Indonesia dalam Perspektif Geopolitik Jalur Sutera (1)

Bagikan artikel ini

Penulis: M Arief Pranoto, Peneliti Senior Global Future Institute (GFI)

Pengantar

Catatan ini melanjutkan tulisan terdahulu, tetapi sekaligus penutup beberapa artikel sebelumnya antara lain ialah: (1) Benarkah Australia dan Singapura itu “Ujung Tombak” Kolonialisme di Indonesia?; (2) Menakar Kharakter Bebal Politik Luar Negeri Australia; (3) Singapura: “Israel”-nya Asia Tenggara; (4) Singapura: “Negeri Makelar” Sarangnya Koruptor? (5) Strategi Gelap Singapura “Melindungi” Selat Malaka; (6) Kepanikan Singapura atas Geopolitical Leverage Aceh dan Thai; (7) Serangan Asimetris: “Ciptakan Kegaduhan di Internal Negeri”; (8) Modus Paman Lee Jatuhkan Habibie!

Apa boleh buat, pengakhiran catatan agak terkendala karena rutinitas yang menjebak sehingga penerbitan agak tertunda. Dalam tulisan kali ini, penulis mencoba “mencermati Indonesia”, maksudnya ialah menyimak konflik-konflik dan dinamika politik yang terjadi tetapi menggunakan perspektif Geopolitik Jalur Sutera (The Silk Road).

Sesuai judul di atas, pisau bedah (perspektif)-nya adalah “Geopolitik Jalur Sutera”. Artinya akan diurai terminologi secara sekilas terkait variabel baik judul maupun pisau kajian. Tidak ada niatan menggurui siapapun, terutama para ahli dan pihak-pihak yang berkompeten, namun semata-mata demi pemahaman bersama dalam menelaah catatan sederhana ini. Jika ada perbedaan pendapat baik arti, maksud ataupun makna terkait kajian ini, anggaplah kewajaran yang perlu didiskusikan lebih mendalam tanpa perlu syak wasangka, atau saling curiga, dan seterusnya.

Nantinya, selain dijelaskan teori geopolitik dari beberapa pakar baik dalam maupun luar negeri, akan diurai pula bagaimana (posisi) Jalur Sutera pada peta politik global. Sedangkan Geopolitik Jalur Sutera sebagai perspektif tunggal, juga akan di-breakdowndengan merujuk beberapa peristiwa aktual sebagai pijakan ilustrasi. Inilah uraian sederhananya.

Sekilas Geopolitik  

Sekali lagi, kenapa geopolitik dijadikan pisau telaah dalam rangka mencermati (geliat politik dan konflik) di Indonesia dari perspektif global, karena sejatinya ia merupakan ilmu tua yang diharapkan mampu mengintegrasikan beberapa hakikat keilmuan. Jadi tidak cuma dari satu sudut pandang saja. Oleh karena di atas geo, atau tanah, seluruh persoalan manusia muncul, ‘digantung’ dan dituntaskan. Tatkala abai geopolitik, maka inilah titik awal dan sumber bencana bagi ilmu-ilmu (sosial politik) yang ada.

Geo (graphy) itu bahasa Inggris, artinya bumi, tanah, wilayah, dll. Ia adalah salah satu unsur kehidupan selain air, api dan juga angin, serta merupakan asal-usul manusia (Adam) dahulu. Dimanapun geo, seyogyanya tak cuma mengantar manusia atau bangsa pada gerbang kemerdekaan saja, tetapi lebih jauh lagi yaitu agar bangsa dan rakyat di atasnya, dapat hidup bermartabat di muka bumi.

Geopolitik sebagai ilmu, meniscayakan orang belajar tentang realita dan hakikat materi serta non materi. Oleh sebab perjalanan sebuah bangsa tak lepas dari kedua dinamika dan dialektika alam tersebut (materi dan non materi), sementara ilmu dan filsafat hanya membentang dalam spektrum di atas permukaan. Tentunya sangat terbatas. Namun melalui geopolitik, meniscayakan seseorang bisa melihat hal tersirat dari apa yang tersurat, mampu menguak hidden agenda (agenda tersembunyi) tertentu, ataupun membongkar hal-hal yang ada di bawah permukaan (what lies beneath the surface).

