Mengenal Perang Asimetris: Sifat, Bentuk, Pola dan Sumber

Bagikan artikel ini
Seperti terurai dalam artikel kami sebelumnya, yang bertajuk: Bela Negara Adalah Soal Menghadapi Perang Asimetris Asing Untuk Hancurkan Nasionalisme dan Ideologi, pandangan Ryamizard Ryacudu maupun beberapa rekannya yang sevisi,  telah menginspirasi kami untuk sampai pada sebuah kesadaran baru. Bahwa ada sebuah Perang Gaya Baru yang sedari awal secara terencana memang diplot oleh negara-negara kapitalis-imperialis sebagai perangkat pendukung utama dilancarkannya Skema Penjajahan Gaya Baru dan Strategi Neo-Kolonialisme di negara-negara berkembang, tak terkecuali Indonesia.
Karenanya, kami berupaya untuk lebih mempertajam lagi konsepsi Perang Modern dan Perang Masa Kini yang telah disampaikan Ryamizard Ryacudu, maupun kajian-kajian strategis lainnya yang sevisi dengan itu. Maka itu, dalam uraian-uraian selanjutnya yang kami olah dari buku kami Perang Asimetris dan Skema Penjajahan Gaya Baru karya M Arief Pranoto dan Hendrajit, kami bermaksud mengedepankan sebuah konsepsi yang kiranya bisa lebih detail dan rinci mengenai Perang Asimetris baik sifat, bentuk, pola dan sumber.
Definisi Beberapa Sumber
Mari kita mulai dengan definisi menurut Dewan Riset Nasional (DRN). Dalam paparannya, DRN menjelaskan, perang asimetris adalah suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim, dan di luar aturan peperangan yang berlaku, dengan spektrum perang yang sangat luas dan mencakup aspek-aspek astagatra (perpaduan antara trigatra -geografi, demografi, dan sumber daya alam- dan pancagatra -ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya-. Perang asimetri selalu melibatkan peperangan antara dua aktor atau lebih, dengan ciri menonjol dari kekuatan yang tidak seimbang.
Sedangkan US Army War College menyatakan, Peperangan asimetris dapat digambarkan sebagai sebuah konflik dimana dari dua pihak yang bertikai berbeda sumber daya inti dan perjuangannya, cara berinteraksi dan upaya untuk saling mengeksploitasi karakteristik kelemahan-kelemahan lawannya. Perjuangan tersebut sering berhubungan dengan strategi dan taktik perang unconvensional. Pejuang yang lebih lemah berupaya untuk menggunakan strategi dalam rangka mengimbangi kekurangan yang dimiliki dalam hal kualitas atau kuantitas.
Lantas, bagaimana defenisi kementerian pertahanan Australia? Menurut versi Australia’s Department of Defence adalah:
“Konflik selalu melibatkan satu pihak yang mencari celah keuntungan asimetris atas pihak lainnya dengan cara memperbesar pendadakan, penggunaan teknologi atau metode operasi baru secara kreatif. Sisi asimetris dicari dengan menggunakan pasukan konvensional, khusus dan tidak biasa dalam rangka menghindari kekuatan-kekuatan musuh dan memaksimalkan keunggulan yang dimilikinya. Semua perang kontemporer didasarkan pada pencarian keunggulan asimetris. Asimetris muncul pada saat diketahui adanya perbedaan perbandingan antara dua hal. Asimetri militer dapat diartikan dengan perbedaan tujuan, komposisi pasukan, kultur, teknologi dan jumlah.”.
Dari beberapa definisi yang bersumber tiga rujukan berbeda di atas, ada ada beberapa poin penting yang layak dicermati pada kajian mengenai Perang Asimetris. antara lain:
Dewan Riset Nasional (DRN) misalnya, lebih memaknai perang asimetris sebagai perang konvensional yang dikembangkan, tetapi dengan cara berpikir tidak lazim, mengapa? DRN melihatnya sebagai peperangan yang memiliki spektrum sangat luas karena mencakup astagatra (delapan aspek kehidupan) yang meliputi trigatra dan pancagatra. Trigatra terdiri atas aspek geografi, demografi, dan sumber daya alam (SDA), sedang pancagatra meliputi aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Sedang pada taktis peperangan, DRN menekankan keterlibatan antara dua aktor atau lebih, dan menyoroti ketidakseimbangan keadaan (bagi dan antar aktor) yang terlibat peperangan.
