Mengkaji Hubungan Strategis Rusia – Indonesia dari Perspektif Geopolitik (Bag-2)

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Research Associate GFI

“Kebijakan Pragmatis dan Non Ideologis” ala Putin

Mencermati prospek hubungan antara Indonesia – Rusia, sebaiknya diurai dulu kekuatan dan kelemahan Beruang Merah sebagai pertimbangan kelak. Kendati masih punya kelemahan di satu sisi —negara mana yang tak punya kelemahan?— akan tetapi ia memiliki keunggulan daripada AS dan sekutu yang selama ini mendominasi “hubungan” dengan republik tercinta ini. Artinya selain militer, sejarah dan peradaban, ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya kedirgantaraan, kepemimpinan kuat di era Putin, sisi menonjol lain bahwa Rusia kini telah berubah menjadi net oil exporter serta autharky, yakni negara swasembada yang mampu mencukupi kebutuhan sendiri. Silahkan dibandingkan dengan para adidaya Barat yang rata-rata net oil importer. Apalagi AS yang kebutuhan minyaknya sekitar 20-an juta lebih barel/per hari sehingga setiap langkah politik luar negerinya cenderung mengembangkan pola kolonialisasi entah via hard power (simetris) ataupun smart power (asimetris), tetapi hakiki tujuannya semata-mata karena minyak, minyak dan minyak.

Termasuk terbentuknya berbagai pakta pertahanan seperti NATO, ISAF dan lain-lain, maupun G-8, G-20, atau barangkali bakal dibentuk lagi G-30 atau G-40 jika forum G-20 gagal mengatasi krisis ekonomi. Bisa jadi. Motivasi pendirian lembaga-lembaga ekstra baik tingkat regional maupun global, selama ia atas prakarsa Barat disinyalir karena kepentingan inner circle elit Barat terutama demi mendapatkan minyak. Masih ingat doktrin the power of oil? Itulah skema keramat siapapun elit di AS. Pola inilah yang akhirnya melahirkan kajian Deep Stoat yang melegenda sebab menjadi rujukan utama ilmu geopolitik: “If you would understand world geopolitic today, follow the oil”.

Sedang pada sisi lain, kelemahan Rusia relatif lazim bagi negara yang baru keluar dari keterpurukan pasca Perang Dingin. Memang sebelum era Putin, hampir-hampir menjadi negara gagal. Inflasi meroket, ekonomi ambruk serta dikuasai segolongan oligarkhi, kriminalitas serta mafia merajalela, sistem sosial berantakan dan lainnya. Setelah Putin naik takhta keadaan berputar 180 derajat, walau masih ditemui beberapa kelemahan misalnya instabilitasi politik di internal, kemiskinan dan sistem politik otoritarian bila ditinjau dari perspektif Barat, tetapi sesungguhnya mayoritas rakyat Rusia sendiri tidak mempersoalkan.

Survei The Wall Street Journal, 2007 menyebut bahwa tingkat kepuasan terhadap kepemimpinan Putin relatif stabil (85 %). Adapun prosentase fluktuasi tahun 2000 = 80 %,  2001 = 84 %,  2002 = 86 % dan tahun 2003 = 85 %. Hasil survei tadi menyiratkan bahwa rakyat Rusia “terbiasa” dengan rezim otoriter, bahkan takut kembali kacau seperti dekade 1990-an dulu. Rakyat tidak peduli dengan sistem yang diterapkan apakah demokratis atau tidak, yang penting rakyat merasa sejahtera dan citra negara terpandang di dunia. Inilah salah satu indikasi kuatnya kepemimpinan Putin karena didukung rakyat.

Langkah-langkah Putin dianggap otoriter oleh Barat, seperti kontrol negara terhadap media, menaikkan electoral threshold dari lima menjadi tujuh persen yang menyebabkan partai-partai kecil pro-liberal tersisih. Tapi ia tak peduli atas penilaian tersebut. Jalan terus. Dan rakyatnya pun sepertinya mendukung sepenuhnya serta tidak terpengaruh “angin surga” yang ditebarkan asing melalui demokrasi ala Barat.

Hal lain yang menarik di Rusia ialah kuatnya keberpihakan terhadap Islam. Kebijakan menutup media massa yang memuat kartun Nabi Muhammad merupakan bukti nyata. Putin menyatakan, “Rusia selalu mejadi bek paling setia, dapat diandalkan dan konsisten terhadap kepentingan Islam”. Tidak dapat disangkal, tingkat kelahiran dan perkembangan Islam di Negeri Beruang Merah memang lebih tinggi daripada sebelumnya.

Ciri khusus kebijakan luar negerinya kini bersifat non ideologis. Inilah kecerdasan Putin yang bertolak belakang dengan rezim-rezim terdahulu yang cenderung ideologis. Dengan gaya semacam itu, justru ia bisa “berselancar” di antara negara-negara yang saling bertikai. Misalnya, kesepakatan baik militer, energi ataupun diplomatik dijalankan dengan Israel, tapi juga dengan lawan-lawan Israel di kawasan Arab tanpa ia memihak salah satu di antaranya. Termasuk merangkul Iran, Hamas, dan lain-lain.

Oleh karena Rusia merupakan net oil exporter, maka Timur Tengah sepertinya bukan tujuan utama —ini berbanding terbalik dengan Paman Sam—sehingga pendekatan Putin memang pragmatis. Dalam jangka panjang, tampaknya ia ingin menancapkan pengaruh agar dianggap sebagai “kekuatan besar lagi nyata” di dunia sebagaimana muara kepentingan nasionalnya yakni kembali menjadi superpower!

Pertanyaan menggelitik pun menyeruak, kelak jika Beruang Merah duduk di singgasana superpower mengganti peran AS, apakah dunia akan terbebas dari terorisme, HAM, demokratisasi, freedom dan lain-lain? Sekali lagi, retorika ini tidak untuk dijawab. Silahkan dipikir-pikir sendiri.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com