Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)
Mengapa Geopolitik Bergeser?
Apabila jeli menyimak, sebenarnya geopolitical shift (pergeseran geopolitik) sudah dimulai sejak launching kebijakan luar negeri Paman Sam pada era Bush Jr yakni Project for the New American Century and Its implication (PNAC) 2002. Terkait pergeseran dimaksud, dalam perspektif hegemoni AS, salah satu paragraf kunci (tersirat) dari PNAC, bahwa negara-negara yang berpotensi menjadi pesaing harus dibendung dan dilemahkan. Dibendung dari luar, dilemahkan melalui sisi internal. Pantaslah kebijakan hedging strategy (memagari) diterbitkan oleh AS, menggantikan containment strategy yang dinilai tak lagi relevan sebab komunis telah dianggap masa lalu oleh Barat.
Singkat kata, tampaknya Cina dianggap AS sebagai kompetitor utama, karena selain konsumsi BBM-nya separuh lebih di pasar dunia, juga kerapkali mereka bersaing ketat dalam hal penguasaan sumber-sumber minyak di berbagai belahan dunia.
Dengan demikian, aura perang yang hampir memuncak di Selat Hormuz antara AS melawan Iran dekade 2012-an, boleh disebut pemanasan belaka. Mahdi Darius Nazemroaya, peneliti senior Central for Research Globalization (CRG), Kanada, menyebutnya sebagai “perang kata-kata”. Maka memotret perseteruan di Selat Hormuz kemarin, sejatinya adalah skenario kegagalan perang yang telah direncanakan (Baca: Perang di Selat Hormuz: Kegagalan yang Direncanakan, www.theglobal-review.com). Akan tetapi meski cuma gertak sambal, terdapat peningkatan indek penjualan industri pertahanan dan persenjataan secara signifikan sebesar USD 123 miliar (Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Swedia, www.darkgovernment.com) dari industri strategis milik AS. Diperkirakan besaran angka tersebut terus akan meningkat seiring memanasnya suhu politik global.
Tak boleh dipungkiri, bahwa Kawasan Heartland (Asia Tengah), Timur Tengah (World Island), terutama kelompok negara Dewan Kerjasama Teluk (GCC) adalah “pabrik dolar”-nya AS, karena hampir semua transaksi minyak di Kawasan Teluk menggunakan dolar Amerika. Bandingkan dengan beberapa negara yang telah mencampakkan dolar di setiap transaksi, seperti Iran misalnya, atau Rusia, India, Cina dan beberapa negara Amerika Latin. Dengan demikian, menyalakan api perang di kawasan tadi, identik menghancurkan “dapur” Paman Sam sendiri. Terutama Selat Hormuz, karena merupakan JALUR UTAMA bagi kapal-kapal dari delapan negara produsen minyak di Teluk Persia (Arab Saudi, UEA, Qatar, Bahrain, Oman, Kuwait, Irak dan Iran). Hampir setiap 10 menit tanker-tanker berlayar membawa 40% minyak dunia, atau 90% ekspor minyak dari negara-negara Teluk. Apa yang terjadi bila meletus perang di basis produksi dan distribusi minyak dunia?
Perang SDA
Referensi lainnya, isyarat James Canton dalam “The Extreme Future”-nya, bahwa peperangan masa depan tak lagi konvensional semacam perlombaan teknologi perang misalnya, atau canggih-canggihan senjata, ketrampilan person militer, dll tetapi pola berubah menjadi “perang SDA non minyak”, terdiri atas perang pangan, air, perubahan iklim dan lain-lain. Oleh karena itu, mapping peperangan kini dan kedepan bukan lagi antara AS melawan Rusia, atau Paman Sam melawan Iran, Syria dan lain-lain. Kelak yang berhadapan antara AS versus Cina dan India, dimana Jepang serta Korea terlibat di dalamnya.
Kendati bukunya Canton menuai pro-kontra sebab ada propaganda isme tertentu, namun setidaknya dapat dijadikan rujukan sementara, kenapa geopolitik global bergeser dari Jalur Sutera ke Asia Pasifik khususnya di Laut Cina Selatan. Maka wajar jika akhir-akhir ini, Paman Sam giat memprovokasi negara-negara proxy-nya di Asia melalui isue sengketa perbatasan, termasuk pengerahan 60% armada lautnya di Asia Pasifik sesuai janji Obama (2012).
Memprakirakan kondisi kedepan berbasis idenya Caton, sepertinya AS berkeinginan melumpuhkan dahulu “lawan-lawan”-nya via taktik adu domba di Laut Cina Selatan sebelum papan catur —perang SDA— dihamparkan oleh momentum. Indikasi pun tercium. Ada gelagat hendak dibenturkannya Cina dengan para kompetitor lain, terutama memprovokasi Cina versus Jepang agar bertempur melalui isue sengketa Senkaku atau Diaoyu, kepulauan yang diklaim oleh kedua adidaya.
Selaras isyarat Chaves tentang seri baru perang kolonial dengan maksud jahat memulihkan sistem ekonomi kapitalisme yang cenderung bangkrut, seandainya benar-benar meletus perang (militer) terbuka antara Cina melawan Jepang di sekitar Laut Cina Selatan, maka inilah skenario Paman Sam memainkan modus “Utang Dibayar Bom” sebagaimana pernah ia terapkan di Libya. Betapa total utang Paman Sam USD 17-an triliun, di antaranya ke Cina sebesar 1,28 triliun, Jepang sekitar USD 1,14 triliun dan lain-lain, kemungkinan bakal “lunas terbayar”, atau dikemplang tatkala luluh lantak kondisi kedua negara pasca Perang Dunia. Bukankah utang Barat terhadap Libya sekitar USD 200 miliar, siapa kini berani mengungkit apalagi menagihnya?
(Bersambung Bag-6)