Sementara definisi perang Nir-Militer versi US Army War College, menekankan perbedaan sumberdaya dua pihak yang berkonflik, cara berinteraksi, dan upaya mengeksploitasi masing-masing kelemahan lawan. Ia juga masih mengaitkan dengan strategi dan taktik perang non konvensional yang berarti tiada lain masih dalam kerangka Perang Militer. Artinya, diasumsikan bahwa pihak yang lemah berupaya memakai strategi guna mengimbangi kekurangannya baik dalam hal jumlah maupun kualitas.
Selanjutnya, perang non militer versi Australia’s Department of Defence, lebih kepada pencarian keuntungan secara Nir-Militer atas pihak lainnya, kendati pencarian sisi asimetris tersebut dilakukan secara militer, sedangkan asimetris secara militer ia persepsikan sebagai perbedaan tujuan, komposisi pasukan, kultur, teknologi dan jumlah.
Memberi Makna Baru Tentang Pengertian Perang Asimetris 
Berdasarkan definisi ketiga sumber di atas, memang masih terdapat perbedaan arti, maksud dan makna daripada peperangan non militer. Belum ditemui definisi yang dirasa cocok, pas dan baku. Australia’s Departement of Defence misalnya, masih saja mengaitkan perang nirmiliter dengan perang militer (konvensional), namun ia menekankan kepada hasil peperangan berupa non-militer (mungkin maksudnya adalah kontrol ekonomi negara lawan, dan penguasaan SDA, dan sebagainya).
Demikian juga dengan US Army War College masih membandingkan atau mengukur kekuatan antarpihak yang saling bertikai sebagaimana terjadi dalam perang militer secara terbuka.
Menurut hemat penulis, definisi perang asimetris versi DRN lebih realistis daripada defenisi lainnya karena sejalan dengan model dan praktik-praktik selama ini.
Perang nirmiliter dinilai sebagai model perang tidak lazim —non-militer— bahkan dalam praktik operasionalnya cenderung non-kekerasan. Spektrum sasarannya lebih luas daripada perang konvensional sebab mencakup segenap aspek kehidupan. Meski penulis sedikit menyayangkan, karena pada defenisi versi DRN masih mencantumkan “ketidakseimbangan keadaan (bagi dan antar aktor) terlibat peperangan,” kenapa?
Oleh karena pada strategi Neo-Kolonialisme, justru perang non-militer sekarang dinilai sebagai metode favorit para adidaya dalam rangka menancapkan kuku pengaruh dan kolonialismenya di negara-negara yang jadi target penaklukkan. Pertanyaannya, bukankah dari sisi sumberdaya perang, para adidaya lebih canggih dan lebih kuat daripada negara-negara target? Lantas, kenapa dalam perang Nir-Militer masih mempersoalkan ketidakseimbangan pihak yang terlibat peperangan?”
Itulah sebabnya, rumusan Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu menurut kami jauh lebih inspiratif sebagai rujukan awal untuk mengembangkan konsepsi Perang Asimetris. Ryamizard memaknai asymmetric warfare sebagai perang non militer atau dalam bahasa populernya dinamai smart power, atau perang non konvensional merupakan perang murah meriah, tetapi memiliki daya hancur lebih dahsyat daripada bom atom.
Asymmetric warfare merupakan perang murah meriah tapi kehancurannya lebih dahsyat dari bom atom. Jika Jakarta di bom atom, daerah-daerah lain tidak terkena tetapi bila dihancurkan menggunakan asymmetric warfare maka seperti penghancuran sistem di negara ini, hancur berpuluh-puluh tahun dan menyeluruh,” ujar Ryamizard (29/1/2015).
