Nilai Strategis Geopolitik Mesir Sebagai “Daerah Jantung” di Afrika, Timur-Tengah dan Asia

Bagikan artikel ini

Saya tergugah menelaah kembali Mesir ketika membaca berita yang dilansir Aljazeera 31 Desember 2023 lalu, Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu menyatakan bahwa zona perbatasan antara Jalur Gaza dan Mesir harus berada dalam kendali kontrol Israel. Meskipun pernyataan tersebut memperlihatkan keangkuhan dan superioritas Israel dalam berhadapan dengan negara-negara Muslim Timur Tengah, namun paradoksnya adalah, Mesir secara geografis maupun kesejarahannya, geopolitik Mesir punya nilai strategis yang cukup mengkhawatirkan bagi Israel maupun sekutu-sekutu strategisnya seperti AS, Inggris dan Prancis dalam upaya melestarikan hegemoni globalnya di Timur Tengah.

 Baca: Netanyahu says Gaza-Egypt border zone should be under Israeli control

Ketika kita menelaah Timur Tengah, kerap kita mengabaikan sebuah negara yang cukup penting dan vital di luar lingkup dunia Arab. Yaitu Mesir. Mohamed Heikal, seorang wartawan kawakan Mesir yang sangat dekat dengan dua Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser dan Anwar Sadat, menulis sebuah buku menarik bertajuk Autumn of Fury. Kemarau Kemarahan.

(Baca: Mohamed Heikal, Autumn of Fury. Terbitan Andre Deutsch Ltd, London)

Menurut Heikal, memahami Mesir berarti harus memahami adanya keseimbangan antara faktor konstan (bersifat tetap dan tidak berubah) dan faktor dalam dinamika kehidupan Mesir yang sejatinya bersifat dinamis, berubah-ubah dan distimulasi dari luar Mesir. Berarti faktor konstan bisa dibilang merupakan kondisi batiniah bangsa Mesir itu sendiri yang menginginkan kesinambungan. Adapun faktor kehidupan dinamis dari kehidupan masyarakat Mesir  sejatinya membutuhkan perubahan, lantara faktor kehidupan Mesir itu yang dinamis dan berkembang terus-menerus dari waktu ke watku. Artinya, Kisah Mesir sejatinya adalah terjalinnya kebutuhan akan kesinambungan sekaligus dengan kebutuhan akan perubahan.

Heikal menulis: “Pertama dan terutama, faktor konstan dalam kehidupan faktor konstan dalam kehidupan Mesir adalah Sungai Nil dan gurun pasir. Sungai Nil menciptakan kehidupan; gurun pasir mencegah perluasan wilayah. Seorang Mesir harus tinggal di Lembah Nil kalau tidak ingin mati. Berhubung segala-galanya tergantung pada pengendalian sungai, maka harus ada sebuah kekuasaan pusat yang didukung oleh suatu birokrasi yang secara bertahap turun mulai dari firaun sampai ke kepala desa. Mesir politis selalu sama dengan Mesir geografis.”

Selanjutnya Heikal menjelaskan faktor dalam kehidupan Mesir yang menurutnya dalam kesejarahannya selalu datang dari luar. Dalam amatan Heikal yang pernah menjadi pemimpin redaksi harian Mesir Al-Ahram, penyerbu dan penguasa asing selalu meninggalkan sesuatu dari mereka ke Bahasa dan adat istiadat rakyat di lembah itu, namun pada akhirnya semua penyerbu kalau tidak terserang tentu terusir.

Kalau kita cermati dalam kesejarahan Mesir, pandangan Heikal rasanya tidak berlebihan. Romawi pernah menjajah Mesir, lalu menjadi wilayah kekuasaan Imperium Turki Ustmani, pada era Napoleon Bonaparte sempat secara singkat jadi wilayah jajahan Prancis, namun sejak 1890 praktis menjadi daerah jajahan Inggris meski Dinasti Turki Ustmani pada waktu itu masih berkuasa.

Namun yang lebih menarik lagi, Heikal secara jeli juga mencermati bahwa ada faktor konstan lainnya yang tak kalah penting dibandingkan dengan faktor Sungai Nil. Heikal menulis: “Faktor konstan lainnya adalah fakta bahwa Mesir merupakan jembatan tanah antara dua benua dan penghubung antara dua lautan. Ini berarti bahwa Mesir selalu harus menduduki posisi kunci strategis. Mesir harus menguasai wilayah itu sendiri, atau, jika tidak cukup kuat untuk itu, ia harus menjadi bagian dari suatu imperium asing. Jika Mesir tidak dapat memanfaatkan posisi strategisnya sendiri, maka orang lain yang akan memanfaatkannya.”

Lagi-lagi pengamatan Heikal cukup shoheh. Betapa tidak. Pada saat meletusnya Perang Dunia I dan Inggris harus menghadapi persekutuan Turki-Jerman di Timur-Tengah, Inggris mampu memainkan posisi strategisnya sebagai pemegang kekuasaan Mesir sebagai wilayah jajahannya, mampu memanfaatkan lokasi geografis Mesir yang berbatasan dengan Jalur Gaza untuk melancarkan serangan terhadap kota Yerusalem yang akhirnya menjadi titik-awal kekalahan militer Turki Ustmani.

