-cawapres Pilpres 2014 sesuai jadwal KPU yaitu 18 s.d 20 Mei 2014 mendatang. Banyak yang memperkirakan akan terjadi 3 (tiga) koalisi yaitu koalisi PDIP, koalisi Partai Gerindra dan koalisi yang dibangun Partai Demokrat dengan rumors yang sangat kencang berembus yaitu figur capres yang dikedepankan adalah Ani Yudhoyono.

Mengapa peta koalisi terakhir yang mungkin akan terbentuk? Dalam perkembangan terkini politik nasional menjelang Pilpres 2014, koalisi yang dibentuk Partai Golkar dengan figur capres Aburizal Bakrie diperkirakan tidak akan jadi dilakukan, karena figur Aburizal Bakrie yang dinilai kurang layak jual, masih adanya tarik menarik soal pencapresan ARB alias Ical karena ada beberapa tokoh senior di Partai Golkar yang “keberatan” dengan pencapresan ARB alias Ical antara lain Jusuf Kalla yang mencoba peruntungan dengan “berjalin kasih politik” dengan Jokowi dan Akbar Tandjung yang juga mencoba peruntungannya untuk bangkit kembali. Disamping itu, ARB alias Ical juga telah siap menyatakan dirinya sebagai cawapresnya Prabowo Subianto yang dikemukakan Ical sendiri di Bogor Jawa Barat, jika dipinang oleh mantan Danjen Kopassus tersebut. Dukungan terhadap cawapres ARB alias Ical untuk Prabowo Subianto juga telah dikemukakan Johanes Pasti, Ketua DPD Partai Golkar Kalimantan Barat yang menyatakan, sikap DPD Partai Golkar Kalbar tetap mendukung ARB alias Ical, meskipun menjadi cawapres Prabowo.

Memotret Kekuatan dan Kelemahan Koalisi

Jika PDIP mencapreskan Jokowi berpasangan dengan Jusuf Kalla benar-benar terjadi, maka pasangan ini menurut beberapa survei diperkirakan akan memenangkan Pilpres 2014 cukup dengan satu putaran, dan disebut-sebut pasangan ini adalah pasangan yang paling cocok untuk mengatasi persoalan bangsa, karena diibaratkan bagaikan “matahari dan rembulannya”. Pasangan ini jika terealisasi kemungkinan juga sesuai dengan grand strategy PDIP yang mendengarkan suara masukan dari berbagai kalangan, bahwa figur Jokowi selama ini dikenal tidak akrab dengan golongan “hijau” yang diterjemahkan bukan dari militer melainkan tidak dekat dengan Islam, sehingga dalam safari “tour de Jawa”, Jokowi menemui beberapa pengasuh pondok pesantren dan ulama.

Namun, beberapa kalangan menilai koalisi PDIP dengan pencapresan Jokowi masih mempunyai sejumlah kelemahan antara lain : pertama, Jokowi diperkirakan akan bernasib sama dengan mantan Presiden Filipina yang berasal dari aktor film, Joseph Estrada yang dijatuhkan setelah 2 (dua) tahun menjabat sebagai presiden karena kurang memiliki visi yang jelas.

Kedua, menurut Wasekjen Partai Demokrat, Ramadhan Pohan, Jokowi belum memiliki visi yang jelas dan Jokowi masih abu-abu. Kebijakan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta masih banyak yang belum selesai. Menurut Ramadhan Pohan, Jokowi haris terbuka ke publik soal visi dan misinya, bukan hanya pencitraan gaya populis.
Bahkan rumors yang berkembang Jakarta tidak akan pesat pembangunannya seperti diimpikan berbagai kalangan ketika dipimpin Jokowi terbukti dari 17.000 ribu uji lelang proyek, sangat sedikit yang berhasil dilakukan, sehingga Jakarta berpotensi menjadi kota yang gagal.

Ketiga, masalah “mahar politik” dalam bentuk pembagian kursi menteri, capres/cawapres bahkan uang telah disikapi dengan pernyataan blunder dari Jokowi yang menyatakan jika terpilih sebagai presiden tidak akan membagi-bagi kursi atau jabatan menteri, kecuali kepada kalangan profesional. Pernyataan ini harus menjadi indikasi kuat bagi parpol-parpol yang sudah berniat beraliansi politik dengan PDIP seperti Nasdem dan PKB.

