Menghentikan VFA Dengan AS, Manuver Geostrategi Cerdas Duterte Manfaatkan Skema Jalur Sutra Cina

Bagikan artikel ini

Keputusan Presiden Filipina Rodrigo Duterte untuk menghentikan perjanjian pertahanan antara Filipina-AS pada 1998 yang dikenal dengan Visiting Forces Agreement (VFA), buka saja membuka harapan baru berakhirnya kolonisasi AS terhadap Filipina, melainkan juga bakal mendorong pembangunan infrastruktur untuk mengakhiri kemiskinan dan perang di Pasifik.

Memang dengan keberadaan pangkalan militer AS di Filipina atas dasar skema VFA, memang bisa membahayakan kedaulatan Filipina, di tengah semakin menajamnya persaingan global AS versus Cina di Asia Pasifik. Sejak pemerintahan di bawah kepemimpinan Obama, AS sempat mengeluarkan doktrin Poros Keamana Asia, yang mana melalui doktrin pertahanan yang ditujukan terhadap kawasan Asia Tenggara, Pentagon telah memerintahkan pengerahan 60 persen pesawat tempurnya di atas perairan Laut Cina Selatan.

A Philippine marine looks through the sights on a US Marine Corps M777 towed 155 mm howitzer at Colonel Ernesto Ravina Air Base in the Philippines, during exercise KAMANDAG 3, October 12, 2019.

Berdasarkan skema Poros Keamana Asia tersebut, AS juga telah menyebarkan infrastruktur militernya di wilayah kedaulatan Filipina. Bahkan dengan keberadaan pangkalan militer AS di Filipina, dapat berpotensi sebagai basis untuk memperluas dan mengembangkan penempatan senjata nuklir di Filipina.

Selain di Korea Selatan dengan ditempatkannya Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) dengan dalih untuk menghadang serangan Korea Utara terhadap Korea Selatan, maupun penempatan berbagai jenis persenjataan militer bermuatan nuklir lainnya di beberapa wilayah sengketa antara Jepang dan Cina, dan juga di Malaysia. Situasi semacam ini pastinya dipandang sebagai ancaman nasional yang berbahaya bagi Presiden Duterte, apalagi saat ini Filipina dan Cina masih terlibat sengketa menyangkut sumberdaya alam di Laut Cina Selatan.

Dengan berakhirnya VFA, 300 personil militer AS di Filipina secara otomatis ditarik mundur dari pangkalan militer yang beroperasi di Filipina. Berakhirnya VFA juga segera ditindaklanjuti dengan mengakhiri perjanjian pertahanan (Enhanced Defense Agreement Cooperation) antara Filipina dan AS yang ditandatangani semasa pemerintahan Benigno Aquino III pada 2014 lalu.

Menurut  Butch Valdez, pendiri Citizen National Guard Filipina, merupakan orang pertama yang berani menyatakan bahwa instalasi militer AS kemungkinan besar telah menimbun dan menyimpan persenjataan nuklir di wilayah kedaulatan Filipina. Khususnya roket bermuatan senjata nuklir jarak menengah yang diarahkan ke wilayah kedaulatan Cina.

Baca: Philippine Patriots Say ‘No to WWIII’ and ‘Yes to the New Silk Road’

Beberapa bulan belakangan ini, Presiden Duterte sepakat dengan sinyalemen dan analisis Valdez. Bahkan pada 2019 lalu, Menteri Pertahanan Filipina telah memperingatkan bahwa jika tentara AS ditempatkan di Filipina, maka ketika meletus konflik bersenjata antara AS versus Cina, maka Filipina akan jadi sasaran tembak Cina.

Dengan latarbelakang seperti saya ceritakan di atas, maka dihentikannya VFA, bukan sekadar sebagai reaksi pemerintah Filipina atas pencabutan visa terhadap Senator Dela Rosa. Melainkan didasari pertimbangan yang jauh lebih strategis seperti yang diutarakan oleh Valdez tadi.

Sekadar informasi. Dela Rosa merupakan mantan kepala kepolisian nasional Filipina yang mengepalai perang pemberantasan narkoba yang dilancarkan Presiden Duterte. Dela Rosa nampaknya sangat tidak disukai oleh kaum neoliberal dengan dalih telah melanggar hak-hak asasi manusia terhadap para pelaku kejahatan yang diduga sebagai para teroris narkoba. 12 ribu orang yang diduga terlibat dalam kejahatan pengedaran narkoba, dikabarkan telah tewas.

Menariknya, Presiden AS Donald Trump justru cenderung mendukung langkah politik Duterte, yang tentunya tidak sehaluan dengan kalangan garis keras dari kaum neokonservatif di Pentagon.

Seperti saya katakan tadi, Presiden Duterte dan para perancang kebijakans keamana nasional Filipina menyadari betul bahwa dengan dicanangkannya perang terhadap Cina sebagai agenda strategis di beberapa hotspot yang berada di kawasan Asia Pasifik, maka negara-negara yang ketempatan pasukan maupun instalasi militer AS, bukan saja berpotensi jadi sasaran tembak Cina, bahkan bisa terhapus dari peta Asia Pasifik. Apalagi the U.S.-Philippines Mutual Defense Pact yang ditandatangani pada 1951, hingga kini masih berlaku. Sehingga keberadaan tentara AS semakin membahayakan keamanan nasional Filipina.

Apa implikasi dengan sikap frontal Duterte dalam menjegal kepentingan strategis keanaman nasional AS di Filipina? Apakah kelompok Neokonservatif AS akan berupaya menyingkirkan Duterte? Yang jelas,  sejak awal dilantik jadi presiden, Duterte nampaknya semakin menjalin hubungan yang semakin erat dengan Cina, Rusia dan India.

November 2018, Filipina dengan Cina menandatangani Belt and Road Initiative (BRI), yang mana Filipina mengandalkan investasi dari Cina dalam pembangunan infrastrukturnya. Pada 2016 Filipina dan Cina juga menandatangani joint resource development treaties, yang meliputi sepanjang wilayah Laut Cina Selatan.

Berdasarkan dana bantuan proyek dari Cina berdasarkan skema BRI, termasuk pembangunan jembatan antara Clark Base ke new coastal city of Subic. Keduanya merupakan bekas pangkalan AS di Filipina. Dinamakan The New Clark City.

Manuver geostrategi Duterte menjalin kerjasama strategis dengan Cina untuk pembangunan infrastruktur, membuktikan bahwa dalam menjalin kerjasama dengan Cina, ternyata bisa dikembangkan atas dasar win-win solution.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com