Merujuk pada diskusi terbatas di Global Future Institute (GFI) Jakarta pada 24 Maret 2015, kemudian merumuskan definisi asymmetric warfare sebagai berikut:
“Perang asimetris merupakan metode peperangan gaya baru secara Nir-militer (non militer) namun daya hancurnya tidak kalah bahkan dampaknya lebih dahsyat daripada perang militer. Ia memiliki medan atau lapangan tempur luas meliputi segala aspek kehidupan (astagatra).”
Sasaran perang non-militer tak hanya satu aspek tetapi juga beragam aspek, dapat dilakukan bersamaan, atau secara simultan dengan intensitas berbeda. Kelaziman sasaran pada perang asimetris ini ada tiga:
  1. membelokkan sistem sebuah negara sesuai kepentingan kolonialisme;
  2. melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir rakyatnya;
  3. menghancurkan ketahanan pangan dan energy security (jaminan pasokan energinya), selanjutnya menciptakan ketergantungan negara target atas kedua hal tersebut (food and energy security).
Sedangkan muara ketiga sasaran tadi senantiasa berujung pada kontrol terhadap ekonomi dan penguasaan SDA sebuah negara, sebagaimana doktrin yang ditebar oleh Henry Kissinger di panggung politik global: “Control oil and you control nations, control food and you control the people.” Kuasai minyak maka anda mengendalikan negara, kendalikan pangan maka anda mengontrol rakyat (Henry Kissinger)
Betapa efek perang ini sungguh dahsyat karena berdampak selain kelumpuhan menyeluruh bagi negara bangsa, juga membutuhkan biaya tinggi dan perlu waktu yang relatif lama untuk proses recovery (pemulihan kembali) kelak.
Sifat dan Bentuk Perang Nir-militer
Sekarang sampailah kita pada pokok bahasan terpenting dari Perang Asimetris. Sifat perang ini sejatinya adalah anti-kekerasan (non-violence). Namun kredo ini bukanlah harga mati, sebab bisa saja terjadi kekerasan dalam prosesnya sebagaimana pernah dilakukan pengunjuk rasa di awal-awal konflik Suriah dulu, di mana massa sudah menggunakan senjata bahkan telah berani menyerang instalasi militer. Kendati akhirnya konflik Suriah berubah menjadi hybrid war bukan lagi asymmetric warfare, namun perlu kiranya dipahami bersama bahwa kredo awal adalah anti-kekerasan, tanpa bunyi peluru, tidak ada asap mesiu pada proses pergerakannya.
Ia lebih mengandalkan taktik dan strategi (smart power) dalam hal ini adalah pengerahan massa, “dukungan publik,” terutama penciptaan (rekayasa) opini melalui media-media baik media cetak, eletronik, online maupun media sosial, dan lain-lain.
Ada dua bentuk atau model dalam peperangan asimetris. Pertama, melalui aksi massa di jalanan dalam rangka menekan target sasaran. Kedua, melalui meja para elit politik dan pengambil kebijakan negara agar setiap kebijakan yang diterbitkan sejalan, selaras, dan senantiasa pro asing guna meraih tiga hal sesuai definisi perang asimetris versi GFI, Jakarta, yaitu:
  1. membelokkan sistem sebuah negara sesuai kepentingan kolonialisme,
  2. melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir rakyatnya, dan
  3. menghancurkan ketahanan pangan dan energy security (jaminan pasokan energinya), selanjutnya ciptakan ketergantungan negara target atas kedua hal tersebut (food and energy security).
Arab Spring misalnya, adalah contoh riil perang asimetris yang digelar oleh Barat (Amerika dan sekutu) bermodel ‘gerakan massa’ dalam rangka menurunkan rezim dan elit penguasa di Jalur Sutera. Hasilnya?
