Menggugat Feodalisme PBB

Bagikan artikel ini

Dina Y. Sulaeman, Research Associate Global Future Institute

Bagi publik Indonesia, agaknya sidang Umum PBB ke-67 tanggal 26-27 September 2012 cukup menarik perhatian. Betapa tidak, Presiden SBY yang selama ini dikenal santun tiba-tiba saja berani mengajukan usulan yang cukup radikal, yaitu reformasi di PBB. Hal ini disusul pula oleh pernyataan Menlu Marty Natalegawa yang secara tegas mengusulkan boikot atas produk Israel, sampai-sampai ada pengamat yang menjulukinya ‘Little Sukarno’. Pernyataan yang disampaikan keduanya sesungguhnya berada dalam satu benang merah yaitu kritikan atas ambiguitas PBB.  Sebagai sebuah lembaga yang dalam piagamnya mencantumkan pengakuan atas kesamaan hak antara negara besar dan kecil demokratis, PBB pada saat yang sama justru melanggengkan feodalisme. Sejak awal pendiriannya, PBB telah memberikan conditio sine qua non kepada bangsa-bangsa di seluruh dunia bahwa ada lima negara yang berposisi bangsawan dengan keistimewaan hak vetonya, yaitu AS, Rusia, China, Inggris, dan Perancis, sementara 188 negara lainnya ditempatkan sebagai rakyat jelata yang harus tunduk patuh pada kondisi ini.

Dalam pidatonya, SBY menyebutkan bahwa mentalitas sisa-sisa Perang Dingin yang masih menguasai Dewan Keamanan di PBB harus diubah; dari zero sum (menang-kalah) menjadi sikap saling percaya. Untuk itu, “Kita harus melanjutkan pekerjaan menuju Dewan Keamanan PBB yang direformasi,” papar SBY.

SBY tidak secara tegas menyebutkan bentuk konkrit reformasi di DK PBB,  namun seperti yang pernah disampaikan beberapa pemimpin negara lainnya, antara lain Sukarno, Mahathir, atau Qaddafi, atau Ahmadinejad, reformasi PBB sangat berkaitan dengan hak veto. Veto adalah sebuah bentuk diskriminasi dan ketidakadilan. Mantan Presiden Sukarno adalah di antara tokoh dunia yang secara lantang mengkritik diskriminasi PBB ini. Pada Sidang Umum PBB tahun 1960 Sukarno dengan tegas menyebut negara-negara pemegang veto tengah berupaya melanggengkan kekuasaan atau imperialismenya di dunia. Ketika berbagai kritikannya terhadap PBB tak dihiraukan, dan Indonesia merasakan langsung sikap diskriminatif  PBB dalam kasus Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia, pada tahun 1965 Sukarno mengambil keputusan radikal dengan menarik Indonesia keluar dari PBB.

Bila kita melacak munculnya hak veto, memang ‘tuduhan’ Bung Karno  bahwa negara-negara besar berupaya melanggengkan kekuasaan ada benarnya. Hak veto dianggap sebagai syarat mutlak bagi bergabungnya negara-negara besar ke dalam PBB. Presiden Truman dalam memoarnya menulis bahwa tanpa adanya hak veto, Senat AS tidak akan menyetujui masuknya AS ke dalam PBB. Demikian pula negara-negara besar lain, seperti Uni Soviet, Inggris, China, dan Perancis. Sejarah pun mencatat, hak veto selalu digunakan negara-negara tersebut untuk mengamankan kekuasaan mereka masing-masing. AS memveto segala bentuk resolusi yang membahayakan sekutu dekatnya, Israel. Sementara Rusia dan China pun bertindak serupa. Dalam konflik Syria, Rusia dan China memveto resolusi anti-Assad. Bila dilihat dari sudut pandang Syria dan para pendukungnya (antara lain Iran dan Lebanon) veto keduanya memang ‘menyelamatkan’ rezim Assad. Namun dari sisi Rusia dan China, sebenarnya hitung-hitungannya adalah langgengnya kekuasaan dan terjaminnya kepentingan mereka sendiri di Timur Tengah.

PBB seharusnya menjadi perwujudan impian Immanuel Kant. Dalam pandangan Kant, demi tercapainya perpetual peace perlu dibentuk sebuah federasi di antara negara-negara dunia di mana anggota federasi itu mengakui prinsip-prinsip hukum universal. Penetapan prinsip-prinsip hukum universal itu berdasarkan kesepakatan bersama antarnegara-negara anggota. Hukum universal ala Kant atau Kantian cosmopolitan law menyediakan  atmosfer peradilan yang mengatur interaksi global yang selaras dengan penghormatan pada hak-hak publik dunia. Melalui hukum universal ini, Kant berharap  bahwa berbagai penyebab perang bisa dieliminasi dan dunia hidup dalam perdamaian.

