Menjual Harapan Mengijon Masa Depan

Bagikan artikel ini

Clue Singkat untuk Milenial dan Gen Z Menghadapi Pilpres 2024

Dari perspektif UUD 1945 Naskah Asli, kalau kita menyaksikan gegap jargon, gempita tagline, serta ‘jualan’ para calon presiden dan wakil (capres/cawapres) di publik — kira-kira apa frasa yang tepat untuk memotret riuh kampanye para Pasangan Calon tersebut?

Tak lain, mereka hanya sekedar “menjual harapan mengijon masa depan”. Tak lebih. Inilah prolog catatan ini, clue untuk Milenial dan Gen Z, sekaligus asumsi penulis.

Kenapa begitu?

Bagaimana dapat menjaring pemimpin terbaik di antara 270-an juta warga, jika yang berhak menentukan para capres/cawapres hanya segilintir oligarki politik (Ketua Umum 9 partai politik yang ada di parlemen) dan elit oligarki ekonomi (“sembilan naga” dkk)?

Inilah bentuk ketidakadilan di hulu persolan bangsa dalam proses menentukan Presiden dan Wakil Presiden alias pemimpinnya.

Pertanyaan berikut, “Apakah sumber dari ketidakadilan dalam mekanisme pencarian pemimpin tersebut?”

Dibolak-balik, ternyata akar masalahnya bersemayam dalam sistem politik. Tepatnya, pada Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945. Ini adalah UUD hasil dari amandemen UUD 1945 (1999-2002) yang kerap dikenal dengan istilah UUD 2002 alias UUD Palsu. Bunyi Pasal 6A ayat (2) menyatakan:

“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”

Undang-Undang (UU) turunannya, yakni UU 23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, lebih spesifik mengatur tentang pencalonan dimaksud pada Pasal 5 ayat (4):

“Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR.”

Selanjutnya di UU 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan serta menjadi PAYUNG HUKUM BARU memberi ketentuan lebih besar untuk syarat pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden melalui Pasal 9, dinyatakan:

“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik dan Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (duapuluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksana Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”

Nah, rangkaian aturan dan pasal-pasal mulai dari UUD NRI 1945 —UUD 2002— Pasal 6A ayat (2); UU 23/2003 Pasal 5 ayat (4); dan UU 42/2008 ayat (9) tersebut di atas, pada akhirnya telah mengunci persyaratan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden atau dikenal dengan istilah ambang batas alias presidential threshold 20%. Artinya, siapapun partai atau gabungan partai yang tak memenuhi presidential threshold 20% tak bisa mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden. Lalu, dimana suara rakyat perihal pimpinannya di luar partai-partai politik yang jumlahnya tidak kalah banyak dengan suara partai?

Pertanyaan lanjutan, “Adakah kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpinnya pada UUD NRI 1945 alias UUD 2002 tersebut?”

Jawabannya, “TIDAK ADA”. Sekali lagi, tidak ada! Kenapa? Dulu. Tatkala derajat MPR diturunkan dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi —perubahan keempat UUD 1945— maka MPR kini jadi setingkat DPR, MK, BPK dan seterusnya.

Pada Konstitusi Baru (UUD 2002) ini, tidak ada lagi kedaulatan rakyat. Ya. Kedaulatan rakyat telah dibajak oleh kelompok bablasan reformasi (reformis gadungan) yang terindikasi merupakan kaum neoliberal alias neolib, kemudian kedaulatan rakyat diserahkan oleh kaum neolib —bablasan reformasi— kepada partai politik. Inilah yang kini terjadi pada konstitusi kita sekarang. Bahwa sudah tidak ada lagi kedaulatan rakyat pada UUD NRI 1945 hasil amandemen (1999-2002), yang ada hanyalah kedaulatan partai politik.

Lantas, apa implikasinya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam dinamika Pilpres?

Fish rot from the head. “Busuk ikan dimulai dari kepala”. Ngeri. Silakan deskripsikan sendiri bila di level pimpinan sudah ‘busuk’ akibat sistem politik. Sedangkan dalam konteks Pilpres, contohnya, selain semua Pasangan Calon adalah usulan partai dan/atau gabungan partai (oligarki politik), juga mayoritas partai politik justru ‘bersandar’ pada oligarki ekonomi, terutama dalam hal pembiayaan saat copras-capres. Silakan perkirakan sendiri bagaimana kelanjutannya. Kelak, kebijakan Presiden berpihak kepada siapa: “Rakyat, atau segelintir oligarki?”

Nah, sesuai prolog catatan kecil ini, sesungguhnya jualan kampanye para capres/cawapres dengan segala tagline, money politics, dan aneka modus hanyalah menjual harapan kepada rakyat. Ya, nasib dan masa depan rakyat seperti diijon lewat janji dan sembako dengan harga sangat murah!

Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang dari rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.

M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com