Ben Ali di Tunisia pun jatuh, Ali Abdullah Saleh di Yaman terbirit-birit, Hosni Mubarak di Mesir tumbang, dan lain-lain. Kendati aksi massa dimaksud merupakan langkah kedua, setelah —langkah pertama— ditabur terlebih dulu stigma tentang kemiskinan, korupsi, pemimpin tirani, dan sebagainya sebagai isu atau bahan gerakan massa.
Ilustrasi lain adalah “Gerakan Mei 1998” merupakan ujud peperangan Nir-Militer  di Indonesia via aksi massa. Gerakan ini sebenarnya  bukanlah murni gerakan moral mahasiswa turun di jalanan, kenapa?
Betapa aksi tersebut sudah ditumpangi oleh berbagai kepentingan baik internal dan eksternal, terutama kepentingan kolonialisme asing guna menjatuhkan rezim Orde Baru. Paparan lengkap terkait peristiwa Mei 1998 yang bermuara pada lengsernya Presiden Suharto dengan segala implikasinya hingga kini, sudah kamu uraikan panjang lebar pada bab terdahulu. Pada intinya, peristiwa Mei 1998 merupakan contoh pertama jenis peperangan asimetris dengan menggunakan rmodus: “Aksi Massa Jalanan”.
Adapun bentuk kedua perang nirmiliter adalah: “Melalui Kebijakan Negara”. Tak boleh dielak siapapun, bahwa di sebuah negara koloni niscaya ditaruh pion-pion kolonialisme (asing) di tempat dan/atau jabatan-jabatan strategis dalam negara/pemerintah, ataupun dibentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tertentu (atas inisiasi asing), lalu di-‘pahlawan’-kan ke publik sebagai LSM kredibel mewakili aspirasi rakyat.
Pemakaian istilah “LSM tertentu” dalam catatan ini, sebenarnya ingin berpesan kepada pembaca bahwa tidak semua LSM terlibat dalam asymmetric warfare yang digelar oleh asing. Masih banyak LSM yang benar-benar pro rakyat dan bernafaskan nasionalisme.
Beredar sinyalemen yang berkembang di kalangan para penggiat geopolitik, Global Future Institute bahwa terdapat kementerian, atau institusi negara tertentu dinilai sebagai “peternakan asing.” Artinya, bahwa sosok yang duduk dan menjabat disana merupakan ‘titipan kolonialisme’ untuk setiap terbit kebijakan strategis agar outputnya selalu serta senantiasa pro asing.
Dalam sub bahasan ini, memang tidak perlu ditunjuk kementrian mana dan institusi apa, atau siapa orangnya, namun hal ini sudah dapat dicermati serta dimaklumi bersama melalui berbagai program, statement, bahkan kebijakan-kebijakannya, kenapa? Perilaku (kebijakan) jelas merupakan cermin dari motivasi (tujuan tersembunyi)-nya!
Pola Perang Asimetris
Sebelum beranjak lebih lanjut, perlu kami tegaskan, bahwa antara perang konvesional yang mengerahkan kekuatan militer secara terbuka dengan peperangan asimetris yang cenderung non militer (dan non kekerasan) — sejatinya mereka itu serupa tetapi tidak sama. Serupa pada “pola”-nya, tak sama atau berbeda dalam hal “sifat dan aksi-aksi”-nya.
Pola perang konvensional mungkin telah baku di dunia militer. Tahap pertama: “Bombardir,” entah bombardir melalui pesawat tempur, atau pasukan arteleri (udara) jarak jauh, dan sebagainya.
Tahap kedua: “Masuknya pasukan kavaleri” berupa tank-tank, atau kendaraan lapis baja lain; dan tahap ketiga: “Pendudukan oleh infanteri.” Inilah pola lazim dan garis besar pada perang militer secara terbuka.
Adapun taktis dan maksud tahapan di atas tak akan diurai secara rinci bukan apa — tidak ada niatan menggurui siapapun terutama para ahli dan pihak-pihak berkompeten dalam bidangnya melainkan sekadar berbagi pemahaman terkait “pola perang” yang nanti dibahas lebih lanjut karena pola tersebut ternyata memiliki “ruh” yang sama, walau ujud atau aksinya berbeda.