Waktu itu Jendeeral Allenby sebagai panglima perang Inggris yang ditugaskan di Mesir, memanfaatkan betul dua garis pertahanan Mesir. Pertama dengan memanfaatkan daerah Gaza ke Beersheba atau dengan memanfaatkan wilayah sepanjang celah-celah Sinai. Pada kenyataannya, tentara Inggris berhasil menaklukkan Turki dengan menerapkan tipuan seakan-akan bermaksud menyerbu langsung Yerusalem, sehingga tentara Turki mengerahkan pasukannya yang ada di celah-celah Sinai memperkuat Yerusalem, padahal sasaran Inggris sesungguhnya adalah memanfaatkan wilayah sepanjang celah-celah Sinai untuk menguasai Gaza, baru kemudian merangsek langung untuk menaklukkan tentara Turki di Yerusalem. Berhasil.

Mesir Tolak Pengerahan Pasukan Gabungan dengan Israel di Perbatasan Gaza

Tentara Mesir berjaga dengan kendaraan lapis baja. Foto/AP

Belakangan pemerintah Inggris menyadari bahwa dengan keberhasilan militernya menguasai Yerusalem, maka Palestina kemudian dijadikan kartu truf oleh Inggris untuk memperluas ekspansi kekuasaannya di kawasan Timur-Tengah. Serangkaian perkembangan antara janji Inggris untuk memberikan wilayah Palestina berikut Yerusalem kepada Israel pada 1918 yang dikenal dengan Balfour Declaration, yang kemudian mencapai titik kulminasinya dengan diproklamirkannya Israel sebagai negara bangsa pada 194 bangsa pada 1948, sejatinya merupakan rangkaian perkembangan yang saling berkaitan satu sama lain. Yang mana ujungnya adalah menggunakan Israel sebagai elemen garis depan Inggris untuk mempertahankan hegemoni globalnya di Timur Tengah. Untuk kemudian dilanjutkan Amerika Serikat pada pasca Perang Dunia II dan era Perang Dingin.

Profil Gamal Abdul Naser, Tokoh Sentral dalam Perang Enam Hari Melawan Israel

Presiden Mesir Gammal Abdel Nasser, Presiden Indonesia Sukarno dan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru. Ketiganya adalah motor penggerak terbentuknya Gerakan Nonblok di Beograd pada 1961.

Seturut dengan berakhirnya Perang Dunia II dan tampilnya Inggris dan Amerika Serikat sebagai negara-negara pemenang perang, pada 1947 Inggris lewat Perserikatan Bangsa-Bangsa kemudian mendorong terbentuknya pembagian wilayah Palestina yang tidak adil dan lebih menguntungkan Israel alih-alih Arab Palestina.

Arab Palestina yang memiliki 65 persen dari total populasi hanya dapat luas wilayah sebesar 35 persen, Adapun Israel yang total populasinya di Palestina hanya 35 persen, malah memperoleh luas wilayah sebesar 65 persen. Apalagi ketika Israel memproklamirkan dirinya sebagai Negara Bangsa di Palestina, maka tersingkaplah agenda tersembunyi Inggris; Meletakkan Yahudi Israel di jantung dunia Arab untuk menciptakan aksi destabilisasi permanen di Timur Tengah.

Sejarah militer keberhasilan Inggris memanfaatkan lokasi geografis Mesir ketika dipelajari Gamal Abdel Nasser saat belajar di Akademi Militer, pada perkembangannya mengilhami Nasser ketika jadi presiden pertama Republik Mesir  menandai runtuhhnya sistem kerajaan beralih  jadi sistem negara republik sejak 1952. Ketika jadi presiden Nasser secara naluriah memahami nilai strategis dua faktor konstan yang saya sebut tadi. Faktor konstan geografis maupun faktor konstan historis yang merupakan kodrat geopolitik Mesir.

Pertama, Nasser menyadari bahwa keamanan Mesir tergantung pada dua hal; Sungai Nil yang berarti bahwa penguasa Mesir harus mempunyai kebijakan politik luar negeri yang berafiliasi dengan kawasan Afrika; Dan Jembatan tanah ke Asia, yang berarti ia juga harus mempunyai kebijaksanaan politik luar negeri yang senantiasa memperhitungkan daerah Timur.

Maka tak heran jika semasa pemerintahan Nasser yang berlangsung antara 1952-1970, Mesir bersama-sama dengan Indonesia pada 1955 bersama-sama memotori terselenggaranya Konferesi Asia-Afrika di Bandung 1955 dan Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non-blok di Beograd pada 1961. Adapun di dunia Arab Nasser merupakan pencetus Persatuan negaa-negara Arab dan Nasionalisme Arab.

Original Objek Digital not accessible

Presiden Indonesia Sukarno bersama Presidn Mesir Gamal Abdel Nasser bertemu di Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955.