Sementara itu, koalisi yang dibangun Partai Gerindra dengan figur capres Prabowo Subianto, kemungkinan besar akan mendapatkan dukungan dari PPP, karena dari komposisi pengurus petinggi PPP terinformasi 4 orang pro ke Prabowo, 3 orang pro ke Jokowi. Suryadharma Ali, Ketua Umum PPP sangat menginginkan PPP berkoalisi dengan Partai Gerindra. Prabowo Subianto juga sudah gencar mencari dukungan suara parpol Islam. Hal ini dibenarkan dengan hasil riset Lembaga Survei Nasional (LSN) periode 14 s/d 24 April 2014 menunjukkan capres Prabowo Subianto justru menjadi pilihan utama kaum NU. Jokowi yang pencapresannya juga didukung PKB malah tertinggal dari Prabowo dalam merebut hati pemilih di kalangan NU.

Dukungan terhadap Prabowo juga dikemukakan PKS yang menyatakan siap untuk berkoalisi, dimana Tim 5 PKS telah menemui tim 8 yang dibentuk Partai Gerindra. Bahkan, koalisi yang dibangun Gerindra-PKS konon telah menyetujui jika menang di Pilpres akan duduk di pemerintahan, namun jika kalah akan menjadi oposisi. Secara ideologis, PKS berbeda secara diametral dengan PDIP dan cenderung kelompok “hijau/Islam” lebih sesuai dengan tokoh dari militer, karena hubungan militer-hijau sudah terjadi lama sejak Orba terbangun.
Kemungkinan dukungan terhadap Prabowo datang dari Hanura. Menurut Fuad Bawazier, hubungan partai Hanura dengan Gerindra semakin membaik. Menurutnya, ada ganjalan Hanura berkoalisi dengan PDIP, karena PDIP telah berkoalisi dengan Nasdem. Seperti kita ketahui, Surya Paloh (Nasdem) pernah bersitegang dengan Hari Tanoesoedibyo ketika sama-sama membangun Nasdem, namun HT mundur dan memilih bergabung dengan Partai Hanura.

Menurut Arya Fernandes dari Charta Politika, koalisi Prabowo-Ical justru akan menjadi koalisi yang strategis dan diprediksi akan mempengaruhi pergerakan partai-partai menengah lainnya. Prabowo dan ARB memiliki pengalaman yang panjang di organisasi dan bisnis.

Sementara itu, Setya Novanto, Ketua Fraksi Partai Golkar DPR-RI menilai, koalisi Prabowo-ARB akan menjadi koalisi yang seksi dan strategis, karena ARB memiliki pengalaman panjang di organisasi dan bisnis, sementara Prabowo mempunyai karir di militer.
Tuduhan pelanggaran HAM terhadap Prabowo Subianto juga tidak menghalangi PKS untuk membatalkan koalisi dengan Gerindra, karena menurut PKS melalui Hidayat Nur Wahid, kasus penculikan sudah dipertanggungjawabkan dengan peradilan militer yang diberikan kepada sejumlah perwira militer, Prabowo juga dipecat dari dinas militer. Kasus penculikan ternyata tidak dipermasalahkan berbagai kalangan dalam Pilpres 2009, ketika Prabowo berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri, sehinga banyak kalangan menilai hal ini adalah politis.

Sedangkan Kivlan Zein menyatakan Prabowo tidak pernah berhasrat kudeta tahun 1997, walaupun disarankan berbagai kalangan yang bertemu dengan Prabowo di Hotel Sahid Jakarta. Prabowo yang dituduh sebagai dalang kerusuhan Trisakti juga kebohongan publik, karena menurut Kivlan Zein yang melakukan penembakan adalah Polri, bukan TNI.

Kita berharap Pilpres dapat berjalan dengan damai dan “suhu panas” menjelang Pilpres saat ini diharapkan menurun tensinya pasca Pilpres, sehingga bangsa ini dapat segera menjadi “macan Asia”.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com