Bombardir di awal perang konvensional contohnya, pada peperangan asimetris ternyata juga diawali dengan “bombardir,” namun berupa isu-isu yang ditebarkan oleh pihak-pihak terkait dan terlibat (LSM dan/atau sosok tertentu).
Dalam “Aksi Mei 1998” misalnya, isu yang disebar ke tengah-tengah masyarakat dalam rangka menggiring opini publik adalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Tampaknya demikian pula dengan Arab Spring di Jalur Sutera, isuenya hampir tidak berbeda dengan kejadian di Jakarta karena berkisar tentang kemiskinan, korupsi, demokrasi, pemimpin tirani, dan lain-lain. Itulah ISUE selaku bahan baku dan/atau taburan awal sebuah asymmetric warfare melalui aksi massa7.
Sedangkan “Masuknya Kavaleri” sebagaimana tahapan perang militer di muka, dalam perang asimetris disebut TEMA atau AGENDA. Sekali lagi, Arab Spring contohnya, “tema”-nya ialah gerakan massa guna menurunkan rezim penguasa setelah sebelumnya di bombardir oleh isu-isu. Demikian juga dengan tema atau agenda aksi massa di Jakarta pada Mei 1998 dahulu, kendati kejatuhan elit penguasa sesungguhnya hanya pintu pembuka untuk kolonialisme yang lebih luas, masif dan sistematis. Itulah sekilas tentang TEMA dalam perang non militer.
Tahap akhir dalam pola perang militer adalah “Masuknya Infanteri” guna menduduki wilayah target. Maka analog pola ini dalam perang nir-militer adalah kendali sistem ekonomi dan kontrol SDA di negara target. Itulah SKEMA Penjajahan Gaya Baru sebagaimana yang sudah kami paparkan di bab terdahulu atau doktrin kolonialisme sebagaimana dikumandangkan oleh Henry Kissinger.
Dengan demikian, pola-pola yang sama baik pada perang konvensional maupun perang Nir-Militer namun aksi-aksinya berbeda. Bila peperangan militer tahapannya: “Bombardir” — “Masuknya Kavaleri” — “Pendudukan oleh Infanteri,” sedang pola peperangan non militer tahapannya ialah: “Isu” — “Tema” — “Skema.” Sekali lagi, keduanya sebenarnya serupa tetapi tak sama, berbeda-beda tetaplah (tujuan) sama.
Pola lain yang layak dicermati pada asymmetric warfare adalah modus proxy (boneka, atau perwalian/pengganti).
Dengan kata lain, pada penyebaran “isu” misalnya, ia memiliki person, LSM. atau lembaga tersendiri, dan seterusnya yang “digaji” karena perannya sebagai pengganti atau ‘boneka’.
Demikian pula dalam upaya penggebyaran “tema” — kaum peremot (pengedali remote) perang semacam ini juga memiliki orang-orang, atau LSM, punya media massa, media sosial, situs-situs khusus, dan lain sebagainya.
Dan uniknya, antara komprador di tahapan isu dan boneka di tahapan tema kerapkali tidak saling mengenal antara satu dengan lainnya.
Sedangkan untuk memuluskan “skema” sebagai tahapan akhir dari pola perang Nir-Militer, lazimnya dipasang orang, atau kelompok yang bermain pada tataran kebijakan negara cq rezim kala itu. Artinya ia atau mereka bisa jadi selaku staf ahli, bahkan sebagai pejabatnya sendiri, dan lain-lain. Inilah yang disebut oleh Bung Karno sebagai kaum komprador, yaitu orang atau kelompok yang justru akan menghancurkan bangsa dan negaranya sendiri dengan berbagai alasan dan pembenaran.