Sebagai ilmu serta kenyataan hidup, umur geopolitik kemungkinan telah seuzur kehidupan itu sendiri bahkan setua bumi, kendati secara kronologis (akademis) ia baru ditemukan sekitar abad ke-19. Secara umum, geopolitik dipahami sebagai studi tentang pengaruh dari beberapa faktor seperti geografi, ekonomi, demografi, transportasi, dll terhadap politik sebuah negara, khususnya politik luar negeri. Ia juga dipahami sebagai kombinasi dari faktor politik dan geografis yang memberikan ciri terhadap suatu negara atau wilayah tertentu. Namun uniqnya, ilmu geopolitik kini terkesan didangkalkan bahkan dinihilkan dengan doktrin-doktrin global seperti kebebasan, demokrasi, HAM, globalisasi, dan lain-lain. Ia dituduh sebagai aliran pemikiran bidang pertahanan, dianggap sekedar domain militer. Ilmu perang belaka. Mungkin tujuannya agar tercitra, seolah-olah geopolitik sudah tak lagi relevan pada era globalisasi, terutama bagi fungsi atau institusi non militer.

Geopolitik sebagai pengetahuan (awam), sering dipahami sebagai tata cara dalam rangka mapping kawasan yang kaya akan sumberdaya alam (SDA). Ataupun ‘dinilai’ sebagai pijakan utama bagi militer menyusun sebuah strategi peperangan. Penilaian semacam itu memang tak salah, tetapi juga kurang tepat. Artinya jika asumsi tersebut terus dikembangkan, maka inilah fenomena yang boleh disebut sebagai upaya pendangkalan ilmu (geopolitik) itu sendiri. Kenapa demikian, oleh karena elemen-elemen geopolitik relatif luas meliputi geografi, demografi, kultur, transportasi, ekonomi, militer geografi, politik dan komunikasi [Strategic Intelligence for American World Policy, Sherman Kent (1966); dan Strategic Intelligence Production, Washington Platt (1957)].

Mari bandingkan dengan model asta grata (delapan elemen) yang dikembangkan pada lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia dimana meliputi panca grata (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan) dan tri grata (geogafri, demografi dan SDA).

Penulis tidak ingin menguji kedua ajaran dan konsep (elemen/grata geopolitik) di atas. Artinya mana lebih unggul, mana yang lemah, kurang lengkap, dll. Semuanya tepat dan baik pada zamannya. Akan tetapi bila merujuk teori  Sherman Kent (1966) dan Washington Platt (1957), tampaknya faktor komunikasi, politik, dan transportasi ini agak diabaikan di republik tercinta. Sebaliknya bila berbasis asta grata sebagaimana ajaran Indonesia, maka akan terlihat bahwa Kent dan Platt justru menihilkan faktor ideologi, sosial, hankam dll.

Dalam (etika) tataran teori, semua ajaran memang saling memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Akhirnya tergantung man behind the gun. Bagaimana seni kita mengintegrasikan, improvisasi, menambahi dan lain-lain dengan mencermati kondisi lingkungan.

Bencana Geopolitik

Muncul retorika terkait anggapan awam perihal geopolitik (bila merujuk ajaran Kent dan Platt): “Bukankah mapping SDA hanya bagian dari elemen geografi saja?”. Berbicara geopolitik memang tidak sekedar membahas faktor SDA melulu. Itu cuma bagian kecil. Runtuhnya Uni Soviet misalnya, apakah akibat faktor SDA? Tentu tidak. Kehancuran Soviet lebih kepada lupa bahkan abai (geopolitik) khususnya elemen tradisi (kultur) dan politik. Bagaimana mungkin, bangsa yang biasa tertutup dan nyaman atas (kondisi) kediktatoran tiba-tiba dibuka lebar-lebar soal demokrasi, transparansi, dll? Ini perlu dipahami bersama.

Sekali lagi, geopolitik itu tak hanya berkisar soal SDA belaka. Tatkala elemen budaya,  transportasi, komunikasi dan lainnya dilupakan atau dinihilkan oleh suatu pemerintahan serta berujung penjualan (privatisasi) aset-aset bangsa kepada asing, atau katakanlah manakala prosentase kepemilikan elemen (grata) geopolitik, baik SDA (geografi)-nya, komunikasi, maupun transportasi, dll oleh (dikuasai) asing telah mencapai di atas 60% bahkan 100%, bukankah itu ujud “bencana geopolitik” bagi bangsa tersebut?

Pertanyaannya adalah: “Bagaimana praktek dan implementasi geopolitik selama ini di republik tercinta ini?” Silahkan saudara-saudara menelaah dan menyimpulkan sendiri.

…Bersambung (2)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com