Dalam memoarnya yang bertajuk The Philosophy of Revolution, Nasser menjelaskan secara konsepsional adanya kepentingan-kepentingan Mesir yang jalin-menjalin yang bersumberkan pada tiga lingkaran yaitu Islam, Arab, dan Afrika, dengan ia sendiri sebagai pusatnya.

Sayangnya, ketika Anwar Sadat menggantikan Nasser pada 1970, tidak punya imajinasi dan kecerdasan intuitif untuk mendayagunakan kedua faktor konstan Mesir dalam merespons  faktor-faktor dinamis kehidupan Mesir yang distimulasi atau bahkan diprovokasi oleh kepentingan-kepentingan asing dari luar Mesir.

John Perkins dalam bukunya bertajuk The Secret History of The American Empire, menuturkan sekelumit kisah salah seorang economic hitman  yang ditugaskan untuk menguasai kawasan Afrika secara nirmiliter. George Rich namanya. Entah itu nama sebenarnya atau samara buat saya tidak penting. Kisahnya yang disampaikan kepada John Perkins yang saat itu merupakan salah satu muridnya yang sedang dipersiapkan sebagai economic hitman , menurut saya jauh lebih penting.

(John Perkins, Membongkar Kejahatan Jaringan Internasional. Jakarta: Ufuk Press, 2009)

Lantaran pokok bahasan George Rich untuk menguliahi Perkins adalah Afrika sebagai minat utamana, maka George Rich menggelar peta dan menunjuk ke bagian atas benua Afrika. Rupanya Rich menunjuk Mesir. Dengan terheran-heran, Perkins yang masih hijau dan lugu itu; “Mesir, apa maksudmu George?”

Maka dimulailah ceramah panjang lebar George Rich kepada Perkins ihwal Mesir. Mesir secara geografis terletak di antara Laut Tengah dan Laut Merah. Bersebelahan dengan Israel. Mesir termasuk Benua Afrika. Berlawanan dengan anggapan sebagian besar orang Amerika, Mesir sejatinya merupakan negara Afrika. Apakah Mesir bagian dari Timur Tengah? Tentu saja. Tapi Timur Tengaah bukan benua. Melainkan negara-negara yang terletak di tengah. Seutas tali yang menghubungkan Eropa dan Asia. Selanjutnya George Rich memberi suatu wawasan geopolitik mengenai Mesir. “Dan berlawanan dengan pendapat masyarakat, Mesir lah yang mempertautkan Eropa dan Asia ke Afrika.

Tapi yang kemudian menyita perhatian saya justru ketika George Rich mulai menguliahi Perkisn ihwal betapa pentingnya Sungai Nil. Jadi paralel dengan penuturan Heikal dalam bukunya The Autumn of Fury. Mesir memiliki Sungai Nil. Berdasarkan peta, Sungai Nil mengalir melalui Sudan. Sudah sebelum 1956 merupakan bagian dari Mesir. Namun pada 1956 sudah diberi kemerdekaan oleh Inggris. Sungai Nil juga mengalir ke Danau Tanganyika dan danau-danau yang lebih kecil lainnya. Maka sungai ini  melintasi sebagian besar benua. Singkat cerita, Sungai Nil mengalir ke arah Utara. Lantas, apa artinya ini secara geopolitik?

Sebagian besar benua Afrika mengalirkan air ke Sungai Nil, dan Sungai itu mengalir ke Mesir. Dengan sabar George Rich lanjut menguliahi Perkins ihwal Mesir. “Mesir mungkin memainkan peran penting dalam dunia Arab, tetapi Mesir juga berdampak pada Afrika. Negara itu merupakan jembatan, baik dari sudut pandang geografi, sosial, ekonomi, dan etnik. Dan tentu saja agama. Mesir juga daerah transit untuk Afrika.”

Pelan tapi pasti Perkins rupanya mulai menyala pikirannya yang tadinya gelap gulita. Dan mulai mencerna pesan sentral dari kuliah singkat George Rich. Persis seperti ungkapan George Rich: “Kita memang butuh Timur Tengah. Itu benar. Tetapi Afrika juga harus kita miliki.” Dan bagi George Rich, itu berarti harus menguasai Mesir.

Ya benar. Mesir selain bagian dari Afrika sekaligus Timur Tengah. Inilah nilai strategis geopolitik Mesir yang sesungguhnya. Inilah sudut pandang yang kebanyakan orang, termasuk orang Mesir sendiri belum tentu memahaminya. Begitu pula para pemimpinnya di semua tingkatan.

Sayangnya, orang yang sangat memahami nilai strategis geopolitik  Mesir adalah sosok semacam George Rich yang bekerja buat kepentingan korporasi-korporasi global AS maupun Inggris, dengan tujuan utama mengeruk sumberdaya alam Mesir dan negara-negara di kawasan Afrika pada umumnya. Dan orang macam George Rich paham betul bahwa untuk menguasai Afrika, kuasailah Mesir.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik di Global Future Institute  (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com