Sayangnya, idealisme Kant sepanjang sejarah masih terus menabrak tembok egoisme negara-negara. Keeogoisan dipandang sebagai sikap realistis negara-negara dan diperkuat oleh tesis-tesis para pemikir aliran realisme. Carr dalam bukunya The Twenty Years’ Crisis mengkritik intelektual Inggris dan Amerika yang terlihat utopis dengan konsep-konsep perdamaian dan aturan internasional demi menciptakan perdamaian. Dalam pandangan Carr, konsep-konsep itu semua hanya impian karena sesungguhnya padahal para negarawan masih sangat peduli pada balance of power dan power politics.

Pendapat senada juga diungkapkan Morgenthau pada tahun 1948 yang hingga kini masih terus dikaji oleh penstudi Hubungan Internasional. Menurutnya, sifat manusia merupakan dasar dari hubungan internasional. Karena manusia memiliki sifat egois dan mengejar kekuasaan, maka hubungan antar negara-negara di dunia akan selalu berada dalam kondisi anarkhi. Morgenthau menulis, “Politik internasional seperti semua politik adalah perjuangan demi kekuasaan. Apapun tujuan akhir politik internasional, kekuasaan merupakan tujuan yang selalu didahulukan.”

Atas dasar pandangan seperti inilah, PBB dibangun; yang jelas merupakan sebuah anti-thesis dari idealisme Kant. Dewan Keamanan PBB dibentuk dengan memberikan akses kekuasaan yang besar kepada negara-negara besar, dengan alasan ‘perimbangan kekuatan’. Dalam kondisi seperti ini, prinsip saling percaya yang diungkapkan Presiden SBY dalam pidatonya, memang secara nyata tidak muncul dalam DK PBB. AS akan selalu curiga kepada China, dan sebaliknya, China pun tak akan mau percaya begitu saja pada itikad baik AS. Karena itulah, AS selalu merasa perlu memiliki hak veto, agar bisa memveto apapun yang keputusan DK yang membahayakan kekuasaannya; demikian pula sebaliknya dengan empat negara lainnya. Doktrin bahwa negara-negara akan mengejar kekuasaan sedemikian kuat tertanam; sehingga nilai-nilai universal seperti perdamaian, kesetaraan, dan saling percaya hanya tinggal retorika.

Ketika tekanan untuk reformasi Dewan Keamanan PBB semakin menguat, negara-negara besar berupaya berkilah dengan membuka opsi penambahan jumlah negara pemegang hak veto. Lagi-lagi, ketika doktrin realisme masih terus mewarnai hubungan internasional, opsi ini sulit diwujudkan. Siapa yang dianggap berhak memiliki hak veto? India? Tentu saja Pakistan dan China akan menolak. Afrika Selatan? Nigeraia akan menentang. Indonesia? China dan Rusia pastinya berkeberatan karena dunia internasional sudah melihat bahwa Indonesia adalah good-boy-nya Amerika. Demikian seterusnya.

Jadi, apa jalan keluar dari semua ini?

Sepertinya, jalan keluar yang disampaikan secara terang-terangan oleh Presiden Iran Ahmadinejad selama delapan tahun terakhir ini adalah yang paling logis, yaitu penghapusan hak veto secara penuh. Dalam pidatonya, Ahmadinejad memperingatkan bahwa selama hak veto masih ada justru kelangsungan hidup PBB sendiri yang akan terancam. Ketika PBB semakin melemah, masyarakat dunia akan mengambil aksi sendiri di luar struktur PBB. Contohnya adalah aksi boikot yang disampaikan Marty. Meskipun AS terus menolak resolusi terhadap Israel, bila masyarakat dunia bersepakat memboikot produk Israel dengan segera rezim Zionis Israel akan tumbang, seperti yang pernah terjadi pada rezim apartheid di Afrika Selatan. Bila aksi-aksi penyelesaian masalah di luar stuktur PBB masih terus berlanjut, pada akhirnya PBB hanya akan menjadi organisasi tempat kongkow-kongkow para diplomat. Karena itu, pilihan bagi PBB hanya satu, mengubah sistem feodalnya dengan keegaliteran. (Tulisan ini telah dimuat di Sindo Weekly Magazineedisi 32, Oktober 2012)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com