Sumber Peperangan Asimetris
Di atas telah diurai walau sekilas tentang sifat, model atau bentuk, dan pola pada peperangan asimetris mulai dari isu, tema dan skema (ITS), maka ujung catatan sederhana ini membahas “sumber” dari peperangan nirmiliter yang kini menjadi metode favorit kolonialisme.
Konflik, atau perang model apapun — baik konflik vertikal maupun horizontal, dan sebagainya, bahkan perang antarnegara, dan entah ia perang konvensional, atau hybrid war, proxy war, dan seterusnya, bahkan perang asimetris itu sendiri, sejatinya hanyalah TEMA.
Sekali lagi, perang dan konflik dalam skala besar cuma sebuah tema belaka. Kenapa begitu? Karena skema (tujuan) kolonialisme yang sesungguhnya dan bersifat lestari ialah kontrol ekonomi dan pencaplokan SDA di wilayah koloni. Menurut Dirgo D Purbo, ahli geopolitik Indonesia, “Conflict is the protection oi flow and blockade somebody else oil flow”.
Dengan demikian, melacak sumber dari sebuah tema —perang asimetris, sebagai misal— harus ditelisik dulu baik asal-usul kolonialisme, ideologi dasar, maupun watak pergerakan. Tak boleh dipungkiri, bahwa perilaku geopolitik para adidaya di era imperialisme, tak lain karena dipicu oleh Revolusi Industri (1750-1850) sebagai motifnya.
Bila membahas motivasi, memang ia dianggap sebagai rujukan pokok sebuah ‘perilaku’ apapun, kapanpun dan dimana pun berada. Revolusi Industri melanda belahan Dunia Barat diawali dari Inggris, kemudian menyebar ke Eropa Barat, Amerika Utara, Jepang, dan akhirnya merambah hampir ke seluruh dunia8.
Sebagai konsekuensi logis industrialisasi tadi, akhirnya menjadi faktor utama dari negara-negara barat meluaskan “kepentingan nasional” (motivasi) yang mutlak harus dipenuhi agar sektor-sektor industrinya terus berjalan. Inilah titik mula imperialisme dan/atau kolonialisme di muka bumi. Mengapa demikian?
Betapa industrialisasi —ketika itu, bahkan hingga kini—telah dianggap semacam ‘peradaban baru’ — menggantikan peradaban (cocok tanam) sebelumnya.
Sementara imperialisme itu sendiri dapat diartikan sebagai kebijakan perluasan kekuasaan atau otoritas suatu imperium terhadap bangsa-bangsa atau negara-negara lain dalam rangka meraih wilayah koloni demi memenuhi kepentingan nasional. Dan tak boleh dielak, bahwa imperialisme adalah benih serta varian awal daripada mekanisme kolonialisme di dunia.
Demikian juga dengan kapitalisme sebagai ideologi, maka menyingkat sub bahasan ini dapat dijelaskan, bahwa ekonomi neoliberalisme (neolib) adalah varian terbaru kapitalisme dimana watak dasar kapitalisme adalah: (1) mencari bahan baku semurah-murahnya; dan (2) mengurai/menciptakan pasar seluas-luasnya. Maka pantas saja bila penjajahan merupakan metode bakunya!
Dari hal di atas maka singkatnya, secara tersirat bahwa model ekonomi neolib merupakan bibit atau benih-benih daripada diterapkannya asymmetric warfare alias Perang Asimetris. Inilah model kedua dari Perang Asimetris sebagaimana diulas di atas, selain ‘Gerakan Massa” sebagai model pertamanya.
Selanjutnya, menurut Giersch (1961), neolib adalah sebuah sistem perekonomian yang dibangun atas tiga prinsip, antar lain adalah: (1) tujuan utama ekonomi liberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar; (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui; dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penertiban undang-undang.
Merujuk tiga prinsip Giersch di atas, bahwa peran negara dalam neolib dibatasi hanya pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme pasar. Akan tetapi dalam perkembangannya —sesuai paket Konsensus Washington— maka peran negara ditekankan kepada empat hal, antara lain: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN (Stiglitz, 2002).
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com